Kamis, 24 Desember 2020

TANDA-TANDA HUSNUL KHATIMAH

 

TANDA-TANDA HUSNUL KHATIMAH

Oleh

Dr.H. Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I

 

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا اسْتَعْمَلَهُ" قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ، مَا اسْتِعْمَالُهُ ؟ قَالَ:"يُوَفِّقُهُ لِعَمَلٍ صَالِحٍ قَبْلَ مَوْتِهِ" (رواه احمد)

Artinya: “Apabila Allah menghendaki kebaikan kepada seseorang, maka Allah akan membuatnya beramal”. Para sahabat bertanya; “Bagaimana membuatnya beramal?”. Beliau menjawab: “Allah akan memberikan taufiq kepadanya untuk melaksanakan amal shalih sebelum dia meninggal.” (HR. Ahmad No. 13408).

Status Hadis:

              Hadis tersebut diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam al-Musnad hadis no. 13408. Menurut Syu’ayb al-Arnout, hadis tersebut berstatus sahihsesuai syarat al-Sahihayn (Sahih al-Bukhari dan Muslim). Selain Imam Ahmad, beberapa ulama ahli hadis yang meriwayatkannya adalah al-Tirmidzi dalam al-Sunanhadis no. 2142; Abu Ya’la dalam al-Musnad hadis no. 3821; Ibn al-Mubarak dalam al-Zuhd hadis no. 970; Ibn Abi Ashim dalam al-Sunnah hadis no. 397; al-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Ausath hadis no. 4656; al-Hakim dalam al-Mustadarak hadis no. 1257; al-Haytsami dalam al-Majma’ al-Zawaid hadis no. 11933; al-Dhiya al-Muqaddasi dalam al-Ahadis al-Mukhtarah hadis no. 1936; al-Suyuti dalam Jami’ al-Ahadis hadis no. 1250. Muhammad Nashiruddin al-Albani juga menilai hadis tersebut sahih (al-Albani, Dzilal al-Jannah Fi Takhrij al-Sunnah, I/186).

Kandungan Hadis

              Hadis tersebut menjelaskan bahwa orang-orang yang dikehendaki Allah sebagai hamba yang baik, maka Allah akan mengkondisikan orang itu bisa beramal. Yang dimaksud dengan bisa beramal adalah terciptanya keadaan atau kondisi di mana seseorang bisa atau berkesempatan melakukan amal salih sebelum datangnya kematian. Kondisi inilah yang kemudian disebut dengan istilah husnul khatimah. Husnul khatimah adalah suatu kondisi di mana seorang hamba diberi taufik oleh Allah sebelum kematiannya untuk meninggalkan segala perbuatan yang mendatangkan murka Allah swt., berkesempatan taubat dari segala dosa dan maksiat, bersemangat melakukan ketaatan dan berbagai amal kebajikan, kemudian ia menuju kematiannya setelah dalam kondisi yang baik ini (Ali Bin Nayif al-Syuhud, al-Isti’dad Li al-Maut, I/182).

Tanda-Tanda Husnul Khatimah

              Meninggal dalam keadaan husnul khatimah itu bisa diketahui dengan beberapa tanda. Di antara tanda-tandanya ada yang dapat diketahui oleh dirinya sendiri yang sedang menghadapi kematian, dan beberapa tanda lainnya dapat diketahui orang lain. Tanda husnul khatimah yang hanya diketahui oleh seseorang yang hendak meninggal adalah berupa ‘al-bisyarah’ atau kabar gembira dari Allah bahwa dia telah mendapat keridhaan Allah dan berhak mendapat kemuliaan dari-Nya sebagai bentuk keutamaan yang diberikan Allah kepadanya. Allah swt. berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Tuhan kami ialah Allah” kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan: “Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan jannah yang telah dijanjikan Allah kepadamu.” (QS. Fushshilat:30).

