Sabtu, 23 Maret 2013

Hukum Mengusap Kepala dlm Wudu


HUKUM MENGUSAP KEPALA DALAM BERWUD{U

 oleh:
DR. H. ACHMAD ZUHDI DH, M.FIL. I


Dalam hal wud}u, ‘ulama> sepakat bahwa membasuh muka, membasuh kedua tangan, mengusap kepala dan membasuh kedua kaki adalah fard}u hukumnya. Dalam  hal mengusap kepala, mereka berbeda pendapat apakah diusap seluruhnya atau sebagian saja.

Kadar Mengusap Kepala Saat Melakukan Wud}u

-          ‘Ulama> Ma>liki>ah berpendapat bahwa yang  difard}ukan ialah mengusap seluruh kepala
-          ‘Ulama> Sha>fi’i>ah berpendapat bahwa yang  difard}ukan ialah mengusap sebagian kepala saja, walau sehelai rambut atau beberapa helai rambut.  
-          ‘Ulama> H{anafiah ada dua pendapat; menurut suatu riwayat yang  dipegang oleh ulama Mutaakhirinberpendapat bahwa yang  difard}ukan ialah seperempat kepala, sedangkan menurut ‘ulama> Mutaqaddimi>nberpendapat bahwa yang difard}ukan ialah sebatas tiga jari.
-          ‘Ulama> H{ana>bilah juga ada dua pendapat. Yang  pertama, dan inilah yang dipandang  terkuat, yaitu sama dengan ‘Ulama Maliki>ah, yakni bahwa yang difard}ukan adalah mengusap seluruh kepala; sedangkan  yang  kedua berpendapat bahwa yang difard}ukan hanyalah sekedar ubun-ubun saja.[1]

Alasan Mengusap kepala secara keseluruhan
‘Ulama> Ma>liki>ah mengambil dalil dengan firman Allah :
وَامْسَحُوْا بِرُؤُوْسِكُمْ
                                   “Dan usaplah kepalamu”[2]
Menurut ulama Malikiah, bahwa ba’pada  “"برؤوسكم   itu ada kalanya zaidah(tambahan) atau untuk ilshaq (melekat). Tidak ada pengertian yang  ketiga lagi yang  mungkin diartikannya. Berdasarkan  kedua kemungkinan itu, maka susunan kalimat tersebut memberi pengertian mengusap seluruh kepala saat wudu. [3]
Keterangan yang menyebutkan bahwa ba’ mempunyai pengertian ketiga, maka yang  paling dekat dan dapat digambarkan sesudah zaidah(tambahan) dan ilshaq (melekat) ialah tab’idl (menunjukkan sebagian).  
   Yang  pasti menurut ahli bahasa ialah bahwa tab’idl tidak termasuk di antara makna ba’. Di antara ulama ahli bahasa adalah Ibnu Burhan yang mengatakan: “Barang siapa berpendapat bahwa ba’ menunjukkan arti tab’idl, maka ia mengantarkan ahli bahasa pada perkara yang tidak dikenal oleh mereka”. Asy-Syaukani mengatakan bahwa Imam Syibawaih memungkiri   adanya ba’ yang menunjukkan arti tab’idlpada lima belas tempat dalam kitabnya.
         Pengertian umum yang menerangkan masalah ba’ berarti  ilshaq ialah bahwa kepala pada hakikatnya dimaksudkan untuk “seluruh”. Sedangkan pengertian yang mengarah pada “sebagian” adalah  majaz, yang  tidak boleh diartikan demikian kalau tidak ada petunjuk untuk itu.   Oleh karena  di sini tidak ada petunjuk yang mengarah pada arti “sebagian”, maka haruslah diusap seluruh kepala.
   Secara keseluruhan bahwa pengertian zaidahjuga tetap ada pada pengertian ilshaq. Dengan demikian ayat itu adalah mujmal, yang  mana untuk memahami apa yang  telah dimaksud memerlukan penjelasan dari Rasulullah Saw.
  Ulama Malikiah berpendapat bahwa tidak ada hadits yang  shahih yang menyatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah mencukupkan mengusap sebagian kepala. Dengan demikian tetaplah bahwa yang  dimaksud dari ayat itu ialah mengusap seluruh kepala. [4]

