HUKUM MENJUAL KULIT HEWAN KURBAN
&
BERKURBAN DENGAN BERHUTANG
Oleh
Dr.H.Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I
Assalamualaikum Wr. Wb
Ustadz Zuhdi yang dirahmati Allah SWT ! Dalam rangka menyambut Idul Adha, saya ingin mengajukan dua persoalan terkait dengan ibadah qurban. Pertama, di beberapa kepanitiaan kurban, sering terjadi penjualan kulit hewan qurban kepada pengepul. Bagaimana hukum menjual kulit kurban tersebut? Kedua, ada seseorang yang ingin sekali berkurban, tetapi pada saat yang ditentukan (tanggal 10,11, 12, dan 13 Dzul Hijjah) tidak tersedia uang untuk membeli hewan kurban. Karena itu ia pinjam uang untuk pembelian hewan kurban tersebut. Bagaimana hukum kurban dengan cara hutang tersebut?
Demikian, atas penjelasannya saya ucapkan terima kasih dengan iringan doa jazakumullah khairan katsiran!. (As’ad dari Sidoarjo)
Wassalamu’alaikum Wr. Wb
Jawab:
A. Hukum menjual kulit hewan kurban.
Pada prinsipnya, hewan kurban yang telah disembelih, dagingnya harus dibagi-bagikan kepada mereka yang berhak. Di antara mereka yang berhak menerimanya adalah orang-orang yang sengsara hidupnya dan kaum fakir-miskin (QS.al-Hajj, 28). Selain itu, orang yang berqurban sendiri juga dibenarkan menikmati daging hewan kurbannya. Nabi Saw bersabda:
كُلُوا وَأَطْعِمُوا وَادَّخِرُوا
“Makanlah (daging hewan kurbanmu), sedekahkanlah, dan simpanlah untuk perbekalan.”(HR.Bukhari dan Muslim).
Yang menjadi persoalan dan perbedaan pendapat di kalangan ulama adalah menjual kulit hewan kurban. Mayoritas ulama tidak membenarkannya atau melarangnya. Ulama yang melarang menjual kulit hewan kurban beralasan pada hadis Nabi Saw:
وَلاَ تَبِيعُوا لُحُومَ الْهَدْىِ وَالأَضَاحِىِّ فَكُلُوا وَتَصَدَّقُوا وَاسْتَمْتِعُوا بِجُلُودِهَا وَلاَ تَبِيعُوهَا
“Janganlah menjual daging hewan hasil sembelihan hadyu dan sembelian udh-hiyah (kurban).Tetapi makanlah, bershadaqahlah, dan gunakanlah kulitnya untuk bersenang-senang, dan jangan kamu menjualnya.”(HR. Ahmad)
Hadis tersebut riwayat Ahmad no. 16256. Syaikh Syu’aib Al Arnawt mengatakan bahwa sanad hadits ini dha’if (lemah). Ada tiga kelemahannya, yaitu (1)Ibnu Juraij atau ‘Abdul Malik bin ‘Abdul ‘Aziz adalah seorang mudallis; (2)Zubaid atauIbnul Harits Al Yamiy sering meriwayatkan dengan mu’an’an; (3) Zubaid pun tidak pernah bertemu dengan salah seorang sahabat. Sehingga hadits ini dihukumi munqathi’(sanadnya terputus). (Ta’liq Syu’ayb al-Arnawt, Musnad Ahmad, IV/15).
Selain hadis riwayat Ahmad tersebut ada juga hadis riwayat al-Hakim dari Abu Hurairah yang melarang penjualan kulit hewan kurban, Nabi Saw bersabda:
مَنْ بَاعَ جِلْدَ أُضْحِيَّتِهِ فَلاَ أُضْحِيَّةَ لَهُ
“Barangsiapa menjual kulit hasil sembelihan kurban, maka tidak ada (nilai ibadah) kurban baginya.”(HR. Al-Hakim).
Ulama berbeda pendapat dalam menilai hadis ini. Menurut al-Hakim, sanad hadis ini sahih. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan (al-Albani, Shahih Al-Targhib wa Al-Tarhib no. 1088, I/264). Sedangkan al-Dzahabi mengatakan bahwa dalam hadits ini terdapat nama perawi bernama Ibnu ‘Ayas yang didha’ifkan oleh Abu Daud (Mustafa Abd al-Qadir Atha, Ta’liq Mustadrak al-Hakim, II/422).
Walaupun status dua hadis di atas bermasalah, mayoritas ulama berpendapat bahwa menjual hasil sembelihan kurban termasuk kulitnya tetap terlarang. Alasannya, kurban dipersembahkan sebagai bentuk taqarrub kepada Allah, yaitu mendekatkan diri kepadaNya, sehingga tidak boleh diperjualbelikan. Alasan lainnya, kita tidak diperkenankan memberikan upah kepada jagal dari hasil sembelihan qurban sebagaimana hadis dari Ali bin Abi Thalib ra, dia berkata:
أَمَرَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ أَقُومَ عَلَى بُدْنِهِ وَأَقْسِمَ جُلُودَهَا وَجِلَالَهَا وَأَمَرَنِي أَنْ لَا أُعْطِيَ الْجَزَّارَ مِنْهَا شَيْئًا وَقَالَ نَحْنُ نُعْطِيهِ مِنْ عِنْدِنَا
Rasulullah saw memerintahkan aku untuk menyembelih hewan kurbannya dan membagi-bagikan dagingnya, kulitnya, dan alat-alat untuk melindungi tubuhnya, dan tidak memberi tukang potong (jagal) sedikitpun dari kurban tersebut. Tetapi kami memberinya(upah) dari harta kami” (HR. Bukhari dan Muslim).