              Dalam menafsirkan ayat tersebut, Syeikh Abdurrahman Al-Sa’dy mengatakan bahwa ini adalah kabar gembira (al-bisyarah) bagi mereka pada saat menghadapi kematian (Abdurrahman al-Sa’di, Tafsir al-Sa’di, I/748). Imam al-Thabari meriwayatkan dari Mujahid bahwa kalimat “maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan: “Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih” adalah ucapan yang di dengar dari malaikat pada saat seseorang menghadapi kematiannya (al-Thabari, Tafsir al-Thabari,XXI/466). Sedangkan Ibn Abbas menjelaskan bahwa maksud ayat tersebut adalah…”malaikat akan turun pada saat jelang kematiannya (dicabut nyawanya) dengan memberitahukan agar ia tidak khawatir nantinya (karena terbebas) dari siksaan (Ibn Abbas, Tanwir al-Miqbas, I/499).

Keterangan tersebut diperkuat lagi dengan hadis dari Anas ra, Nabi saw.bersabda: “…seorang yang beriman apabila menghadapi sakaratul maut, maka sang pemberi kabar gembira utusan Allah (malaikat) datang menghampirinya seraya menunjukkan tempat kembalinya, hingga tidak ada sesuatu yang lebih dia sukai kecuali bertemu dengan Allah. Lalu Allah pun suka bertemu dengannya (HR Ahmad No. 12047). Al-Albani menilai hadis ini sahih (al-Albani, Sahih al-Tarhgib Wa al-Tarhib, III/200).

              Adapun tanada-tanda husnul khatimah yang dapat diketahui orang lain di antaranya adalah:

1. Mengucapkan kalimat tauhid di saat menjelang wafat;

عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-« مَنْ كَانَ آخِرُ كَلاَمِهِ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ».

Dari Mu’adz bin Jabal ra, Rasulullah Saw bersabda: “Barangsiapa pada akhir kalimatnya mengucapkan “Laa ilaaha illallah” maka ia dimasukkan ke dalam surga (HR. Abu Dawud no. 3118 dari Mu’adz bin jabal). Al-Albani menilai hadits ini sahih (al-Albani, Sahih al-Jami al-Saghir, II/1105).

2. Mati dengan berkeringat pada dahinya;

عَنْ ابْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْمُؤْمِنُ يَمُوتُ بِعَرَقِ الْجَبِينِ

Dari Ibnu Buraidah dari Bapaknya bahwa Nabi Saw bersabda: "Orang mukmin jika meninggal dahinya berkeringat. " (HR. Ahmad 21944 dan Ibn Majah no. 1442). Al-Albani menilai hadits ini sahih (al-Albani, al-Silsilah al-Sahihah, VI/413).

3. Mati pada hari Jum'at atau pada malam Jum'at;

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِي قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ مَاتَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَوْ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ وُقِيَ فِتْنَةَ الْقَبْرِ

Dari Abdullah bin 'Amru bin Al 'Ash dia berkata; Rasulullah Saw bersabda: "Barangsiapa meninggal di hari jumat atau pada malam jumatnya, maka akan terjaga dari fitnah kubur." (HR. Ahmad No. 6359). Hadits ini kesahihannya diperselisihkan ulama. Ibn Hajar melemahkannya, demikian juga Syu’aib al-Arnout,  tetapi Muhammad Nashiruddin al-Albani memandangnya hasan atau sahih, setelah memperhatikan sanad dari berbagai jalur (al-Albani, Ahkam al-Jana-iz, I/35).

 4. Mati syahid di medan jihad;

وَلَا تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتًا بَلْ أَحْيَاءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ (169) فَرِحِينَ بِمَا آتَاهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَيَسْتَبْشِرُونَ بِالَّذِينَ لَمْ يَلْحَقُوا بِهِمْ مِنْ خَلْفِهِمْ أَلَّا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ (170) يَسْتَبْشِرُونَ بِنِعْمَةٍ مِنَ اللَّهِ وَفَضْلٍ وَأَنَّ اللَّهَ لَا يُضِيعُ أَجْرَ الْمُؤْمِنِينَ (171)

Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rizki. Mereka dalam keadaan gembira disebabkan karunia Allah yang diberikan-Nya kepada mereka, dan mereka bergirang hati terhadap orang-orang yang masih tinggal di belakang yang belum menyusul mereka, bahwa tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. Mereka bergirang hati dengan nikmat dan karunia yang besar dari Allah, dan bahwa Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang beriman (QS. Ali Imran, 169-171).

