MENJADI ORANG BERJASA
Oleh
Dr.H.Achmad Zuhdi Dh,M.Fil I
Nabi Saw bersabda:
خَيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ
“Sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak jasanya bagi orang lain”
(HR. al-Thabrani, al-Mu’jam al-Awsath, VI/58)
Muhammad Nashiruddin al-Albani menilai hadis ini shahih (al-Silsilah al-Shahihah,I/787)
Ada pertanyaan penting yang perlu kita jawab dalam mengarungi hidup dan kehidupan ini. Selama ini, pernahkah kita melakukan sesuatu yang bermanfaat bukan hanya bermanfaat bagi diri sendiri, tetapi juga bermanfaat bagi orang lain? Misalnya, pernahkah kita memberikan sesuatu kepada keluarga, sehingga mereka merasa senang, bahagia dan bermanfaat bagi kehidupan masa depannya? Bagaimana dengan orang-orang yang ada di sekitar kita, tetangga kita, teman-teman sekerja kita, dan orang-orang yang telah mengenal kita, apakah mereka merasakan sesuatu yang bermanfaat dari kita, berkat jasa-jasa atau tindakan-tindakan kita?
Kebanyakan orang berusaha keras untuk meniti karir hingga meraih sukses besar dengan mendapatkan jabatan bergengsi, gelar pendidikan tertinggi, harta kekayaan melimpah, nama yang masyhur, dan penghormatan dari berbagai kalangan. Namun, agaknya jarang di antara kita yang bercita-cita atau berpikiran tentang apa yang bisa kita perbuat dan kita berikan kepada orang lain, sehingga mereka benar-benar merasakan manfaatnya karena bantuan atau jasa yang kita berikan. Hadis tersebut di atas mengingatkan kita bahwa orang yang paling baik di antara kita adalah orang yang paling berjasa bagi orang lain. Bukan orang yang paling kaya, bukan orang yang paling tinggi gelar pendidikannya, dan bukan pula orang yang paling berkuasa karena jabatan dan kedudukannya.
Ada sebuah anekdot yang menarik dan sangat inspiratif. Kisah ini dituturkan oleh Prof. Dr.Ravik Karsidi, Rektor Universitas Sebelas Maret Solo. Beliau bercerita:
Waktu itu saya dalam perjalanan dari Jogya ke Jakarta naik pesawat. Karena keberangkatan pesawat ditunda 1 jam, maka saya menunggu di in HB Kafetaria Bandara Adisucipto, sekedar minum kopi. Di depan saya, duduk seorang ibu sudah agak tua, memakai pakaian Jawa tradisional, kain batik dan kebaya, wajahnya tampak tenang dan keibuan. Sekedar mengisi waktu, saya mengajaknya bercakap-cakap.
“Mau pergi ke Jakarta, bu ?”, tanya saya.
“Iya nak, hanya transit di cengkareng terus ke Singapura”, jawab Ibu itu.
“Kalau boleh, mau bertanya, ada keperluan apa ibu pergi ke Singapura ?”
“Menengok anak saya yang nomor dua nak, istrinya melahirkan di sana terus saya diberi tiket dan diuruskan paspor melalui biro perjalanan. Jadi saya tinggal berangkat tanpa susah mengurus apa-apa”, jawab ibu itu.
"Puteranya kerja dimana, bu ?”, tanya saya.
"Anak saya ini insinyur perminyakan, kerja di perusahaan minyak asing, sekarang jadi kepala kantor cabang Singapura”, jawab ibu itu.
“Berapa anak ibu semuanya?”, tanya saya.
"Anak saya ada 4 nak, 3 laki-laki, 1 perempuan. Yang ini tadi anak nomer 2. Yang nomer 3 juga laki-laki, dosen fakultas ekonomi UGM, sekarang lagi ambil program doktor di Amerika. Yang bungsu perempuan jadi dokter spesialis anak. Suaminya juga dokter, ahli bedah dan dosen di universitas Airlangga Surabaya”, jawab ibu itu.
"Kalau anak sulung, bu?”, tanya saya.
“Dia petani, Nak. Tinggal di Godean (Jogjakarta), menggarap sawah warisan almarhum bapaknya”, jawab ibu itu.
Saya tertegun sejenak lalu dengan hati-hati saya bertanya: “Tentunya ibu kecewa kepada anak sulung, ya bu. Kok tidak sarjana seperti adik-adiknya.
Ibu itu menjawab: “Sama sekali tidak, nak. Malahan kami sekeluarga semuanya hormat kepada dia. Dari hasil sawahnya dia membiayai hidup kami dan menyekolahkan adik-adiknya semua sampai selesai jadi sarjana”.
Saya merenung :
"Ternyata yang penting bukan apa atau siapa kita, tetapi apa yang telah kita perbuat". Allah tidak akan menilai apa dan siapa kita tetapi apa "amal-ibadah" kita. Tanpa terasa air mata pun mengalir di pipiku…...!
Kisah yang dituturkan oleh Ravik Karsidi tersebut menggambarkan bahwa sang Ibu yang mempunyai empat anak tersebut lebih bangga dan hormat kepada anaknya yang sulung (anak pertama), yang pekerjaannya sebagai seorang petani dibandingkan dengan yang lainnya, meskipun saudara-saudaranya yang lain telah berhasil meraih jenjang pendidikan yang tinggi dan jabatan yang prestisius. Bukan karena profesinya yang petani itu yang membuat ibunya bangga dan sangat hormat, tetapi karena perjuangannya dan kerelaannya untuk memberikan sumbangsih dari hasil pertaniannya kepada adik-adiknya, sehingga mereka (adik-adiknya) bisa melanjutkan sekolah sampai sarjana dan kemudian mendapatkan jabatan yang menggembirakan. Dalam hal ini, anak pertama tadi telah berjasa besar dalam mengantarkan adik-adiknya menjadi orang-orang yang berpendidikan dan berkedudukan.