 Hadits yang menerangkan mengusap seluruh kepala

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ زَيْدِ بْنِ عَاصِم فِى صِفَةِ الْوُضُوْءِ قَالَ: وَمَسَحَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِرَأْسِهِ فَأَقْبَلَ بِيَدَيْهِ وَأَدْبَرَ (متفق عليه)
Artinya:
“Dari Abdullah bin Zaid bin ‘Ashim, tentang sifat wudu : ia berkata :….dan Rasulullah Saw.. mengusap kepalanya, yaitu ia jalankan dua tangannya ke belakang dan ia kembalikannya. (Muttafaq ‘alaih). [5]

وَفِىْ لَفْظٍ لَهُمَا: بَدَأَ بِمُقَدَّمِ رَأْسِهِ حَتَّى ذَهَبَ بِهِمَا إِلَى قَفَاهُ ثُمَّ رَدَّهُمَا إِلَى الْمَكَانِ الَّذِىْ بَدَأَ مِنْهُ
Artinya :
“Dan di satu lafadz (lain) dari riwayat keduanya (Bukhari dan Muslim),  ia mulai (mengusap) dari depan kepalanya hingga ia jalankan dua tangannya sampai tengkuknya, kemudian ia kembalikan (kedua) nya ke tempat yang  ia mulai daripadanya” .[6]
وَعَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرِو فِى صِفَةِ الْوُضُوْءِ قَالَ: ثُمَّ مَسَحَ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِرَأْسِهِ وَأَدْخَلَ إِصْبَعَيْهِ السَبَاحَتَيْنِ فِيْ أُذُنَيْهِ وَمَسَحَ بِإِبْهَامَيْهِ ظَاهِرَ أُذُنَيْهِ (أخرجه أبو داود والنسائي وصححه ابن خزيمة)
Artinya:
Dan dari Abdillah bin ‘Amr tentang sifat wudunya (Rasulullah Saw.), ia berkata: “Kemudian ia (Rasulullah Saw.) mengusap kepalanya, kemudian memasukkan kedua jari telunjuknya ke dalam telinganya dan mengusap bagian luar telinganya dengan kedua ibu jarinya” (HR. Abu Dawud dan al-Nasa-i dan dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah).[7]
Berdasarkan hadits-hadits tersebut dapat diambil pengertian bahwa cara Rasulullah Saw. mengusap kepala ialah dengan meletakkan kedua telapak tangannya yang  basah di depan kepala dekat dahi, lalu memundurkan (menarik ke belakang)  keduanya sampai ke tengkuk lantas menarik keduanya kembali ke tempat permulaan, kemudian menurunkan kedua tangan itu pada dua telinga, dan mengusap bagian dalam  dua telinga itu dengan dua jari telunjuknya serta mengusap sebelah luarnya dengan kedua ibu jari.    

Alasan Mengusap sebagian kepala
Ulama Syafi’iah juga sama mengambil dalil  ayat “Wamsahuu biru-uusikum”. (QS. Al-Maidah, 6), sedangkan penjelasannya adalah bahwa “ ba’”  pada lafadz tersebut dalam arti ilshaq, yaitu makna yang  hampir tidak pernah ada.  Maka ayat itu adalah mutlaq,  yang mengandung arti melekatkan usapan ke kepala,  dan ini dapat berarti dengan mengusap sebagian atau seluruh kepala.[8]
Ulama  Syafi’iah berpendapat : Kalau kita menerima bahwa ba’  itu zaidah, tentu ayat itu menjadi mujmal, dan untuk memahami apa yang  telah dimaksudkan maka perlu penjelasan dari Nabi Saw.,  sedangkan penjelasan mengenai itu sudah ada yaitu yang  terdapat pada Hadits al-Mughirah bin Syu’bah bahwa Nabi pernah mengusap sebagian kepala, sebagaimana keterangan hadits shahih riwayat Muslim berikut ini:
عَنِ الْمُغِيْرَةِ بْنِ شُعْبَة أَنَّ النَّبِىَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَوَضَّأَ فَمَسَحَ بِنَاصِيَتِهِ وَعَلَى الْعِمَامَةِ وَالْخُفَّيْنِ  (رواه مسلم)
Artinya:
Dari al-Mughirah bin Syu’bah, bahwasanya Rasulullah SAW., telah berwudu dengan mengusap  ubun-ubun dan dari atas surban dan dua sarung kaki. (HR.Muslim)[9]