5. Mati karena terkena penyakit thaa'uun(wabah), mati karena sakit perut, mati karena tenggelam, dan mati karena reruntuhan;

Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah Saw bersabda: "Ketika laki-laki sedang berjalan dan menemukan ranting berduri di tengah jalan, kemudian dia menyingkirkan ranting tersebut makaAllah memuji kepadanya lalu mengampuni dosa-dosanya." Lalu beliau bersabda:

الشُّهَدَاءُ خَمْسَةٌ الْمَطْعُونُ وَالْمَبْطُونُ وَالْغَرِقُ وَصَاحِبُ الْهَدْمِ وَالشَّهِيدُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ

"Syuhada' itu ada lima macam; meninggal karena penyakit wabah, orang yang meninggal karena sakit perut, orang yang tenggelam, orang yang meninggal karena reruntuhan, dan orang yang syahid karena berjuang di jalan Allah 'azza wajalla" (HR. Al-Bukhari no. 653 dan Muslim no.  5049).

6. Mati karena melahirkan;

Dari Abu Hurairah ra, dia berkata; Rasulullah Saw bersabda: "siapa yang kalian anggap sebagai orang yang mati syahid di antara kalian?" Para sahabat berkata; "Yaitu orang yang terbunuh di jalan Allah, " Rasulullah Saw Bersabda:

إِنَّ شُهَدَاءَ أُمَّتِي إِذًا لَقَلِيلٌ الْقَتْلُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ شَهَادَةٌ وَالْبَطَنُ شَهَادَةٌ وَالْغَرَقُ شَهَادَةٌ وَالنُّفَسَاءُ شَهَادَةٌ وَالطَّاعُونُ شَهَادَةٌ

"Kalau begitu orang yang mati syahid dari umatku sedikit sekali, terbunuh di jalan Allah adalah syahid, mati karena sakit perut adalah syahid, mati karena tenggelam adalah syahid, mati karena melahirkan adalah syahid, dan mati karena wabah (tha`un) adalah syahid." (HR. Ahmad No.7745). Menurut Syekh Syu’aib al-Arnout hadits tersebut sahih dengan syarat Muslim (Musnad Ahmad bin Hanbal, II/310).

7. Mati karena terbakar;

Dari Rasyid bin Hubais, Rasulullah Saw menemui 'Ubadah bin Shamit untuk menjenguknya ketika dia sakit. Rasulullah Saw bersabda: "Apakah kalian tahu, siapa yang diistilahkan syahid di antara umatku?" Semua terdiam. 'Ubadah berkata; "Sandarkanlah saya", mereka pun menyandarkannya. Lalu Ubadah berkata; "Wahai Rasulullah, yang dinamakan syahid adalah orang sabar yang mengharapkan balasan dari Allah". Rasulullah Saw bersabda:

إِنَّ شُهَدَاءَ أُمَّتِي إِذًا لَقَلِيلٌ الْقَتْلُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ شَهَادَةٌ وَالطَّاعُونُ شَهَادَةٌ وَالْغَرَقُ شَهَادَةٌ وَالْبَطْنُ شَهَادَةٌ وَالنُّفَسَاءُ يَجُرُّهَا وَلَدُهَا بِسُرَرِهِ إِلَى الْجَنَّةِ قَالَ وَزَادَ فِيهَا أَبُو الْعَوَّامِ سَادِنُ بَيْتِ الْمَقْدِسِ وَالْحَرْقُ وَالسَّيْلُ

"Kalau begitu orang yang syahid dari ummatku sangat sedikit, padahal orang yang terbunuh di jalan Allah Azzawajalla adalah syahid, orang yang mati terkena tha’un (wabah) adalah syahid, orang mati tenggelam adalah syahid, orang yang mati karena sakit perut adalah syahid, wanita yang meninggal karena melahirkan anaknya, anaknya menariknya dengan tali pusar untuk masuk ke surga". Abu Al 'Awwam, pengurus Baitul Maqdis menambahnya, "Orang yang mati karena terbakar, dan yang mati karena terseret sungai" (HR. Ahmad No.15426). Menurut Syekh Syu’aib al-Arnout hadis tersebut sahih lighairih (Musnad Ahmad bin Haanbal,III/489).

