Sabtu, 26 Oktober 2013

TAHAJJUD DAN MENANGIS

Shalat Tahajjud dan Baca al-Qur’an
hingga menangis

Oleh:

DR.H.Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I
www.zuhdidh.blogspot.com

Hadis Pertama
Dalam kitab Sahih Ibn Hibban, II/386, disebutkan:
عن عطاء قال : دخلت أنا و عبيد بن عمير على عائشة فقال ابن عمير
‘Atha’ berkata: Aku dan  Ubaid bin Umair  menemui Aisyah ra, lalu Ibn ‘Umair berkata:
أخبرينا بأعجب شيء رأيته من رسول الله صلى الله عليه و سلم
"Wahai Aisyah sampaikanlah kepada kami sesuatu yang mengagumkan dari kehidupan Rasulullah Saw."
فسكتت ثم قالت : لما كان ليلة من الليالي قال : ( يا عائشة ذريني أتعبد الليلة لربي
Aisyah kemudian diam. Setelah itu ia menceritakan bagaimana Rasul beribadah  di malam hari. Suatu saat Rasulullah berkata: Wahai ‘Aisyah biarkan aku beribadah malam (salat tahajjud) kepada Tuhanku.
قلت : والله إني لأحب قربك وأحب ما سرك
Aku (Aisyah) berkata, "Demi Allah, aku ingin selalu dekat denganmu dan melakukan sesuatu yang membahagiakanmu.
قالت : فقام فتطهر ثم قام يصلي قالت : فلم يزل يبكي حتى بل حجره قالت : ثم بكى فلم يزل يبكي حتى بل لحيته قالت : ثم بكى فلم يزل يبكي حتى بل الأرض
Aisyah mengisahkan: saat itu Rasulullah Saw berdiri, kemudian bersuci lalu melakukan salat.  Saat salat, Rasulullah Saw selalu menangis hingga membasahi lekuk matanya, lalu menangis lagi hingga membasahi jenggotnya, lalu menangis lagi hingga membasahi lantai tempat beliau salat.
فجاء بلال يؤذنه بالصلاة فلما رآه يبكي قال : يا رسول الله لم تبكي وقد غفر الله لك ما تقدم وما تأخر ؟
MakaBilal datang mengumandangkan azan Subuh. Ketika ia mengetahui Rasulullah saw sedang menangis, ia berkata:  "Wahai Rasulullah, mengapa engkau menangis seperti itu? Tidakkah Allah telah mengampuni dosamu yang lalu maupun yang akan datang?"
قال : ( أفلا أكون عبدا شكورا لقد نزلت علي الليلة آية ويل لمن قرأها ولم يتفكر فيها { إن في خلق السموات والأرض } ) الآية كلها
Rasulullah  menjawab:"Sungguh aku ingin menjadi hamba Allah yang pandai bersyukur!". Nabi kemudian menambahkan penjelasannya, sungguh tadi malam Allah telah menurunkan ayat (QS, Ali Imran (3) ayat 190-191), yang barangsiapa membacanya lalu tidak merenungkannya maka ia akan celaka.
قال شعيب الأرنؤوط : إسناده صحيح على شرط مسلم
Syu’aib al-Arnout mengtakan: sanad hadis ini sahih sesuai dengan persyaratan Imam muslim.
Hadis kedua:
Al-Thahawi dalam kitab Musykil al-Atsar X/36, meriwayatkan:
 عن عطاء بن أبي رباح قال : « دخلت مع عبد الله بن عمر وعبيد بن عمير على عائشة رضي الله عنها  ، فقال ابن عمر : حدثينا بأعجب ما رأيت من رسول الله صلى الله عليه وسلم ،
 Atha’ berkata: Aku, Ibnu Umar dan Ubaid bin Umair pernah menghadap Aisyah ra. Lalu Ibnu Umar berkata : “Wahai Aisyah ceritakanlah kepada kami sesuatu yang mengagumkan dari Rasulullah Saw.”
 فبكت بكاء شديدا ، ثم قالت : كل أمره كان عجبا،
Saat itu Aisyah menangis, lalu berkata: "segala urusannya, prilakunya sangat menakjubkan".