Pada riwayat lain Nabi Saw.. mengusap ubun-ubunnya dan surban. Demikian juga pada riwayat Abu Daud dari Anas ra. ia berkata: “Saya melihat Rasulullah SAW. berwudu sedang di atas kepalanya surban Qathariyah, maka beliau memasukkan tangannya di bawah surban lalu mengusap bagian muka dari kepalanya. Begitu pula hadits riwayat al-Baihaqi dari Atha’ bahwa Rasulullah SAW. berwudu lalu menggeser surbannya, dan mengusap bagian muka dari kepalanya. Atau ia berkata : Ubun-ubunnya.[10]
Hadits-hadits tersebut dengan tegas menerangkan tentang bolehnya  mengusap sebagian kepala. Berdasarkan ini, pastilah ba’ itu untuk ilshaqdan tidak mungkin zaidah, demikian pandangan ulama al-Syafi’iah.[11]
Ulama Hanafiah mengambil dalil dengan ayat itu juga, yakni “Wamsahuu biru-uusikum” . (QS. Al-Maidah, 6) dan mereka  berpendapat bahwa dijadikan ba’itu zaidah adalah bukan asal dan oleh karena itu pastilah ia untuk ilshaq.Yang  dimintakan ialah melekatkan tangan dengan kepala, karena firman Allah “Wamsahuu” membutuhkan maf’ul(obyek), yaitu alat mengusap yakni tangan. Maka ayat itu lengkapnya menurut pengertian ialah: “Wamsahuu aidiyakum mulshaqatan biru-usikum” (Usaplah tanganmu menyentuh kepalamu). [12]
  Kaidah  mengatakan bahwa bila ba’  masuk kepada yang  diusap, maka yang dikehendaki adalah mencakup alat sebagaimana apabila ia masuk kepada alat menghendaki pula mencakup yang  diusap. Misalnya, jika ada orang mengatakan bahwa dirinya mengusap kepala anak yatim dengan tangannya, maka orang lain akan memahami bahwa yang diusap adalah seluruh kepala. Dan jika ada orang mengatakan bahwa dirinya mengusapkan tangannya pada kepala anak yatim, maka orang lain akan memahami bahwa ia mengusap kepala anak yatim dengan seluruh tangannya. Ayat tersebut termasuk dalam kategori pengertian yang kedua, yaitu mengusap dengan seluruh tangannya[13]
Mereka  berkata : “Seluruh tapak tangan yang menyentuh kepala biasanya tidak dapat mencakup kepala kecuali seperempatnya.  Dengan demikian, maka itulah yang  dimaksud dari ayat tersebut”.
Mereka  juga dapat menerima bahwa ba’ itu zaidah. Mereka  berpendapat bahwa ayat tersebut adalah mujmal, karena ada kemungkinan berarti zaidah dan juga  kemungkinan berarti ilshaq; sedang hadits-hadits yang  datang dalam  masalah ini menerangkan bahwa yang  diminta ialah ilshaq, yaitu ilshaqtertentu sekedar ubun-ubun atau lebih. Hal ini karena Rasulullah Saw. tidak membiasakan mengusapkan seluruhnya atau sebagaimana tidak pernah mengusap kurang dari ubun-ubun atau bagian muka dari kepala. Ubun-ubun dan bagian muka dari kepala adalah sama dengan seperempat. Maka tentulah yang  difardlukan itu adalah seperempat (kepalanya). [14]
            Dari pembahasan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa terjadinya perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai wajibnya batas mengusap kepala saat berwudu adalah disebabkan adanya perbedaan dalam memahami ba’ pada ayat “Wamsahuu biru-uusikum” . (QS. Al-Maidah, 6). Sebagian ulama cenderung memahami dalam arti zaidah, yang mengandung arti mujmal sehingga yang dimaksud oleh ayat itu adalah mengusap seluruh kepala. Kecuali jika ada dalil khusus yang menunjukkan pengecualiannya, misalnya Nabi Saw. pernah mengusap sebagian kepala. Dalam hal ini ulama Malikiah memandang  bahwa tidak ada hadits yang shahih yang menjelaskan tentang mengusap hanya sebagian kepala. Pendapat ini diperkuat oleh sebagian ulama Hanabilah.
            Pendapat yang lain, terutama dari kalangan ulama Syafi’iah berpendapat bahwa ba’pada ayat “Wamsahuu biru-uusikum” . (QS. Al-Maidah, 6) dapat berarti mutlaq, hal ini bisa berarti seluruh kepala dan juga bisa berarti sebagian kepala (li al-tab’idl).  Lebih lanjut ulama Syafi’iah menjelaskan bahwa bila kita menerima ba’ itu zaidahmaka berarti menjadi mujmal, dan untuk memahami maksudnya diperlukan keterangan dari Nabi Saw.. Menurut ulama Syafi’iah, dalil yang menerangkan tentang mengusap sebagian kepala saat wudu  itu memang ada, yaitu hadits riwayat Muslim[15]dari al-Mughirah bin Syu’bah yang menyatakan bahwa Nabi Saw. pernah mengusap ubun-ubunnya dan surbannya saat berwudu. Pendapat ini hampir sama dengan pendapat ulama Hanafiah, hanya saja ulama Hanafiah menegaskan bahwa yang dimaksud dengan sebagian kepala adalah seperempatnya saja.
Perbedaan antara kedua golongan yang mengatakan bahwa yang wajib dalam hal  batas mengusap kepala saat wudu itu adalah seluruh kepala atau hanya sebagian kepala, kedua-duanya memiliki dalil yang dapat dijadikan hujjah. Bagi ulama yang cenderung memahami makna ba’ pada ayat tersebut adalah zaidah, maka wajib mengusap kepala seluruhnya, sedangkan ulama yang memahami makna ba’itu li al-tab’idl, maka yang wajib diusap hanya sebagian kepalanya[16].
Dari bahasan perbedaan ulama mengenai batas mengusap kepala yang diwajibkan saat berwudu, dapat disimpulkan bahwa ulama Hanabilah dan Malikiah sepakat bahwa yang diwajibkan dalam berwudu adalah mengusap seluruh kepala. Adapun ulama Hanafiah dan Syafi’iah memandang bahwa yang diwajibkan hanya mengusap sebagian kepala saja, sedangkan untuk mengusap seluruh kepala hanya disunnahkan saja. Lebih lanjut ulama Syafi’iah menjelaskan bahwa yang wajib itu hanya mengusap sebagian kepala saja, walaupun mudah melakukannya. Adapun ulama Hanafiah cenderung pada pendapat bahwa yang wajib itu seperempat kepala saja, yakni diperhitungkan dengan lebarnya telapak tangan yang memungkinkan menyentuh kepala saat wudu.[17]
Apa pun pendapat mereka, yang jelas masing-masing kelompok (ulama) sudah memiliki dalil-dalil yang diyakininya kuat dan shahih. Tentang kita harus pilih yang mana di antara pendapat-pendapat itu, tentu kita harus memperhatikan dulu dalil-dalil yang digunakannya. Jika kita lebih cenderung pada pendapat tertentu (dengan pertimbangan dalil-dalilnya yang lebih kuat) setelah melakukan kajian terhadap masing-masing dalil yang digunakan, maka pendapat itulah yang harus kita pegangi. Namun  demikian kita harus tetap menghormati pendapat orang lain yang tidak sejalan dengan kita. Dengan demikian, insya Allah persaudaran di antara kita sesama muslim akan tetap terpelihara dengan baik dan harmonis.
 Wallahu a’lam bi al-Shawab!