8. Mati karena membela harta, keluarga, darah dan agamanya;

عَنْ سَعِيدِ بْنِ زَيْدٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ قُتِلَ دُونَ مَالِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ وَمَنْ قُتِلَ دُونَ أَهْلِهِ أَوْ دُونَ دَمِهِ أَوْ دُونَ دِينِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ

Dari Sa'id bin Zaid dari Nabi Saw, beliau bersabda: "Siapa yang dibunuh karena membela hartanya maka ia syahid, siapa yang dibunuh karena membela keluarganya maka ia syahid, atau karena membela darahnya, atau karena membela agamanya maka ia syahid." (HR. Abu Dawud No. 4142, dan lain-lain). Al-Albani menilai hadis ini sahih (Al-Albani, Irwa al-Ghalil, III/164).

Semua tanda tersebut benar-benar menjadi husnul khatimahbila jelang kematiannya ia masih dalam keadaan beriman dan mentauhidkan Allah swt. Syekh Zainuddin al-Malibari (Irsyad al-Ibad, I/375) mengajarkan doa untuk meraih husnul khatimah, yaitu: “Allahumma innaa nas-aluka husnal khaatimah wa na’uudzu bika min suu’il khaatimah”, Ya Allah kami mohon kepada-Mu akhir kerhidupan yang baik, dan mohon perlindungan kepada-Mu dari akhir kehidupan yang buruk. Amien !

 

 

Selasa, 22 Desember 2020

COVID-19, Antara Aku Isteri dan Anakku

 


COVID-19

Antara Aku, Isteri, dan Anakku

Oleh

Ibnu Damhur

 

Pekan pertama Desember 2020, kami sedang bertiga di rumah. Aku, isteri, dan anakku. Hari itu, Senin 7 Desember 2020, anakku (guru, 28 th) datang ke sekolahan. Kesehatannya tampak kurang prima dan batuk-batuk. Oleh Kepala Sekolah, ia disarankan rapid tes dengan biaya Sekolah. Kamis 10 Desember 2020, anakku saya antar ke sebuah Laboratorium untuk menjalani rapid tes serologi. Hasilnya "reaktif". Sempat menegangkan. Seluruh guru yang hari-hari itu pernah berkomunikasi dengannya diminta untuk ikut rapid tes.

Saat itu Isteri saya (56 th) mulai menderita sakit demam dan batuk-batuk pula. Karena itu ia juga saya sarankan untuk ikut rapid tes. Sabtu, 12 Desember 2020, saya mengantar anak dan isteri saya ke Laboratorium. Anak saya menjalani tes swab PCR sebagai kelanjutan hasil rapid tes yang reaktif. Sementara isteri saya menjalani rapid tes serologi. Adapun saya (59 th) masih belum ikut tes karena kesehatan saya masih terasa fit. Alhamdulillah!

Hasilnya, Senin pagi 14 Desember 2020 isteri saya dinyatakan "reaktif". Waduh, khawatir juga, jangan-jangan positif covid. Hari itu juga langsung ke RSUD kemudian disuruh foto toraks, periksa darah, dan konsul ke dokter paru. Selasa paginya, isteri saya melanjutkan tes swab dan hasilnya menunggu tiga hari. Selasa malam dapat info, hasil tes swab anak saya negatif. Alhamdulillah! Bebas! Seluruh keluarga senang, bahagia!

Tiga hari berikutnya, Jumat, 18 Desember 2020 hasil tes swab isteri saya keluar dan dinyatakan positif covid!!! Kami sangat terkejut, ternyata kekhawatiran kami tempo hari itu kini menjadi kenyataan. Akhirnya, kami serumah bertiga isolasi mandiri. Masing-masing pakai masker dalam rumah. Jaga jarak. Jaga kebersihan dengan suka cuci tangan. Istirahat cukup. Tidur dalam kamar masing-masing.

Jumat malamnya, tetangga mulai tahu. Padahal saya belum memberitahu siapa pun. Ternyata ada di antara tetangga yang menjadi tim tracing gugus covid-19.  Pagi harinya, satu persatu tetangga pun mengetahuinya. Di luar dugaan, para tetangga sangat antusias memberi perhatian. Sebagian mereka ada yang memberi bantuan makanan, madu, susu, jamu dan juga probiotik. Luar biasa! Sama sekali tak terduga!

Selama isolasi mandiri, terutama isteri saya yang positif covid, cukup tertekan batinnya, sampai-sampai teringat ibunya yang sudah wafat. Ada hikmahnya, memang! Semenjak itu isteri saya menunjukkan lebih bersungguh-sungguh, semakin intensif dalam beribadah, termasuk salat malamnya lebih awal. Doa siang-malam pun tak henti-hentinya dipanjatkan untuk mendapatkan kesembuhan dari Allah. Lalu meminta kepada saya agar menterapinya dengan Alquran. Saat itu saya hanya tersenyum.

Sabtu paginya, 19 Desember 2020, saya mengajak isteri saya untuk memperbanyak membaca Alquran. Saya sendiri yang biasanya membaca 1 juz setiap hari dengan niat sekedar membaca dan mengkhatamkannya sekali sebulan, maka hari itu berbeda. Saya membaca Alquran dengan lebih perhatian dalam tajwidnya dan suaranya, lalu memohon kepada Allah untuk mendapatkan kesembuhan melalui bacaan Alquran. Sesuai dengan firman Allah (QS. Al-Isra, 82) bahwa Alquran bisa berfungsi sebagai syifa(penyembuhan). Selain itu dalam teori “sound healing”, Fabien Maman seorang peneliti Perancis (1974) mengemukakan bahwa suara manusia memiliki resonansi spiritual khusus yang memberi penyembuhan paling efektif (Al-Kahil, Alquran The Healing Book, 23).

Aktifitas itu berlangsung intensif selama 3 hari, mulai Sabtu, Ahad, dan Senin pagi. Selain itu saya mengingatkannya agar setiap pagi dan sore hari membacaBismillaahilladzii laa yadlurru ma’asmihii syaiun fil ardli walaa fissamaa’ wahuwassamii’ul ‘aliim”, sebanyak tiga kali, karena ada jaminan dari Rasul bahwa siapa yang mau membaca doa tersebut tiga kali setiap pagi dan sore hari maka ia tidak akan terkena bahaya apapun lagi (HR. Abu Dawud, al-Tirmidzi, dll). Isteri saya sangat bersemangat melakukannya karena berharap kesembuhan dari Allah Swt.

Selain usaha yang sifatnya spiritual tersebut, juga berusaha makan yang cukup dan bergizi, meminum probiotik, madu, dan jamu yang berfungsi menambah imunitas. Saya katakan kepada isteri saya, 3 hari lagi tes swab lagi, meskipun dari pihak RSUD memintanya tes ulang 10 hari lagi. Saya juga akan tes rapit antigen, khawatir jangan-jangan tertular covid mengingat seringnya komunikasi dalam satu rumah.

Hari itu, Senin, 21 Desember 2020, saat subuh sebelum berangkat ke Laboratorium untuk tes swab, isteri dan saya bersedekah melalui online dengan harapan Allah memudahkan urusan kami dan segera membebaskan dari jeratan covid-19. Selama sekitar 2 jam kami menunggu antrean dan pelaksanaan tes swab. Selesai tes, saya diberitahu bahwa hasilnya nanti sore. Sementara isteri saya hasilnya masih 3 hari lagi.

Senin sore itu datang berita dari Laboratorium bahwa tes rapid antigen untuk saya menunjukkan negatif.  Alhamdulillah, wasysyukru lillah! Saya negatif dan anak saya negatif. Tinggal menunggu hasil tes untuk isteri saya yang diperkirakan selesai Rabu-nya. Tak disangka, tak diduga, Selasa malam, 22 Desember 2020 dapat info dari Laboratorium bahwa hasil tes swab untuk isteri saya dinyatakan negatif. Alhamdulillah, alhamdulillah, walhamdulillah!

Malam itu juga semua bahagia, terutama isteri saya, langsung sujud syukur. Kata anak saya, ini hadiah untuk ibu di hari ibu. Kebahagiaan isteri saya tidak cukup di situ. Ia dengan senyum dan wajah cerah ceria mulai mendekati saya, lalu mengatakan sambil membisikkan dekat telinga saya: “sekarang kita sudah bisa mengesun, ya!”. Maklum, sudah beberapa hari harus menjaga jarak (social distancing). Saya pun menyambutnya, ikut bahagia, kemudian mendekapnya. Alhamdulillah! Alhamdulillah! Lahaula wala quwwata illa billah!

 

Kenangan di Taman Tulip Istambul-Turki 2019             
           




 

Sabtu, 21 November 2020

HUKUM MEMBAWA ANAK KE MASJID

 

HUKUM MEMBAWA ANAK KE MASJID

Oleh

Dr.H. Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I

 Pertanyaan:

Assalamu’alaikum wr. wb!

              Ustadz Zuhdi rahimakumullah! Mohon penjelasan mengenai hukum membawa anak ke masjid. Boleh apa tidak? Bagaimana anak-anak pada masa Nabi , apakah ada yang ikut ke masjid? Demikian pertanyaan kami, dan terima kasih atas pencerahannya! (M. Hasan, Taman-Sidoarjo).

Wassalamu’alaikum wr. wb!

 Jawaban:

              Ada dua pendapat mengenai hukum membawa anak ke masjid. Sebagian ulama membolehkan, dan sebagian yang lain memakruhkan. Masing-masing pendapat memiliki dalil kuat berdasarkan hadis-hadis shahih.     

              Ulama yang membolehkan membawa anak ke masjid berargumentasi berdasarkan sejumlah hadis shahih bahwa pada masa Rasulullah , ditemukan beberapa peristiwa anak-anak berada di dalam masjid. Di antaranya sebagai berikut:

1.    Nabi membawa Umamah ke masjid dan menggendongnya saat shalat.

              Abu Qatadah berkata:

رَأَيْتُ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- يَؤُمُّ النَّاسَ وَأُمَامَةُ بِنْتُ أَبِى الْعَاصِ وَهِىَ ابْنَةُ زَيْنَبَ بِنْتِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- عَلَى عَاتِقِهِ فَإِذَا رَكَعَ وَضَعَهَا وَإِذَا رَفَعَ مِنَ السُّجُودِ أَعَادَهَا

“Aku melihat Nabi mengimami shalat, sementara Umamah putri Abu al-Ash dan putri Zainab binti Nabi berada di gendongan beliau. Apabila ruku’, beliau meletakkan Umamah, dan apabila bangkit dari sujud, beliau mengangkatnya kembali (HR. al-Bukhari no. 5996 dan Muslim no. 1241).

              Hadis tersebut menjelaskan bahwa Nabi pernah membawa anak kecil ke dalam masjid, dan beliau menggendongnya ketika shalat. Saat itu beliau menjadi imam shalat berjamaah bersama para sahabat pada shalat wajib (Badruddin al-Aini, Umdat al-Qari Syarh al-Bukhari, XXXII/177).  Ahmad bin Hanbal pernah ditanya tentang seseorang membawa anak saat sedang shalat, maka beliau membolehkan berdasarkan hadis dari Qatadah tersebut tentang peristiwa Umamah yang pernah digendong Nabi saat shalat berjamaah (Ibn Abd al-Barr, al-Istidzkar, II/349).

2.    Nabi pernah memperpendek bacaan shalatnya saat mendengar tangisan anak kecil di masjid.

 عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم إِنِّي لَأَدْخُلُ الصَّلَاةَ أُرِيدُ إِطَالَتَهَا فَأَسْمَعُ بُكَاءَ الصَّبِيِّ فَأُخَفِّفُ مِنْ شِدَّةِ وَجْدِ أُمِّهِ بِهِ (رواه مسلم)

Anas bin Malik ra. mengatakan, Rasulullah bersabda: “Sungguh aku pernah memulai shalat yang ingin kupanjangkan, lalu karena kudengar tangisan seorang anak kecil, maka kuringankan (shalat tersebut), karena (aku sadar) kegusaran ibunya terhadapnya” (HR. Muslim no. 1084).

              Hadis tersebut menjelaskan bahwa dalam situasi shalat berjamaah (di masjid) yang diimami oleh Nabi , tiba-tiba terdengar tangisan seorang anak kecil yang berada di dekat ibunya. Saat itu Nabi mengambil kebijakan untuk tidak memperpanjang shalatnya, tetapi memperpendek shalatnya dengan membaca surat-surat pendek. Nabi memahami perasaan ibunya yang tidak tenang. Menurut Imam al-Syaukani, hadis tersebut menunjukkan (جواز إدخال الصبيان المساجد), bolehnya membawa anak ke dalam masjid (al-Syaukani, Nayl al-Authar, III/167).

3.      Kaum wanita dan anak-anak menunggu di masjid

Aisyah ra. mengatakan: “Pada suatu malam, Rasulullah pernah mengakhirkan shalat isya’, hal itu terjadi ketika Islam belum tersebar luas. Beliau tidak juga keluar hingga Umar berkata: “Para wanita dan anak-anak (yang menunggu di masjid) sudah tertidur“. Akhirnya beliau keluar dan mengatakan kepada mereka yang berada di masjid: “Tidak ada seorang pun dari penduduk bumi yang menunggu shalat ini selain kalian” (HR. al-Bukhari no. 566 dan Muslim no.  1475).

              Menurut Ibn Hajar al-Asqalani dan al-Qasthalani, yang dimaksud dengan para wanita dan anak-anak yang sudah tidur (نام النساء والصبيان) adalah mereka yang sedang berada di dalam masjid (al-‘Asqalani, Fath al-Bari,II/345; al-Qasthalani, Irsyad al-Sari, II/151). Al-Nawawi juga berpendapat bahwa yang dimaksud dengan “para wanita dan anak-anak yang sudah tidur” adalah di antara orang-orang yang sedang menunggu di dalam masjid (al-Nawawi, Syarh al-Nawawi ‘Ala Muslim, V/137).

4.       Nabi menggendong cucunya (Hasan-Husein) saat khutbah dan shalat.

Buraidah mengatakan: “Suatu saat Nabi berkhutbah, lalu datanglah Hasan dan Husain ra. yang memakai baju merah, keduanya berjalan tertatih-tatih dengan baju tersebut, maka beliau pun turun (dari mimbarnya) dan memotong khutbahnya, lalu beliau menggendong keduanya dan kembali ke mimbar, lalu mengatakan: “Maha benar Allah dalam firman-Nya:

(إِنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌ) رَأَيْتُ هَذَيْنِ يَعْثُرَانِ فِي قَمِيصَيْهِمَا فَلَمْ أَصْبِرْ حَتَّى قَطَعْتُ كَلَامِي فَحَمَلْتُهُمَا

‘Sungguh harta-harta dan anak-anak kalian itu adalah fitnah (cobaan)’, aku melihat kedua anak ini tertatih-tatih dengan bajunya, maka aku tidak sabar, hingga aku memotong khutbahku, lalu aku menggendong keduanya (HR. al-Nasai no. 1413).  Syaikh al-Albani mensahihkan hadis ini (al-Albani, Shahih Wa Dhaif Sunan al-Nasai, IV/57).

Dalam hadis-hadis tersebut(hadis-hadis mengenai Nabi bersama anak kecil ketika shalat) menunjukkan bolehnya memasukkan anak ke masjid-masjid. Walaupun mereka masih kecil dan masih tertatih saat berjalan, bahkan kemungkinan mereka akan menangis keras. Karena Nabi menyetujui hal itu, dan tidak mengingkarinya, bahkan beliau mensyariatkan para imam agar meringankan bacaannya ketika ada tangisan bayi, karena dikhawatirkan akan memberatkan ibunya” (al-Albani, al-Tsamar al-Mustathab, I/761).  