  أتاني ذات ليلة ، وقد دخلت فراشي ، فدخل معي حتى لصق جلده بجلدي ، ثم قال :   يا عائشة ائذني لي أتعبد لربي عز وجل  
“Pada suatu malam, di mana malam itu memang merupakan malam yang menjadi giliranku, Rasulullah Saw datang kepadaku. Saat itu kulit beliau bersentuhan dengan kulitku, lalu beliau bersabda : “Wahai Aisyah, izinkanlah  aku untuk beribadah kepada Tuhanku.”
 قالت : قلت : يا رسول الله ، إني لأحب قربك وأحب هواك ، قالت : فقام إلى قربة في البيت ، فتوضأ منها ، ثم قرأ القرآن ، ثم بكى حتى ظننت أن دموعه بلغت حبوته ، ثم جلس ، فدعا وبكى حتى ظننت أن دموعه بلغت حجزته(حجره) ، ثم اضطجع على يمينه ، وجعل يده اليمنى تحت خده الأيمن ، ثم بكى حتى ظننت أن دموعه قد بلغت الأرض ،
Aku (Aisyah) berkata : “Ya Rasulullah! Sungguh Aku suka dekat kepadamu, dan menyukai kesukaanmu. 'Aisyah berkata:  Lalu Rasulullah Saw bangkit beranjak ke sebuah tempat air yang ada di dalam rumah, beliau berwudu dengannya, kemudian membaca al-Qur'an, kemudian beliau menangis hingga aku menduga air mata beliau mengalir mengenai surbannya, kemudian beliau duduk lalu berdoa dan menangis hingga aku menduga air matanya jatuh ke pangkuannya, kemudian beliau berbaring ke lambung sebelah kanannya, dan meletakkan tangan kanannya di bawah pipinya yang kanan, kemudian beliau menangis lagi hingga aku menduga air matanya sampai ke lantai (tanah).
 ثم جاءه بلال بعدما أذن ، فسلم ، فلما رآه يبكي قال : يا رسول الله ، تبكي وقد غفر الله لك ما تقدم من ذنبك وما تأخر قال : وما لي لا أبكي ، وقد أنزلت علي الليلة : إن في خلق السموات والأرض واختلاف الليل والنهار .. . الآية ، ويل لمن قرأها ، ثم لم يتفكر فيها ، ويحك يا بلال ألا أكون عبدا شكورا »
Kemudian Bilal mendatanginya setelah adzan, lalu ia mengucapkan salam kepada Rasulullah Saw. ketika Bilal melihat Rasulullah Saw sedang menangis, ia berkata: "Wahai Rasulullah, mengapa engkau menangis, padahal Allah telah menjamin mengampuni dosamu baik yang dulu maupun yang akan datang?  Rasulullah Saw bersabda: yang menyebabkan aku menangis karena tadi malam telah turun ayat kepadaku (QS.Ali Imran ayat 190-191), apabila ada orang yang membaca ayat tersebut kemudian tidak merenungkannya, maka ia akan celaka. Wahai Bilal,  tidakkah pantas aku menjadi hamba yang suka bersyukur?.
Al-Albani: hadis tersebut sahih
Hadis ketiga:
Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari ‘Aisyah ra, ia berkata:
 كان رسول الله – صلى الله عليه وسلم – إذا صلى قام حتى تفطر رجلاه. قالت عائشة : يا رسول الله أتصنع هذا وقد غُفِرَ لك ما تقدم من ذنبك وما تأخر؟!، فقال  صلى الله عليه وسلم ـ : يا عائشة أفلا أكون عبدا شكورا
“Nabi Saw pernah bangun salat malam hingga kedua kaki beliau bengkak. Lalu ‘Aisyah bertanya, ”Mengapa Anda melakukan ini, padahal Allah telah mengampuni dosa-dosa Anda yang dulu maupun yang akan datang?” Beliau Saw menjawab: “tidak pantaskah jika aku menjadi hamba yang bersyukur?” (HR. al-Bukhari dan Muslim).

Pelajaran dari hadis-hadis tersebut:

1. Rasulullah Saw adalah suami yang sangat lembut hatinya, perhatian pada isterinya, tidak ingin menyinggung apalagi menyakiti isterinya, hingga ketika mau salat malam pun beliau terlebih dahulu minta izin isterinya;
3. ‘Aisyah ra adalah isteri yang sangat baik, bangga, kagum, dan mencintai suaminya dan selalu ingin membuat suaminya bahagia;
3. Rasulullah Saw apabila salat malam, waktunya lama sekali hingga kedua telapak kakinya bengkak;
4. Selain salat malam, beliau juga membaca al-Qur’an;
5. Ketika salat malam dan membaca al-Qur’an, Rasulullah sering menangis hingga membasahi pipi, surban dan pangkuannya, bahkan lantainya;
6. Setelah selesai salat malam, beliau biasa istirahat dengan cara berbaring ke sebelah lambung kanan dan menjadikan tangan kanannya sebagai bantal bagi pipi kanannya.


Rabu, 09 Oktober 2013

DAGING KORBAN UNTUK NON MUSLIM

DAGING KORBAN UNTUK NON MUSLIM

Oleh

 Dr.H.Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I

            Hukum memberikan daging korban kepada non muslim, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama[1]. Sebagian ulama Syafi’iyah mengharamkannya[2]. Sedangkan ulama Malikiyah memakruhkannya[3]. Adapun ulama Hanafiyah dan Hanabilah[4], membolehkannya asal bukan daging korban yang wajib.
Al-Nawawi dalam al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab[5]mengutip pendapat Ibn al-Mundzir sebagai berikut:
أجمعت الامة على جواز اطعام فقراء المسلمين من الاضحية واختلفوا في اطعام فقراء أهل الذمة فرخص فيه الحسن البصري وأبو حنيفة وأبو ثور  وقال مالك غيرهم أحب الينا وكره مالك أيضا إعطاء النصراني جلد الاضحية أو شيئا من لحمها وكرهه الليث قال فان طبخ لحمها فلا بأس بأكل الذمي مع المسلمين منه  
“Ulama sepakat daging korban boleh diberikan kepada fakir miskin Islam, namun mereka berbeda pendapat mengenai memberi makan daging korban kepada fakir miskin ahli dzimmah (non muslim). Imam Hasan al-Basri memberi keringanan (membolehkan) mereka memakannya. Demikian juga Abu Hanifah dan Abu Tsur juga membolehkannya. Sementara Imam Malik lebih suka ia memberi makan daging korban kepada fakir-miskin yang muslim dan menganggapnya makruh memberikan daging korban kepada kaum nasrani (non muslim), baik kulit maupun dagingnya.  Adapun Al-Laytsmenganggapnya makruh, namun ia berpendapat jika daging korban tersebut dimasak boleh diberikankepada ahl dzimmah(non musim) berserta fakir miskin Islam.


Lebih lanjut al-Nawawi[6]mengatakan:
أنه يجوز إطعامهم من ضحية التطوع دون الواجبة
“Boleh saja memberikan makan daging korban kepada non muslim, asal korban sunnah bukan korban yang wajib” (misalnya korban nazar).

Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz[7]mengatakan: “Kita boleh saja memberikan hasil korban berupa daging kepada orang kafir (non muslim) yang memiliki ikatan perjanjian dengan kaum muslimin. Boleh memberikan hasil korban tersebut karena kekerabatannya, ia sebagai tetangga, atau ingin melembutkan hatinya. Yang namanya ibadah korban adalah sembelihan yang disajikan untuk Allah sebagai bentuk pendekatan diri dan ibadah kepada-Nya. Adapun daging korban, lebih afdhol dimakan oleh shahibul korban sepertiganya, lalu sepertiganya lagi dihadiahkan pada kerabat, tetangga dan sahabatnya, kemudian sepertiganya lagi sebagai sedekah untuk orang miskin. Jika lebih atau kurang dari sepertiga tadi atau hanya cukup untuk sebagian mereka saja, maka tidaklah masalah. Masalah ini ada kelapangan. Namun daging hasil korban tidak boleh diserahkan pada kafir harbi (non muslim yang memerangi kaum muslimin). Karena kafir harus ditekan dan dilemahkan, tidak boleh simpati dan malah menguatkan mereka dengan diberi sedekah. Demikian berlaku dalam sedekah sunnah.