[1]Ibn Rushd, Bida>yat al-Mujtahid wa Niha>yat al-Muqtas}id, Vol.I (Tt: Da>r al-Ih}ya> al-‘Arabi>yah, tt), 8. Baca juga Mah}mu>d Shaltu>t dan  Ali As-Sayis, Fiqh Tujuh Madzhab,terj. Abdullah Zakiy al-Kaaf, (Bandung : CV.Pustaka Setia, 2000),35.
[2] QS. Al-Maidah, 6
[3]Syaltout, Fiqh Tujuh,, 36.
[4]Ibid., 37.
[5]Muhammad Ismail al-Kahlani, Subul al-Salam Syarh Bulugh al-Maram, Vol, I (tt: Dar al-Fikr, tt), 44.
[6]Ibid. Baca juga Muhammad al-Shalih al-‘Utsaimin, Tanbih al-Abham Bisyarh Umdat al-Ahkam, Vol.I (Saudi Arabia: tp, 1403 H), 26-27.
[7]Al-Shan’ani, Subul al-Salam, 45.
[8]Syalthut, Fiqh Tujuh, 37.
[9]Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Vol.I (Bairut: Dar al-Fikr, 1983), 39. Baca juga Al-Shan’ani, Subul al-Salam, 50.
[10]Syalthut, Fiqh Tujuh, 37.
[11]Ibid.
[12]Ibid., 38.
[13]Ibid.
[14]Ibid.
[15]Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi al-Naisaburi, Shahih Muslim, Vol.I (Bairut: Dar al-Fikr, 1988), 141.
[16]Ibn Rusyd, Bidayat al-Mujtahid, 9.
[17]Abd al-Rahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah, Vol.I (Tt: Dar al-Fikr, 1986), 63.

Sabtu, 02 Maret 2013

HAKIKAT DAN OBYEK ILMU TASAWWUF

HAKIKAT DAN OBYEK ILMU TASAWUF

Oleh:
Achmad Zuhdi Dh


Pendahuluan

Ilmu tasawuf, sekalipun telah diakui sebagai suatu disiplin ilmu keislaman, namun masih ada yang mempertanyakan. Penilaian negatif terhadap ilmu tasawuf ini datang dari ahl al-zhawahir. Menurut mereka, praktik tasawuf yang dikaji dalam ilmu tasawuf telah berada “di luar garis” sebagai kesesatan yang amat gawat . Ibn ‘Arabi (1165-1240), umpamanya, dipandang oleh para ulama syari’ah (ahl al-zhawahir) sebagai yang bertanggung jawab atas penyelewengan dalam Islam. Bahkan sebagai bukti, al-Hallaj dengan ajaran al-hululnya dihukum mati oleh Khalifah al-Muqtadir bi Allah dari Dinasti Abbasiyah pada hari Selasa, 29 Zulqa’dah 309 H atau bertepatan dengan 28 Maret 913 M, dengan didahului hukuman cambuk sebanyak 1000 kali, kemudian tangan dan kakinya dipotong, jenazahnya dibakar dan abunya dibuang ke sungai Dajlah .

Apa sebenarnya ilmu tasawuf itu dan apa obyek kajiannya sehingga menimbulkan penilaian yang sedemikian gawat dari kalangan ahl al-zhawahir? Pada makalah ini, penulis akan mencoba membahas lebih jauh mengenai apa hakikat ilmu tasawuf itu dan apa yang menjadi obyek kajiannya.

Hakikat Ilmu Tasawuf

A.Kajian etimologis

Sebelum membahas tentang ilmu tasawuf, terlebih dulu membahas apa itu tasawuf secara etimologis. Tasawuf berasal dari kata bahasa Arab, al-tasawwuf yang merupakan masdar (kata kerja yang dibendakan) dari fi’il khumasi (kata kerja dengan lima huruf dasar, yakni tasawwafa), yang dibentuk dari kata sawwafa yang berarti wol. Dari kata tersebut lahirlah sebutan sufi untuk orang Islam yang menjalani kehidupan sufistik.

Ada beberapa pendapat tentang asal kata Sufi dari sawafa ini.
Sebagian orang berpendapat bahwa lafal sufi itu berasal dari al-safa (kesucian, bersih dan murni). Maksudnya adalah kesucian hati para ahli tasawuf, kelapangan dada mereka dan kerelaannya terhadap apa yang Allah berikan kepada mereka. Ketika mereka bermunajat kepada Allah, mereka terbebas dari keterikatan dunia, bebas dari noda-noda jahiliyah berkat ilmu yang dibukakan oleh Allah Swt. Secara umum, safa (kesucian) itu terpuji, dan lawannya adalah kadar (ketidak-sucian). Kaum sufi adalah mereka yang telah mensucikan akhlak dan tindakan mereka dari segala hal yang dipandang kotor, terutama yang dapat mengotori hatinya .

Sebagian yang lain berpendapat bahwa sesungguhnya kesufian itu berhubungan dengan al-suffah, yaitu sebuah tempat beratap di belakang masjid Nabawi, Madinah. Para sahabat Nabi yang tergolong fakir, tak punya keluarga dan tak punya rumah tinggal, mengungsi di sana. Jumlah mereka sekitar 400 orang . Mereka bekerja dengan pekerjaan yang memungkinkan tidak menghalangi pengabdiannya kepada Allah. Jika mereka terhalang oleh pekerjaannya maka mereka lebih mendahulukan yang dapat mendekatkan diri kepada Allah.

Ada juga yang berpendapat bahwa sufi itu berasal dari kata al-saf al-awwal (saf pertama, terdepan). Hal ini dimaksudkan bahwa mereka (para sufi) itu berada pada peringkat pertama (hati mereka), dalam hal bermunajat kepada Tuhan , juga selalu berada pada saf pertama saat salat di masjid, yang mendapat kemuliaan seperti kaum sufi yang dimuliakan dan diberi pahala oleh Allah Swt .

Sebagian orang ada juga yang berpendapat bahwa kata sufi itu berasal dari bahasa Yunani sofos , yang berarti hikmah. Pendapat ini mengingatkan kedekatan pemikiran sufi dengan pemikiran filosuf Yunani pada masa lampau . Dalam bahasa Yunani, kata filsafat berasal dari kata filo dan sofia. Filo artinya cinta dan sofia artinya kebijaksanaan. Jadi filsafat berarti cinta terhadap kebijaksanaan . Dinisbatkannya kata sufi dari sofia dimaksudkan bahwa kaum sufi itu mencintai hikmah atau kearifan.

Sebagian yang lain berpendapat bahwa lafal sufi itu diambil dari kata al-suf (bulu domba, wol). Karena baju yang dipakai oleh orang-orang asketik (zuhud) kebanyakan terbuat dari bulu hewan ternak. Memakai pakaian bulu adalah kebiasaan para Nabi, para siddiqin dan orang-orang miskin yang gemar beribadah. Disebutkan bahwa penamaan sahabat Isa as. dengan hawariyyun (orang-orang yang berpakaian putih) adalah karena mereka selalu berusaha memutihkan pakaian dan selalu memakai yang putih. Allah tidak menisbahkan mereka dengan berbagai macam ilmu atau kondisi yang senantiasa mereka junjung tinggi. Demikian juga julukan terhadap kaum sufi, mereka dinisbahkan kepada pakaian lahiriah (bulu, wol kasar) dan tidak dinisbahkan kepada berbagai ilmu atau sifat-sifat yang senantiasa mereka junjung tinggi. Pakaian yang terdiri dari bulu domba ini menunjukkan bahwa seseorang yang berminat mendalami pengetahuan batin tidaklah memperhatikan penampilan luar mereka dan seringkali hanya memakai satu pakaian sepanjang tahun, yang terbuat dari bulu domba.

Dari sekian banyak pendapat tentang asal-usul kata sufi, pendapat yang dipandang paling kuat dan banyak pendukungnya adalah pendapat yang mengatakan bahwa sufi itu berhubungan dengan kata al-suf yang berarti bulu (wol). Sedangkan kata al-mutasawwif (ahli tasawuf) juga diambil dari kata yang sama. Bilamana dikatakan tasawwafa maka artinya adalah labisa al-sufa (seseorang yang memakai pakaian bulu wol). Demikian pula apabila dikatakan taqammasa maka maksudnya adalah labisa al-qamisa (seseorang yang memakai kemeja) .

Pendapat inilah yang dipilih oleh para ulama besar di kalangan sufi, seperti Abu Nasr al-Sarraj (penulis al-Luma’) , Imam al-Qushayri (penulis al-Risalah al-Qushayriyah) , Ibn Khaldun (penulis Muqaddimah) dan Ibn Taymiyah (penulis Majmu’ Fatawa) .

B.Kajian Terminologis

Untuk memberikan pengertian tentang apa sebenarnya ilmu tasawuf itu maka sebaiknya memperhatikan aspek historis kemunculan tasawuf itu sendiri. Jika ditilik dari segi historis, yang menjadi faktor penyebab munculnya tasawuf antara lain: (1) karena adanya “pios opposition” (oposisi yang bermuatan kesalihan) dari sekelompok umat Islam terhadap praktik-praktik regimenter pemerintahan Bani Umaiyah di Damaskus; (2) karena ada sekelompok (dalam hal ini para sahabat) yang selalu ingin meniru perilaku Rasulullah Saw.

Komunitas yang bersifat oposisi ini ada dua aliran, yaitu aliran Kufah (karena bermula di Kufah) dan aliran Basrah (karena bermula di Basrah). Aliran Kufah dipelopori oleh Sufyan al-Thawri (w.135 H), Abu Hasyim (w.150 H) dan Jabir Ibn Hasyim (w.190 H). Aliran ini mereaksi dengan menampilkan pakaian wol kasar (suf) sebagai simbol nyata penentangan mereka terhadap kemewahan hidup pada waktu itu yang disimboli dengan kain sutra (harir) oleh kalangan pemerintah Bani Umaiyah. Sementara aliran Basrah lebih keras lagi reaksinya yang mengambil bentuk dalam sikap zuhud, untuk bersitekun dalam ibadah kepada Allah yang akhirnya meningkat kepada ajaran mistik. Tokoh-tokoh zahid yang terkenal di sini adalah Hasan al-Basri (w.110 H) dan Rabi’ah al-Adawiyah (w.185 H) .

Adapun dari kalangan para sahabat terutama Khulafa al-Rasyidin, yang senantiasa meniru perilaku Nabi Saw, mereka benar-benar kagum terhadap perilaku Nabi Saw, sehingga menjadikannya sebagai contoh tauladan dalam hidup keseharian. Di antara perilaku Rasulullah Saw yang dikagumi oleh para sahabat adalah bahwa Rasulullah Saw tidak pernah tergiur oleh kenikmatan duniawi, walaupun kesempatan untuk bernikmat-nikmat sangat memungkinkan.