 Di antara hikmah membawa anak ke dalam masjid adalah untuk membiasakan mereka dalam ketaatan dan menghadiri shalat berjamaah mulai sejak kecil, karena sesungguhnya pemandangan-pemandangan yang mereka lihat dan dengar saat berada di masjid seperti dzikir, bacaan al-Qur’an, takbir, tahmid, dan tasbih, itu semua memiliki pengaruh yang kuat dalam jiwa mereka, tanpa mereka sadari. Pengaruh tersebut tidak akan atau sangat sulit hilang saat mereka dewasa dan memasuki perjuangan hidup dan gemerlapnya dunia (al-Albani, al-Tsamar al-Mustathab, 1/761).

              Sebagian ulama memakruhkan atau tidak menganjurkan membawa anak-anak ke masjid, terutama anak-anak yang belum mumaiyiz (membedakan yang baik dan buruk). Menurut ulama yang memakruhkan ini, kehadiran bayi atau anak kecil di masjid bisa menimbulkan dampak negatif (mafsadat) yang lebih besar daripada positifnya (maslahat). Tangisan bayi atau teriakan anak kecil itu mengganggu bacaan imam. Ia juga mengusik ketenangan makmum dalam menyimak bacaan imam. Selain itu, anak kecil seringkali berjalan-jalan dan berlarian di hadapan makmum atau imam. Hal itu jelas mengganggu kekhusyukan imam dan makmum. Dalam hal ini Ibnu Katsir meriwayatkan: “Dahulu Umar bin al-Khattab ra. bila melihat anak-anak bermain-main di masjid, memukuli mereka dengan cambukan (ringan), dan setelah Isya’ beliau memeriksa masjid hingga tidak menyisakan satu orang pun (Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Adzim, III/357).   

              Syekh al-Utsaimin berpendapat bahwa tidak boleh membawa anak-anak ke masjid apabila kehadiran mereka mengganggu jamaah lain yang shalat. Berdasarkan hadis dari Abu Said Al-Khudri ra., ia berkata: Rasulullah melakukan i’tikaf di dalam masjid. Dari dalam kemahnya, Rasulullah mendengar para sahabat membaca Al-Quran dengan suara yang keras. Maka beliau menyingkap tabir kemahnya, lalu beliau bersabda: “Sesungguhnya masing-masing di antara kalian sedang bermunajat dengan Rabbnya, maka janganlah sebagian kalian menganggu sebagian lainnya, dan janganlah sebagian kalian mengeraskan bacaannya atas sebagian lainnya, atau Nabi bersabda: pada waktu shalat!” (HR. Abu Daud No.1334, al-Nasai 8092, dan Ahmad no.11915).

Apabila bacaan al-Qur’an yang keras bisa dianggap mengganggu kekhusyuan, maka anak-anak yang ramai lebih patut untuk dilarang. Namun apabila mereka tidak mengganggu, membawa mereka ke masjid adalah sesuatu yang baik. Karena membiasakan mereka untuk shalat berjamaah bisa menjadikan terikat hatinya dengan shalat berjamaah(al-Utsaimin, Majmu’ Fatawa wa Rasail al-Utsaimin, XII/397).

              Imam Malik ra pernah ditanya tentang membawa anak ke masjid, maka beliau menjawab: “Apabila anak-anak itu tidak bermain walaupun usianya masih kecil, dan dia akan berhenti apabila dilarang bermain, maka aku berpendapat hal ini tidak mengapa. Akan tetapi, apabila dia masih bermain-main karena usianya masih kecil (padahal sudah diingatkan), maka aku berpendapat tidak perlu membawanya ke masjid” (Imam Malik, Al-Mudawwanah al-Kubra, I/252).

              Dari keterangan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa mengajak anak kecil ke masjid pada dasarnya boleh-boleh saja, tetapi orang tua atau walinya harus menjaganya termasuk menyiapkan pampersnya, dan selalu membimbingnya. Bila suatu saat terjadi kekacauan, misalnya anak menangis yang tak bisa dikendalikan, atau bermain-main, maka lebih baik dibawa pulang agar tidak mengganggu jamaah lainnya. Dalam hal ini berlaku kaidah “taqdim al-mashlahah al’ammah ‘ala al-mashlahah al-khashshah” (al-Syathibi, al-Muwafaqat,VII/325), kepentingan umum harus diprioritaskan daripada kepentingan yang bersifat khusus. Waallahu A’lam!