Kamis, 27 Maret 2014

THAWAF HARUS SUCI


                                                                                                       
APAKAH TAWAF  HARUS  SUCI ?


Oleh
 DR.H.Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I



A.    Permasalahan:

            Ulama berbeda pendapat mengenai syarat tawaf dalam ibadah haji. Sebagian ulama berpendapat bahwa tawaf harus dilakukan dalam keadaan suci, sementara ulama yang lain berpendapat bahwa tawaf tidak harus dalam keadaan suci.

B.  Alasan ulama yang tidak mensyaratkan suci dalam melakukan tawaf

             Ulama yang tidak mensyaratkan suci ketika  tawaf di Baitullah pada umumnya berdasarkan dalil (hadis) bahwa bersuci (wudu) itu hanya disyaratkan ketika hendak salat saja. Berikut ini hadis yang dijadikan dasar:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ مِنَ الْخَلاَءِ فَقُرِّبَ عَلَيْهِ طَعَامٌ فَقَالُوْا: أَلاَ نَأْ تِيْكَ بِوُضُوْءٍ ؟ فَقَالَ: إِنَّمَا أُمِرْتُ بِا لْوُضُوْءِ إِذَا قُمْتُ إِلَى الصَّلاَ ةِ (رواه النسائى)
Artinya:
Ibn Abbas ra berkata: Rasulullah Saw keluar dari buang air lalu dihidangkan kepadanya makanan kemudian mereka bertanya: “Apakah tidak sebaiknya kami bawakan untukmu air untuk wudu?” Ia menjawab: “Sesungguhnya aku hanya diperintah wudu apabila hendak melakukan salat. (HR.Al-Nasa-i)

Di samping alasan hadis tersebut, juga berdasarkan ijma ulama yang mengatakan bahwa melakukan sa’i dari Shafa ke Marwa itu boleh tanpa suci. Ini berarti, tidaklah semua ibadah itu disyaratkan suci dari haid sebagai syarat suci dari hadas, seperti berpuasa.[1]

C. Alasan Ulama yang mensyaratkan suci  sebelum melakukan tawaf

            Ulama yang mensyaratkan harus suci ketika melakukan tawaf di Baitullah pada umumnya mengacu kepada beberapa hadis sebagai berikut:

1.  HR. Ahmad, Muslim, Abu Dawud, Abu Nu’aim, al-Thahawi dan al-Baihaqi:
قاَلَ ثُمَّ دَخَلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى عَا ئِشَةَ فَوَجَدَهَا تَبْكِىْ فَقَالَ مَا شَأْنُكِ؟ قَالَتْ شَأْنِىْ أَنِّىْ قَدْ حِضْتُ وَقَدْ حَلَّ النَّاسُ وَلَمْ أَحْلِلْ وَلَمْ أَطُفْ بِالْبَيْتِ وَالنَّاسُ يَذْهَبُوْنَ إِلَى الْحَجِّ اْلأَنَ فَقَالَ إِنَّ هَذَا أَمْرٌ كَتَبَهَااللهُ عَلَى بَنَاتِ أَدَمَ فَاغْتَسِلِىْ ثُمَّ أَهِلِّى بِالْحَجِّ ثُمَّ حُجِّىْ وَاصْنَعِىْ مَا يَصْنَعُ الْحَاجُّ غَيْرَأَنْ لاَ تَطُوْفِي فِى الْبَيْتِ وَلاَ تُصَلِّى (رواه أحمد وأبو داود) فَفَعَلَتْ (رواه مسلم وأبونعيم وأبو داود والطحاوى والبيهقى وأحمد)وَفِىْ رِوَايَةٍ فَنَسَكَتِ الْمَنَاسِكَ كُلَّهَا غَيْرَ أَنَّهَا لَمْ تَطُفْ بِالْبَيْتِ (رواه أحمد)
Artinya:
Jabir berkata: “Kemudian Rasulullah Saw menemui ‘Aisyah ra dalam keadaan menangis. Beliau bertanya: “Kenapa engkau menangis?”. Aisyah menjawab: “Saya kedatangan haid. Padahal kaum muslimin sudah bertahallul sementara aku belum bertahallul. Aku juga belum sempat bertawaf di Baitullah, sementara kaum muslimin sedang pergi melaksanakan haji”. Nabi Saw bersabda: “Itu adalah takdir yang sudah ditentukan oleh Allah bagi setiap kaum wanita. Mandilah kemudian berihramlah untuk haji kemudian laksanakan manasik haji, dan lakukan apa yang dilakukan oleh kaum muslimin, hanya saja jangan tawaf di Baitullah dan jangan salat (HR. Ahmad dan Abu Dawud) Lalu ‘Aisyah ra melakukannnya (HR. Muslim, Abu Nu’aim, Dawud, al-Nasa-i, al-Thahawi, al-Baihaqi dan Ahmad). Dalam riwayat lain disebutkan: “Ia melaksanakan semua manasik haji kecuali tawaf di Baitullah (HR.Ahmad).[2]

2.  HR. Al-Nasa-i dan al-Darimi:

اَلطَّوَافُ بِالْبَيْتِ صَلاَ ةٌ إِلاَّ أَنَّ اللهَ أَحَلَّ فِيْهِ النُّطْقَ فَلاَ يَنْطِقُ إِلاَّ بِخَيْرٍ
(رواه النسائى والدارمى)
                  Artinya:
                Tawaf di Baitullah itu sama dengan salat, hanya saja Allah membolehkan berbicara (dalam melakukan tawaf). Maka dari itu tidak dibolehkan bicara kecuali yang baik (HR.al-Nasa-i dan al-Darimi).[3]

3. HR. Al-Bukhari dan Muslim:

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: إِنَّ أَوَّلَ شَيْءٍ بَدَأَ بِهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِيْنَ قَدِمَ أَنَّهُ تَوَضَّأَ ثُمَّ طَافَ بِالْبَيْتِ (رواه البخارى ومسلم )
Artinya:
           Aisyah ra berkata: Sesungguhnya yang pertama sekali dilakukan Nabi Saw ketika tiba (di masjid al-Haram) adalah berwudu, kemudian beliau melakukan tawaf di Baitullah (HR. Al-Bukhari  dan Muslim).[4]

D. Pendapat ulama tentang keharusan suci dari hadas sebelum tawaf :

1.      Ulama al-Syafi’iah, mereka berpendapat bahwa di antara syarat tawaf adalah harus suci dari hadas sebagaimana syarat dalam salat;[5]
2.      Ulama al-Malikiah, mereka berpendapat bahwa di antara syarat tawaf adalah harus suci dari hadas kecil maupun besar; apabila di tengah-tengah melakukan thawah ia berhadas atau ia mengetahui badan dan pakaiannya terkena najis maka batal tawafnya;[6]
 3. Ulama al-Hanabilah, berpendapat bahwa di antara syarat tawaf adalah harus suci dari kotoran sebagaimana syarat dalam salat, di antaranya suci dari hadas kecil maupun hadas besar;[7]
4. Ulama al-Hanafiah, berpendapat bahwa suci dari hadas itu bukan syarat sahnya haji akan tetapi wajib haji. Jika ia dalam keadaan berhadas kecil tawafnya tetap sah, tetapi ia harus membayar “dam” dengan menyembelih seekor kambing. Jika ia berhadas besar seperti dalam keadaan junub atau haid, tawafnya sah tetapi harus menyembelih seekor unta, dan dianjurkan mengulanginya bila masih berada di Makkah;[8]
5. Syekh Bin Baz pernah ditanya mengenai kewajiban berwudu dalam ibadah haji. Beliau menjawab bahwa berwudu tidak diwajibkan dalam kegiatan saidan lain-lain manasik haji kecuali ketika tawaf. Apabila hendak tawaf maka harus berwudu, apabila tanpa berwudu maka tawafnya batal.[9]
6. Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin pernah ditanya: “Apakah harus dalam keadaan suci ketika hendak melempar jumrah?”. Beliau menjawab: Tidak, bersuci tidak diharuskan dalam kegiatan manasik haji apa pun kecuali ketika tawaf di Baitullah, karena Nabi Saw pernah melarang ‘Aisyah ra. melakukan tawaf ketika sedang dalam keadaan haid (HR. Al-Bukhari dan Muslim).[10]
7. Sayyid Sabiq, berpendapat bahwa di antara syarat tawaf adalah harus suci, baik dari hadas kecil, hadas besar maupun dari najis.[11]
8. Nasir bin Musfir al-Zahrani dalam bukunya Ibhaj al-Haj[12]menulis bahwa syarat-syarat sahnya tawaf adalah niat dalam hati (tidak dilafalkan), dalam keadaan suci, menutup aurat, tujuh kali keliling, baitullah berada di sebelah kirinya, dan berada di belakang hijrIsma’il.
9.Tim Majelis Tarji>h} dan Tajdi>d Pimpinan Pusat Muh}ammadi>yah menyatakan bahwa seseorang yang melakukan t}awa>f haruslah suci dari h}adath kecil maupun besar. Apabila bat}al wud}u>nya maka harus wud}u> lagi dan melanjutkan kekurangannya, tidak usah mengulangi dari permulaan. Karena dalam t}awa>f dapat diselingi dengan perbuatan lain seperti s}ala>t  ketika ada panggilan iqa>mah atau istirahat ketika merasa lelah, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibn ‘Umar dan At}a> dalam kitab Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, I/589-590.[13]

E. Kesimpulan
            Ulama yang berpendapat bahwa tawaf tidak diharuskan dalam keadaan bersuci karena beralasan bahwa sesuai hadis Nabi Saw, beliau hanya diperintah untuk berwudu ketika mau salat saja. Ulama ini juga beralasan bahwa tawaf di Baitullah itu sama dengan manasik lainnya dalam haji yang tidak disyaratkan dalam keadaan suci.

            Adapun ulama yang berpendapat bahwa tawaf disyaratkan dalam keadaan bersuci karena beralasan bahwa ‘Aisyah ketika kedatangan haid pernah diperbolehkan melakukan apa saja dalam berhaji,  kecuali tawaf. Di samping itu, Nabi Saw sendiri pernah mengatakan bahwa tawaf itu sama juga dengan salat, karena itu harus juga suci dari hadas dan najis.

            Mana di antara kedua pendapat tersebut yang lebih kuat? Tentu masing-masing kelompok memandang alasannya yang lebih kuat. Bagi penulis, memegangi pendapat yang mengharuskan suci ketika tawaf, lebih aman dan selamat. Di samping didukung oleh mayoritas ulama, karena dalil-dalil yang dipergunakannya dapat dipertanggung-jawabkan keabsahannya. Ulama Hanafiah memang menganggap sah (tetapi tidak sempurna) tawafnya tanpa suci, sehingga masih mewajibkan bagi yang bersangkutan untuk membayar “dam” dengan menyembelih seekor kambing bila berhadas kecil, dan seekor unta bila berhadas besar seperti junub dan haid.

            Wallahu A’lam bi al-shawab !




[1] Ibn Rusyd, Bidayat al-Mujtahid Wa Nihayat al-Muqtashid, Vol.I (tt: Dar al-Fikr, tt), 250. Ibn Rusyd mengemukakan bahwa ijma’ ulama berpendapat bahwa tawaf harus dilakukan oleh orang yang suci dari hadas. Malik dan Syafi’i berpendapat bahwa tawaf tanpa suci tidak sah, baik sengaja atau karena lupa. Abu Hanifah berkata bahwa tawaf tanpa suci tidak sempurna dan disunnahkan mengulanginya setelah suci dengan “dam”. Abu Tsaur berkata bahwa orang yang melakaukan tawaf tanpa wudu, tawafnya sah bila tidak mengerti, tetapi apabila mengerti tawafnya tidak sah. Syafi’i menambahkan bahwa di samping harus suci dari hadas juga harus suci dari pakaiannya seperti salat.
[2] M. Nashir al-Din al-Albani, Hajjat al- Nabi Saw Kama Rawaha ‘Anhu Jabir Radiyallahu ‘Anh , terj. Abu Amar Basyir al-Maidani (Solo: al-Qawam,2004), 81-82. baca juga Al-Tabari, Hajjat al-Mustafa Sallallahu ‘alaih wasallam (Riyad: Dar Atlas al-Hadra, 2003), 32-33.
[3] Ibn Rusyd, Bidayat al-Mujtahid,Vol.I, 250. Menurut Sayid Sabiq, hadis tersebut juga diriwayatkan oleh Al-Tirmidzi, al-Daruquthni dan disahihkan oleh al-Hakim, Ibn Khuzaimah dan Ibn al-Sakan. Baca Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Vol.I (Beirut: Dar al-Fikr, 1983), 588.
 [4] Sikap Nabi yang berwudu dulu sebelum melakaukan tawaf ini diikuti oleh para sahabatnya seperti Abu Bakar, Umar, Utsman, Ibn Umar dan lain-lain. Baca Al-Bukhari, Hasyiah al-Sindi, Vol. I pada bahasan mengenai “باب الطوا ف على وضوء”.hal. 284-285. Baca juga Muslim, Sahih Muslim, Vol.I (Beirut: Dar al-Fikr, 1988), 572.
[5] Abd al-Rahman al-Jazairi, al-Fiqh ‘Ala al-Madhahib al-Arba’ah, Vol.I (tt: Dar al-Fikr, 1986), 653.
[6] Ibid., 654.
[7] Ibid., 655.
[8] Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Vol.I, 588.
[9] Muhammad bin Abd Aziz al-Musnad, Fatwa-Fatwa Haji & Umrah, terj. Asmuni Shalihin Zamakhsyari (Bogor: Pustaka Imam Asy-Syafi’i, 2002), 153-154.
[10] Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, Fiqh al-‘Ibadaat (Riyad: Dar al-Wathan, 1416 H), 326.
[11] Di antara alasan yang digunakan oleh Sayyid Sabiq adalah berdasarkan hadis Nabi Saw yang diriwayatkan oleh Ibn ‘Abbas ra bahwasanya Nabi Saw pernah bersabda bahwa tawaf di Baitullah itu sama dengan salat, hanya saja Allah membolehkan berbicara (dalam melakukan tawaf). Maka dari itu tidak dibolehkan bicara kecuali yang baik. HR. Al-Tirmidzi, al-Daruquthni dan disahihkan oleh al-Hakim, Ibn Khuzaimah dan Ibn al-Sakan. Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Vol.I, 588.
[12] Nasir bin Musfir al-Zahrani, Ibhaj al-Haj (Riyad: Maktabah al-‘Abikan, 1423 H), 40.
[13] Tim Majelis Tarji>h} dan Tajdi>d PP.Muh}ammadi>yah, Fatwa>-Fatwa> Tarji>h: Tanya Jawab Agama-2  (Yogjakarta: Suara Muhammadiyah, 2003), 140

Senin, 17 Maret 2014

RAMAH LINGKUNGAN

KHUTBAH RAMAH LINGKUNGAN
(Tanggapan terhadap buku “Khutbah Hijau Mengajak diri Ramah Lingkungan)[1]

Oleh

DR.H. Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I[2]

I
            Buku-buku tentang Islam sudah banyak diterbitkan, tetapi buku Islam yang mengkhususkan kajian mengenai ekosistem atau sistem lingkungan hidup belum banyak, apalagi buku khutbah yang khusus tentang lingkungan hidup dan ramah lingkungan. Kalau tidak boleh dibilang belum ada sebelumnya, keberadaannya kini masih sangat langka. Karena itu, buku “Khutbah Hijau: Mengajak Diri Ramah Lingkungan” yang ditulis oleh Luthfi Muhammad, sangat penting dan strategis dalam merespons berbagai peristiwa (banjir bandang, tanah longsor, gunung meletus, gempa, kabut asap, kebakaran, dan lain-lain) yang belakangan sering terjadi di negeri ini.

II
            Buku “Khutbah Hijau”  yang berisi 17 topik khutbah jumat dan dua khutbah Id (Idul Fitri dan Idul adha) tentang ramah lingkungan, agaknya telah mencakup tiga perspektif, yaitu aqidah(teologis), fiqh(yurudis), dan akhlak (etika).
            Dalam perspektif teologis, terdapat pengakuan dan kesadaran bahwa 1). Tuhan adalah Pencipta alam semesta,Rabbul ‘alamin” yang mencakup manusia dan lingkungannya; 2). Adanya proses penciptaan yang berlangsung terus-menerus tanpa akhir sepanjang Allah menghendaki  penciptaan. Dalam Q.S.Yunus [10]: 34 dinyatakan bahwa Allah-lah yang memulai penciptaan makhluk, kemudian mengulanginya dengan penciptaan yang baru tanpa henti (قل الله يبدأ الخلق ثم يعيده ) juga dijelaskan dalam Q.S.Qaaf [50]:15: أَفَعَيِينَا بِالْخَلْقِ الْأَوَّلِ بَلْ هُمْ فِي لَبْسٍ مِّنْ خَلْقٍ جَدِيدٍ ﴿١٥﴾, Maka apakah Kami letih dengan penciptaan yang pertama ? Sebenarnya mereka dalam keadaan ragu-ragu tentang penciptaan yang baru; dan 3). Adanya keterlibatan makhluk Tuhan dalam proses iradah(kehendak Tuhan) dan qudrah (kekuasaan Tuhan) pada penciptaan alam semesta itu. Keterlibatan makhluk-makhluk Tuhan dalam interaksi ekosistem ciptaan-Nya, dipahami dari ungkapan gaya bahasa Al-Qur’an. Dalam banyak ayat penciptaan, menyangkut eksistensi dan hajat kehidupan manusia di dunia ini, Tuhan mengakuinya dengan ungkapan “Kami menciptakan”, bukan “Aku menciptakan”. Perhatikan bagaimana Tuhan mencipta manusia dari setetes air, dengan ungkapan: “Kami menciptakannya dari setetes air” ( أنا خلقناه من نطفة – Q.S.Yasin [36]: 77).  Begitu pula ketika terjadi bencana alam, akibat penyimpangan dari hukum ekosistem, sehingga sejumlah materi pada alam beraksi tidak normal, dinyatakan dengan kalimat “telah tertulis dalam kitab (hukum ekosistem), sebelum Kami menciptakannya” (فى كتاب من قبل أن نبرأها – Q.S.al-Hadid [57]: 22). Tegasnya, kalimat-kalimat penciptaan dengan ungkapan “Kami menciptakan”, adalah isyarat keterlibatan makhluk Tuhan dalam prosesnya. Berbeda halnya jika penciptaan itu dikaitkan dengan penyembahan kepada Tuhan, yang merupakan hak prerogatif Tuhan, maka kalimat yang digunakannya adalah “Aku ciptakan”, bukan “Kami menciptakan”. Hal itu karena yang patut disembah hanyalah Tuhan, maka ungkapan penciptaan-Nya pun memakai kalimat “Aku”; “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku”. (وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ – Q.S.al-Dzariyat [51]: 56).
            Dalam perspektif fiqh, konsep dasar fiqh lingkungan diantaranya: 1) Konsep ri’ayah al-bi’ah sebagai konsep integral ajaran Islam. Konsep ini bila dibawa ke dalam fiqh akan bermakna bahwa setiap perilaku yang bertujuan untuk menjaga dan memperbaiki lingkungan hidup menjadi bagian dari kewajiban yang harus dilaksanakan menurut ajaran agama. Sebaliknya, setiap tindakan destruktif terhadap lingkungan hidup berarti penistaan terhadap ajaran agama Islam itu sendiri dan diharamkan secara fiqh;  2) Konsep kewajiban kolektif (fardu kifayah) dalam menjaga dan memperbaiki lingkungan hidup. Kewajiban kolektif memiliki makna suatu proyek yang hanya dapat dituntaskan secara bersama dengan melibatkan banyak stakeholder. Keterlibatan banyak pihak itu mengharuskan upaya-upaya yang melibatkan interkoneksitas lembaga. Dengan demikian, penanganan problem lingkungan hidup mengharuskan ijtihaddan mujahadah semua pihak, terutama ulama, pemerintah, dan masyarakat. Implementasi kewajiban kolektif ini dapat diupayakan secara linier dan terprogram secara berkelanjutan mulai dari pendidikan tentang lingkungan hidup, perumusan program jangka pendek, menengah, dan panjang, operasional dan kontrol serta sanksi bagi pelanggarannya. Fardu kifayah jauh lebih berat dalam mewujudkannya, karena dalam menunaikan kewajibannya harus melibatkan banyak pihak; dan 3). Kewajiban-kewajiban ekologis meliputi semua komponen, mulai dari kewajiban menjaga keseimbangan ekosistem, kewajiban menjaga kelestarian keanekaragaman hayati, hingga kewajiban pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan secara lestari. Keseimbangan ekosistem adalah kondisi dinamis suatu ekosistem yang didukung oleh fungsi ekologis yang masing-masing komponennya secara wajar berfungsi sehingga memiliki daya dukung lingkungan  yang optimum. Keseimbangan ekosistem dalam arti luas meliputi segala gerak dinamika kehidupan, baik dalam dunia fisik maupun sosial. Dalam dunia fisik, ekosistem diciptakan Tuhan sangat simetris. Oleh karena itu, penodaan terhadap dunia fisik yang berakibat berkurangnya keseimbangan ekosistem dilarang (diharamkan) dalam fiqh lingkungan, pelakunya akan diancam dengan dosa ekologis. Sebaliknya, setiap upaya yang bertujuan untuk mempertahankan atau memperbaiki keseimbangan ekosistem diwajibkan dalam fiqh lingkungan dan pelakunya akan diberi pahala ekologis. Ekosistem dalam dunia fisik berada dalam banyak wilayah yang saling ketergantungan, seperti sumber-sumber air, tanah, pegunungan, udara, atmosfer, ozon, dan semua benda fisik yang saling bertautan untuk memberikan dukungan bagi kelangsungan kehidupan semua makhluk. Dunia flora dan fauna juga demikian. Spesies-spesies yang hidup di alam raya diciptakan saling bergantungan. Dari mereka tersedia sumber-sumber energi melalui sumbangan vitamin, protein dan zat-zat yang sangat diperlukan bagi kehidupan. Dalam perspektif keseimbangan, tidak ada makhluk yang lebih dominan dan tidak ada “penjajahan” antar sesama makhluk Tuhan; semua hidup saling memerlukan, saling memberi, saling memuji, dan bertasbih dengan bahasa masing-masing.
            Dalam perspektif akhlak, intinya mengajak bersikap ramah lingkungan. Melalui Kitab Suci Al-Qur’an, Allah telah memberikan informasi spiritual kepada manusia untuk bersikap ramah terhadap lingkungan. Sikap ramah lingkungan yang diajarkan oleh agama Islam kepada manusia dapat dirinci sebagai berikut : 1). Agar manusia menjadi pelaku aktif dalam mengolah lingkungan serta melestarikannya. Dalam surat Ar Ruum ayat 9,  “Dan apakah mereka tidak mengadakan perjalanan di muka bumi dan memperhatikan bagaimana akibat (yang diderita) oleh orang-orang sebelum mereka? orang-orang itu adalah lebih kuat dari mereka (sendiri) dan telah mengolah bumi (tanah) serta memakmurkannya lebih banyak dari apa yang telah mereka makmurkan. Dan telah datang kepada mereka rasul-rasul mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata. Maka Allah sekali-kali tidak berlaku zalim kepada mereka, akan tetapi merekalah yang berlaku zalim kepada diri sendiri. Pesan yang disampaikan dalam surat Ar Ruum ayat 9 di atas menggambarkan agar manusia tidak mengeksploitasi sumber daya alam secara berlebihan yang dikhawatirkan terjadinya kerusakan serta kepunahan sumber daya alam, sehingga tidak memberikan sisa sedikitpun untuk generasi mendatang. Untuk itu Islam mewajibkan agar manusia menjadi pelaku aktif dalam mengolah lingkungan serta melestarikannya. Mengolah serta melestarikan lingkungan tercermin secara sederhana dari tempat tinggal (rumah) seorang muslim. Rasulullah SAW menegaskan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Thabrani :”Dari Abu Hurairah : jagalah kebersihan dengan segala usaha yang mampu kamu lakukan. Sesungguhnya Allah menegakkan Islam di atas prinsip kebersihan. Dan tidak akan masuk surga, kecuali orang-orang yang bersih” . (HR. Thabrani). Dari hadis di atas memberikan pengertian bahwa manusia tidak boleh kikir untuk membiayai diri dan lingkungan secara wajar untuk menjaga kebersihan agar kesehatan diri dan keluarga/masyarakat kita terpelihara. Demikian pula, mengusahakan penghijauan di sekitar tempat tinggal dengan menanamkan pepohonan yang bermanfaat untuk kepentingan ekonomi dan kesehatan, disamping juga dapat memelihara peredaran udara yang kita hisap agar selalu bersih, bebas dari pencemaran. Dalam sebuah hadis disebutkan :”Tiga hal yang menjernihkan pandangan, yaitu menyaksikan pandangan pada yang hijau lagi asri, dan pada air yang mengalir serta pada wajah yang rupawan (HR. Ahmad); 2). Agar manusia tidak berbuat kerusakan terhadap lingkungan. Di dalam surat Ar Ruum ayat 41 Allah SWT memperingatkan bahwa terjadinya kerusakan di darat dan di laut akibat ulah manusia. “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”. Serta surat Al Qashash ayat 77 menjelaskan sebagai berikut : “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”. Firman Allah SWT di dalam surat Ar Ruum ayat 41 dan surat Al Qashash ayat 77 menekankan agar manusia berlaku ramah terhadap lingkungan (environmental friendly) dan tidak berbuat kerusakan di muka bumi ini. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Anas, dijelaskan bahwa : ”Rasulullah ketika berwudhu’ dengan (takaran air sebanyak) satu mud dan mandi (dengan takaran air sebanyak) satu sha’ sampai lima mud” (HR. Muttafaq ’alaih). Satu mud sama dengan 1 1/3 liter menurut orang Hijaz dan 2 liter menurut orang Irak (lihat Lisanul ArabJilid 3 hal 400). Padahal hasil penelitian yang dilakukan oleh Syahputra (2003) membuktikan bahwa rata-rata orang berwudhu’ sebanyak 5 liter. Hal ini membuktikan bahwa manusia sekarang cenderung mengekploitasi sumber daya air secara berlebihan, atau dengan kata lain, setiap manusia menghambur-hamburkan air sebanyak 3 sampai 3 2/3 liter setiap orangnya setiap kali mereka berwudhu’. Dalam Hadis lain yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, bahwa Nabi pernah bersabda :”Hati-hatilah terhadap dua macam kutukan; sahabat yang mendengar bertanya : Apakah dua hal itu ya Rasulullah ? Nabi menjawab : yaitu orang yang membuang hajat di tengah jalan atau di tempat orang yang berteduh” Di dalam hadis lainnya ditambah dengan membuang hajat di tempat sumber air. Dari keterangan di atas, jelaslah aturan-aturan agama Islam yang menganjurkan untuk menjaga kebersihan dan lingkungan. Semua larangan tersebut dimaksudkan untuk mencegah agar tidak mencelakakan orang lain, sehingga terhindar dari musibah yang menimpahnya. Islam memberikan panduan yang cukup jelas bahwa sumber daya alam merupakan daya dukung bagi kehidupan manusia, sebab fakta spritual menunjukkan bahwa terjadinya bencana alam seperti banjir, longsor, serta bencana alam lainnya lebih banyak didominasi oleh aktifitas manusia. Allah SWT Telah memberikan fasilitas daya dukung lingkungan bagi kehidupan manusia. Oleh karena itu, secara yuridis fiqhiyah berpeluang dinyatakan bahwa dalam perspektif hukum Islam status hukum pelestarian lingkungan hukumnya adalah wajib (Abdillah, 2005 : 11-12); 3). Agar manusia selalu membiasakan diri bersikap ramah terhadap lingkungan. Di dalam Surat Huud ayat 117, Allah SWT berfirman : ‘Dan Tuhanmu sekali-kali tidak akan membinasakan negeri-negeri secara zalim, sedang penduduknya orang-orang yang berbuat kebaikan”.
Fakta spritual yang terjadi selama ini membuktikan bahwa Surat Huud ayat 117 benar-benar terbukti. Perhatikan bencana alam banjir di Jakarta, tanah longsor yang di daerah-daerah di Jawa Tengah, Jawa Barat dan lain-lain, intrusi air laut, tumpukan sampah di mana-mana, polusi udara yang tidak terkendali, serta bencana alam di daerah atau di negara lain membuktikan bahwa Allah akan membinasakan negeri-negeri secara zalim, kecuali penduduknya terdiri dari orang-orang yang berbuat kebaikan terhadap lingkungan. Dalam suatu kisah diriwayatkan, ada seorang penghuni surga. Ketika ditanyakan kepadanya perbuatan apakah yang dilakukannya ketika di dunia hingga ia menjadi penghuni surga? Dia menjawab bahwa selagi di dunia, ia pernah menanam sebuah pohon. Dengan sabar dan tulus, pohon itu dipeliharanya hingga tumbuh subur dan besar. Menyadari akan keadaannya yang miskin ia teringat bunyi sebuah hadis Nabi, “Tidak seorang muslim yang menanam tanaman atau menyemaikan tumbuh-tumbuhan, kemudian buah atau hasilnya dimakan manusia atau burung, melainkan yang demikian itu adalah shadaqah baginya”. Didorong keinginan untuk bersedekah, maka ia biarkan orang berteduh di bawahnya, dan diikhlaskannya manusia dan burung memakan buahnya. Sampai ia meninggal, pohon itu masih berdiri hingga setiap orang (musafir) yang lewat dapat istirahat berteduh dan memetik buahnya untuk dimakan atau sebagai bekal perjalanan. Burung pun ikut menikmatinya. Riwayat tersebut memberikan nilai yang sangat berharga sebagai bahan kontemplasi, artinya dengan adanya kepedulian terhadap lingkungan memberikan dua pahala sekaligus, yakni pahala surga dunia berupa hidup bahagia dan sejahtera dalam lingkungan yang bersih, indah dan hijau, dan pahala surga akhirat kelak di kemudian hari. Untuk mendapatkan dua pahala tersebut seorang manusia harus peduli terhadap lingkungan, apalagi manusia telah diangkat oleh Allah sebagai khalifah. Hal ini dapat dilihat pada surat Al-Baqarah ayat 30 berikut : “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.”.