Di antara ulama yang melarang menjual hasil sembelihan kurban adalah Imam al-Syafi’i dan Imam Ahmad. Imam Asy Syafi’i mengatakan, “Hewan kurban termasuk nusuk (hewan yang disembelih untuk mendekatkan diri kepada Allah). Hasil sembelihannya boleh dimakan, boleh diberikan kepada orang lain dan boleh disimpan. Aku tidak menjual sesuatu dari hasil sembelihan kurban (seperti daging atau kulitnya, pen). Barter antara hasil sembelihan qurban dengan barang lainnya termasuk jual beli.”(al-Syafi’i, al-Umm, II/351).
Berbeda dengan mayoritas ulama yang melarang penjualan kulit hewan kurban, Imam Hanafi berpendapat bahwa menjual kulit hewan kurban diperbolehkan kemudian hasil penjualannya disedekahkannya (kepada fakir-miskin) untuk dapat dimanfaatkan sebagaimana mestinya (Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, III/324). Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Imam al-Awza’i, Ishaq dan Abu Tsaur. (al-Syaukani, Nail al-Awthar, V/191).
Berdasarkan kajian hadis-hadis dan pendapat ulama tentang hukum menjual kulit hewan kurban tersebut, dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Sebagian besar ulama berpendapat bahwa menjual kulit hewan kurban hukumnya terlarang, karena hewan kurban tersebut (seluruhnya) sudah diniatkan untuk taqarrub atau persembahan kepada Allah, sehingga tidak boleh ada bagian dari hewan tersebut yang dijual. Mengenai kulit-kulit hewan kurban tersebut bisa dibagikan juga kepada fakir-miskin, apakah mau dimasak untuk dimakan atau dimanfaatkan untuk keperluan rumah tangga dan lain-lain. Di antara ulama yang mendukung pendapat ini adalah Imam al-Syafi’i dan Imam Ahmad;
2. Sebagian ulama ada yang membolehkan menjual kulit hewan kurban, tetapi nilai penjualan (uangnya) tersebut disedekahkan lagi kepada fakir miskin, misalnya dengan dibelikan kambing yang kemudian dagingnya dibagikan kepada fakir-miskin, tidak diambil oleh orang yang berkurban atau oleh panitia untuk biaya operasional. Di antara ulama yang berpendapat demikian adalah Imam Hanafi dan Imam Abu Tsaur. Wallahu A’lam !
B. Kurban dengan berhutang.
Menjawab pertanyaan tentang berkurban dari uang pinjaman, maka boleh-boleh saja dan ibadah kurbannya sah. Hanya saja, perlu dipertimbangkan apakah ia tidak terbebani dengan hutangnya nanti? Karena sesungguhnya meminjam uang (berhutang) untuk membeli hewan kurban pada dasarnya tidak dianjurkan, karena pada saat itu ia dipandang tidak memiliki kelapangan.
Untuk diketahui bahwa orang yang sedang berhutang itu dalam posisi tertuntut untuk membayarnya. Dari Abu Hurairah ra. Nabi Saw bersabda:
نَفْسُ الْمُؤْمِنِ مُعَلَّقَةٌ بِدَيْنِهِ حَتَّى يُقْضَى عَنْهُ
“Jiwa seorang mukmin tergantung kepada hutangnya sehingga dibayarkan.” (HR. Ahmad dan al-Tirmidzi). al-Tirmidzi mengatakan bahwa hadis ini hasan. Syaikh al-Albani juga menilai hadis ini hasan (al-Albani, Shahih Sunan Ibnu Majah, II/53).
Hutang juga bisa menjadi sebab seseorang terhalang masuk surga. Diriwayatkan dalam Shahih Muslim, ada seseorang datang kepada Nabi Saw, lalu berkata, “Bagaimana menurut Anda, jika aku terbunuh di jalan Allah dalam kondisi sabar, berharap pahala dan maju terus tidak kabur, apakah Allah akan menghapuskan kesalahan-kesalahanku?” Nabi Saw menjawab, “Ya”. Namun ketika orang tersebut berbalik, Rasulullah Saw memanggilnya atau memerintahkan untuk dipanggilkan dia. Lalu Rasulullah Saw bertanya, “Apa yang kamu katakan tadi?” Lalu orang tersebut mengulangi pertanyaannya, dan Nabi Saw menjawab, “Ya, kacuali hutang, begitulah yang dikatakan Jibril.” (HR. Muslim).
Harus difahami bahwa meminjam uang (berhutang) untuk membeli hewan kurban pada dasarnya tidak dianjurkan, karena dia tidak termasuk yang memiliki kelapangan, dan juga kedudukan hutang jauh lebih penting untuk diperhatikan. Adapun bagi orang yang memiliki jaminan untuk membayarnya seperti gaji tetap, tabungan atau semisalnya, maka dia dibolehkan berhutang untuk berkurban, dan kurbannya sah. Sementara orang yang tidak memiliki jaminan untuk membayarnya, maka hendaklah dia tidak berhutang supaya dirinya tidak terbebani di kemudian hari dengan sesuatu yang sebenarnya tidak diwajibkan.
Wallahu A'lam !
Tidak ada komentar:
Posting Komentar