Dilihat dari segi historis ini maka pengertian tasawuf adalah (1)hidup dalam ukuran sederhana, tidak tergiur kemewahan; (2)sikap hidup yang zuhud, yaitu keadaan meninggalkan dunia dan hidup yang tidak berorientasi kematerian; dan (3)selalu menjaga hubungan yang baik dengan Khalik maupun makhluk.

Tasawuf dalam pengertian seperti ini senada dengan takrif yang dikemukakan oleh beberapa sufi terkemuka, seperti Junayd al-Baghdadi, katanya: “Tasawuf artinya engkau berada semata-mata bersama Allah tanpa keterikatan dengan apa pun”. Samnun berkata: “Tasawuf itu adalah engkau tidak memiliki sesuatu dan tidak dimiliki oleh sesuatu”. Dzun al-Nun al-Misri berkata: “orang-orang sufi adalah mereka yang mengutamakan Allah di atas segala-galanya dan yang diutamakan oleh Allah di atas segala makhluk yang ada . Al-Suyuti berkata: “Sufi adalah seseorang yang terus-menerus melakukan penyucian dalam berhubungan dengan Allah dan berbuat baik kepada makhluk” . . Sedangkan al-Ghazali mengatakan bahwa sufi itu adalah orang yang selalau berusaha membersihkan diri dari segala kotoran melalui penyucian hati dengan tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt .

Dari beberapa pengertian tentang tasawuf tersebut, beberapa ulama memberikan definisi tentang ilmu tasawuf dengan beragam redaksi:
Ahmad Zarruq dari Maroko mengemukakan: “Ilmu tasawuf adalah ilmu yang dengannya engkau bisa meluruskan hati dan memperuntukkannya hanya bagi Tuhan, dengan menggunakan pengetahuan tentang ajaran Islam, khususnya tentang hukum dan pengetahuan yang terkait, untuk meningkatkan dan menjaga tingkah lakumu dalam ikatan-ikatan Islam demi mencapai kearifan” .

Ibnu Khaldun mendefinisikan: “Ilmu tasawuf itu adalah semacam ilmu syariat yang timbul kemudian di dalam agama (Islam), asalnya ialah tekun dalam beribadah dan memutuskan pertaliannya dengan segala selain Allah, hanya menghadap Allah semata, menolak hiasan-hiasan dunia serta membenci perkara-perkara yang selalu memperdaya orang banyak, melepaskan diri dari kelezatan harta benda dan kemegahan, dan menyendiri menuju jalan Tuhan dalam khalwat dan ibadah” .

Sedangkan Muhammad Amin al-Kurdi mengemukakan bahwa ilmu tasawuf adalah ilmu yang mempelajari tentang seluk beluk jiwa (hati), yang terpuji ataupun yang tercela, bagaimana cara membersihkan jiwa yang tercela kemudian bagaimana mengisinya dengan sifat-sifat yang terpuji dan bagaimana cara mendekatkan diri (suluk, sayr dan firar) kepada Allah Swt .

Harun Nasution, dalam bukunya Filsafat dan Mistisisme mengemukakan bahwa ilmu tasawuf adalah ilmu yang mempelajari cara dan jalan bagaimana seorang Islam dapat berada sedekat mungkin dengan Allah Swt .

Dari definisi-definisi tersebut pada intinya antara satu dengan yang lain saling melengkapi dan secara garis besar dapat disimpulkan bahwa ilmu tasawuf adalah ilmu yang memberi tuntunan kepada manusia mengenai bagaimana cara mengenal dan mendekatkan diri kepada Tuhan (Allah Swt) dengan sebaik-baiknya sehingga bisa berada sedekat mungkin denganNya.

Obyek Ilmu Tasawuf

Mengenai obyek ilmu tasawuf, dapat dilihat dari dua aspek yaitu obyek materia dan obyek forma .

Untuk obyek materianya, menurut al-Kurdi yang menjadi obyek kajian ilmu tasawuf adalah amalan hati (batin) dan perasaan dalam hal membersihkan atau menyucikan diri .Sedangkan menurut Ibn ‘Ata-illah dalam kitabnya al-Hikam mengemukakan bahwa obyek ilmu tasawuf adalah al-Nufus wa al-Qulub wa al-Arwah (masalah jiwa, hati dan ruh).
Dari pendapat Amin al-Kurdi dan Ibn ‘Ata-illah tersebut, dapatlah disimpulkan bahwa yang menjadi obyek kajian ilmu tasawuf adalah hal-ihwal batin, yang menyangkut jiwa, hati dan ruh.