Allah Ta’ala berfirman:
لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم مِّن دِيَارِكُمْ أَن تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ إِنَّمَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ قَاتَلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَأَخْرَجُوكُم مِّن دِيَارِكُمْ وَظَاهَرُوا عَلَى إِخْرَاجِكُمْ أَن تَوَلَّوْهُمْ وَمَن يَتَوَلَّهُمْ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
Artinya : “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang Berlaku adil.” (QS al-Mumtahanah [60]: 8). “Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim.”(QS. Al Mumtahanah[60]: 9).
Ayat tersebut menjelaskan bahwa syariat Islam tidak melarang umatnya untuk bermuamalah (bergaul) dengan baik kepada umat lain, bahkan syariat Islam memberikan bimbingan agar berbuat baik dan adil kepada orang-orang kafir selama mereka tidak memusuhi dan mengusir umat Islam dari tanah airnya.
Dalam ayat lain disebutkan:
وَيُطْعِمُونَ الطَّعَامَ عَلَى حُبِّهِ مِسْكِينًا وَيَتِيمًا وَأَسِيرًا
”Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim, dan orang yang di tawan.” (QS al-Insan [76]: 8).
Ibnu Qudamah dalam kitab al-Mughni [8] menjelaskan bahwa daging kurban adalah makanan yang boleh dimakan sehingga boleh diberikan sebagai makanan bagi orang kafir dzimmi (non muslim) sebagaimana makanan-makanan lainnya, dan merupakan sedekah sunah yang dianjurkan. Karenanya, boleh diberikan kepada orang kafir dzimmi dan para tawanan sebagaimana sedekah sunah lainnya.
Tentang  kebolehan berbuat baik dengan orang non muslim selain kafir harbi adalah berdasarkan praktek Nabi Saw  yang pernah menyuruh Asma’ binti Abi Bakr ra untuk tetap berbuat baik kepada ibunya yang musyrik saat hadanah (perdamaian).” Disebutkan dalam hadis sahih riwayat al-Bukhari dan Muslim, dari Asma binti Abi Bakr, ia berkata:

قَدِمَتْ عَلَيَّ أُمِّي وَهِيَ مُشْرِكَةٌ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم، فَاسْتَفْتَيْتُ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم، قُلْتُ، وَهِيَ رَاغِبَةٌ: أَفَأَصِلُ أُمِّي قَالَ: نَعَمْ صِلِي أُمَّك
”Aku pernah didatangi ibuku yang masih musyrik pada masa Rasulullah saw lalu aku meminta fatwa dari Rasulullah saw. Aku berkata,’Sesungguhnya ibuku datang, dia begitu ingin(menemuiku), apakah aku sambungkan silaturahim dengan ibuku?’ beliau bersabda,’Ya, sambungkanlah ibumu”.
Berdasarkan keterangan tersebut dapat diketahui bahwa mayoritas ulama tidak melarang atau tidak mengharamkan daging korban diberikan kepada non muslim. Oleh karena itu maka  tidak mengapa memberikan sebagian dari daging kurban kepada tetangga yang non-muslim sebagai hadiah atau sedekah, terutama  jika kurang mampu.
 Wallahu a’lam bishshawab !



[1]Al-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, VIII/425.
[2]Al-Syarbini, al-Iqna’, II/593.
[3] Wahbah al-Zuhayli, al-Fiqh al-Islami Wa Adillatuhu, II/282.
[4] Abd al-Rahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘Ala al-Madzahib al-Arba’ah, I/1114.
[5] Al-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, VIII/425.
[6] Ibid. Baca juga Al-Syarbini, al-Iqna’, II/593.
[7] Abdullah bin Baz, Fatawa Islam, I/134.
[8] Ibn Qudamah, al-Mughni, IX/ 450.