III
            Secara global, buku “Khutbah Hijau Mengajak Diri Ramah Lingkungan” karya Luthfi Muhammad adalah buku yang kehadirannya sangat tepat dan ditunggu oleh banyak orang terutama para khatib dan muballigh.  Selain karena faktor kelangkaannya, buku ini sangat inspiratif untuk merspons peristiwa bencana alam yang belakangan kerap terjadi di negeri ini. Sebagai catatan kecil, pada halaman 111, ada terjemahan yang agak mengganggu pemahaman sehingga perlu dikoreksi, yakni terjemahan hadis berikut ini:
إِنْ قَامَتْ السَّاعَةُ وَبِيَدِ أَحَدِكُمْ فَسِيلَةٌ فَإِنْ اسْتَطَاعَ أَنْ لَا يَقُومَ حَتَّى يَغْرِسَهَا فَلْيَفْعَلْ
Dalam buku tersebut diterjemahkan: “Jika terjadi Hari Kiamat dan di tangan salah satu di antara kalian ada biji kurma, maka jika engkau tidak sanggup berdiri hingga menanamnya, kerjakanlah”. Menurut hemat saya, terjemahan yang pas adalah "Jika terjadi hari kiamat, sedang salah seorang dari kalian mempunyai bibit kurma, jika mampu hendaklah jangan berdiri sampai dia menanamnya. (HR. Ahmad No. 12512)

Daftar Bacaan:

DR.H. Sukarni, M.Ag, Islam dan Lingkungan Hidup. Jogjakarta: Disertasi UIN Sunan Kalijaga, 2011.
Hadis Explorer. Ensiklopedi Sunnah Nabawi Berdasarkan 9 Kitab Hadis
Luthfi Muhammad. Khutbah Hijau, Mengajak diri Ramah Lingkungan. Surabaya: Duta Ikhwana Salama, 2012.
Prof.KH.  Ali Yafi. Merintis Fiqh Lingkungan Hidup. Jakarta: Ufuk Press, 2006.
Syafi’i Mufid dan Munawar Fuad Noeh, Ed.  Serial Khutbah Kontemporer Beagama di Abad Dua Satu. Jakarta: Zikrul Hakim, 1997.
http://islam-rahmah.com/tag/ekosistem/2013/12/2





[1] Makalah disampaikan dalam acara “Bedah Buku” yang diselenggarakan oleh Forum Mahasiswa Madiun (FORMAD) di UIN Sunan Ampel Surabaya pada Rabu, 19 Maret 2014.
[2] Dosen Fakultas Adab Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam (SKI) UIN Sunan Ampel Surabaya..