Adapun obyek formanya, menurut Asmaran yang menjadi obyek kajian ilmu tasawuf adalah aspek esoteris yang berorientasi kepada pembinaan moral dan ibadah . Dari sini dapat diambil pengertian bahwa yang menjadi obyek forma dari ilmu tasawuf itu adalah segala usaha yang dilakukan untuk tujuan membentuk kepribadian yang baik dan bersih hingga dekat dengan Allah Swt.

Penutup

Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapatlah disimpulkan bahwa pada hakikatnya yang dimaksud dengan ilmu tasawuf adalah ilmu yang dapat memberi tuntunan kepada manusia mengenai bagaimana cara mengenal dan mendekatkan diri kepada Tuhan (Allah Swt) dengan sebaik-baiknya sehingga bisa berada sedekat mungkin denganNya. Adapun yang menjadi obyek kajian ilmu tasawuf, dilihat dari obyek materianya adalah hal-ihwal batin yang menyangkut jiwa, hati dan ruh. Sedangkan jika dilihat dari obyek formanya adalah segala usaha yang dilakukan untuk tujuan membentuk kepribadian yang baik dan bersih hingga dekat dengan Allah Swt.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Laila binti. Ancaman Sufisme terhadap Islam, terj.Aris Munandar. Yogjakarta: Tajidu Press, 2003
Abd al-Salam, Muhammad Ahmad. al-Sunan wa al-Mubtada’at al-Muta’alliqat bi al-Adzkar wa al-Salawat. Bayrut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1980.
Asmaran AS. Pengantar Studi Tasawuf. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1944.
Basyuni, Ibrahim. Nash’at al-Tasawwuf al-Islami. Mesir: Dar al-Ma’arif,tt.
Damami, Mohammad. Tasawuf Positif . Jogjakarta: Fajar Pustaka Baru, 2000.
al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad. Ihya ‘Ulum al-Din, Vol.V. Bayrut: Dar al-Ma’rifah,tt.
Al-Hujwiri, Ali Ibn Uthman. Kashful Mahjub: Risalah Persia Tertua Tentang Tasawuf, terj. Suwardjo Muthary dan Abdul Hadi WM. Bandung: Mizan, 1993.
Hamka. Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya. Jakarta: PT.Pustaka Panjimas, 1986.
Haeiri, Fadhlalla. Dasar-Dasar Tasawuf, terj. Tim Forstudia. Yogjakarta: Penerbit Pustaka Sufi, 2003.
al-Hasani, Ahmad bin Muhammad bin ‘Ajibah. Iqadz al-Himam Fi Sharh al-Hikam Libn ‘Ata-illah al-Sakandari. tt: Dar al-Fikr,tt.
Ibn Khaldun, Abd al-Rahman. Muqaddimah Ibn Khaldun. TT: Dar al-Fikr, tt.
Ibn Taymiyah. Majmu’ al-Fatawa, Vol.11. TT:tp,tt.
al-Kurdi, Muhammad Amin. Tanwir al-Qulub Fi Mu’amalat ‘Allam al-Ghuyub. Tt: Dar al-Fikr, 1994.
Massignon, Louis & Mustafa A.Raziq. Islam & Tasawuf. terj.Irwan Raihan dan M.Halabi Hamdi. Yogjakatta: Fajar Pustaka Baru, 2001.
Madjid, Nurcholis. Islam Doktrin dan Peradaban. Jakarta:Yayasan Wakaf Paramadina, 1995.
Nasution, Harun. Falsafat dan Mistisisme Dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1978.
Poedjawijatna. Pembimbing ke Arah Alam Filsafat. Jakarta: PT.Pembangunan, 1980.
al-Qushayri, Abu al-Qasim Abd al-Karim b. Hawazin. al-Risalah al-Qushayriyah fi ‘Ilm al-Tasawwuf. TT: Dar al-Khayr, tt.
al-Tusi, Abu Nasr al-Sarraj. al-Luma’. Mesir: Dar al-Kutub al-Hadithah, 1960.
al-Taftazani, Abu al-Wafa al-Ghanimi. Madkhal Ila al-Tasawwuf al-Islami. Kairo: Dar al-Thaqafah, 1976.
Tim Penyusun. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1989.
Zar, Sirajuddin.“Neo-Sufisme dalam Era Global”, HADARAH, Vol.I Number 1. PPS IAIN Padang, 2005.