Untuk menjadi orang yang berjasa, sebenarnya tidak perlu menunggu menjadi orang yang kaya, berpendidikan tinggi, dan memiliki jabatan atau kekuasaan. Yang penting, asal kita bisa memberikan “sesuatu” yang bermanfaat bagi orang lain, maka saat itu kita sudah menjadi orang yang berjasa bagi orang lain. Dalam hal ini, jasa yang kita berikan bisa berupa biaya studi kepada pelajar yang miskin, ilmu pengetahuan atau keahlian kepada calon tenaga kerja yang butuh bimbingan, dan nasihat atau solusi kepada mereka yang sedang mengalami suatu problem. Selain itu, kita juga bisa berjasa dengan memberikan bantuan tenaga fisik kita untuk mengangkat barang-barang dagangan milik pedagang yang sudah lanjut usia, atau ikut membangun masjid di sekitar kita dengan keahlian sebagai tukang bangunan, atau membersihkan dan menjaga keamanan masjid dengan waktu dan tenaga kita, dan lain-lain. Semuanya ini, apabila bisa kita lakukan dengan tulus dan semata-mata ingin mendapatkan ridha Allah, maka masyarakat luas akan dapat merasakan manfaatnya dan Allah tentu akan meridhainya.
Diriwayatkan oleh Ibn Abbas ra bahwa suatu ketika ada orang yang biasa menyapu masjid meninggal dan kemudian dimakamkan para sahabat di malam hari tanpa mengabari Nabi Saw. Padahal ketika sakit, orang ini sering dijenguk oleh Nabi Saw. Di pagi harinya, mereka baru memberitahu Nabi Saw. “Mengapa kalian tidak memberi tahu saya?” Tanya beliau. “Wahai Nabi, malam hari sudah larut dan suasana cukup gelap. Kami khawatir akan merepotkan anda”, Jawab sahabat. Ibnu Abbas melanjutkan ceritanya, lalu beliau mendatangi kuburannya, dan men-shalatinya. Kami menjadi makmum dan membentuk shaf di belakang beliau. Saya termasuk di antara mereka dan beliau bertakbir 4 (empat) kali. (HR. Ibn Majah 1530, al-Baihaqi dalam as-Sunan, dan dishahihkan al-Albani dalam Irwa’ al-Ghalil).
Dalam versi lain hadis riwayat Abu Hurairah Ra, peristiwa tersebut digambarkan sebagai berikut:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ امْرَأَةً سَوْدَاءَ كَانَتْ تَقُمُّ الْمَسْجِدَ - أَوْ شَابًّا - فَفَقَدَهَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَسَأَلَ عَنْهَا - أَوْ عَنْهُ - فَقَالُوا مَاتَ. قَالَ « أَفَلاَ كُنْتُمْ آذَنْتُمُونِى ». قَالَ فَكَأَنَّهُمْ صَغَّرُوا أَمْرَهَا - أَوْ أَمْرَهُ - فَقَالَ « دُلُّونِى عَلَى قَبْرِهِ ». فَدَلُّوهُ فَصَلَّى عَلَيْهَا ثُمَّ قَالَ « إِنَّ هَذِهِ الْقُبُورَ مَمْلُوءَةٌ ظُلْمَةً عَلَى أَهْلِهَا وَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يُنَوِّرُهَا لَهُمْ بِصَلاَتِى عَلَيْهِمْ ».رواه البخارى ومسلم
Abu Hurairah menceritakan bahwa ada seorang wanita hitam atau seorang pemuda yang tinggal di dalam masjid, menjadi tukang sapu atau penjaga masjid. Suatu ketika, Rasulullah Saw mencarinya dan menanyakannya kepada para sahabat. Para sahabat memberi tahu bahwa orang itu sudah meninggal. “Mengapa kalian tidak memberi tahu saya saat dia meninggal?.” Tanya Nabi Saw. Sepertinya para sahabat menganggap seolah orang ini biasa-biasa saja, orang kecil, bukan orang penting. Nabi saat itu kemudian meminta kepada para sahabat: “Tunjukkan kepadaku, di mana kuburannya?”. Para sahabat pun kemudian menunjukkan kepada beliau di mana kuburannya, setelah itu Nabi Saw pun mendatangi kuburannya dan shalat jenazah di sana. Lalu beliau bersabda: “Kuburan ini dipenuhi dengan kegelapan bagi penghuninya. Kemudian Allah Swt meneranginya dengan shalatku untuk mereka”. (HR. Bukhari 460, dan Muslim 2259).
Peristiwa yang terjadi pada masa Nabi Saw tersebut bisa menjadi pelajaran penting bagi kita betapa terhormatnya orang yang menyediakan diri bertugas dan berperan sebagai penjaga masjid dan memelihara kebersihannya sehingga mendapatkan perlakukan khusus dari Nabi Saw. Yang menjadi pertimbangan Nabi Saw tentu bukan sekedar karena profesinya, tetapi kesediaannya untuk berbuat sesuatu yang bisa membuat orang banyak merasa nyaman saat masuk dan berdiam di dalam masjid.
Bagaimana dengan diri kita? Sudahkah kita melakukan “sesuatu” untuk kepentingan dan kemaslahatan orang banyak?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar