Jumat, 24 April 2020

Menyikapi Berita Hoax


Menyikapi Berita Hoax

oleh


Dr.H. Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I

Akhir-akhir ini masalah hoax(berita bohong) sangat marak bermunculan di media social. Sebenarnya berita hoaxtelah ada sejak zaman khulafaur rasyidin. Peristiwa yang paling menggemparkan terjadi berkenaan dengan berita hoax adalah  peristiwa fitnah qubro (fitnah besar) yang melibatkan Khalifah Utsman bin Affan dan berakibat terbunuhnya beliau. Saat itu Khalifah Utsman dibunuh oleh seorang muslim bernama al-Ghafiqi Ibn al-Harb, yang tidak sembarang muslim. Konon, ia seorang hafidz al-Qur’an. Dia tergerak sendiri, ingin membunuh sendiri sang Khalifah, karena berita hoax.
 Mengingat sudah sedemikian hebatnya berita hoaxdi sekitar kita, maka perlu disikapi dengan kritis dan selektif setiap ada pemberitaan. Ada beberapa kiat bagaimana cara mengetahui sebuah berita itu hoaxatau asli dan bagaimana menindak lanjutinya. Sedikitnya ada tiga langkah yang bisa ditempuh:
Pertama, periksa dulu asal-usul tulisan atau gambar tersebut dari mana. Jika asal-usulnya dari situs-situs yang tidak jelas, atau situs-situs yang selama ini dikenal sebagai situs yang sering menyebarkan berita hoax, maka waspadalah! Berita-berita  hoax di Indonesia tidak selamanya asli buatan dalam negeri; jamak terjadi berasal dari terjemahan, khususnya jika menyangkut temuan-temuan ilmiah.
Kedua, periksa juga siapa yang menulisnya. Berita hoaxumumnya anonim atau bisa juga seakan-akan benar dengan menggunakan nama orang-orang yang sudah dikenal. Jika ada namanya, coba telusuri asal-usul tulisan tersebut dengan cara masuk ke blog atau web atau alamat-alamat penulis yang bisa diakses.
Ketiga, jika informasi yang hendak kita cari ada gambarnya, maka yang mesti kita lakukan adalah minta bantuan pada google image, upload gambarnya, lalu cari dari mana asal-usul gambar tersebut plus apa berita yang berkait dengan gambar tersebut. Jika sudah muncul gambarnya, periksa tanggalnya, lihat judul beritanya, dan apa isi informasinya. Dari sini akan diketahui keshahihan informasi tersebut.
Bagi kita sebagai pengguna, mulai hari ini tahan dirilah, tidak asal kirim apa yang kita dapatkan. Tabayyundulu, jika sudah jelas shahih, boleh dikirim sebagai amal shalih. Tapi, jika kita sendiri tidak yakin keshahihannya, hendaklah melakukan tabayyundulu. Jika tidak bisa, maka tahanlah, jangan disebar, karena dalam hadis riwayat Muslim, Rasulullah Saw memberi peringatan kepada umatnya:
عَنْ حَفْصِ بْنِ عَاصِمٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم  كَفَى بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ
Artinyas: “Dari Hafsh bin Ashim, Rasulullah Saw bersabda: “Cukuplah seseorang dianggap pendusta ketika dia menceritakan (menyebarkan) apa saja yang dia dengar.” (HR. Muslim No.7).
Wallahu A’lam Bi al-Shawab !

Senin, 20 April 2020

HUKUM SHALAT MEMAKAI MASKER


HUKUM SHALAT MEMAKAI MASKER

Oleh



Dr.H. Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I

Pertanyaan:

Assalamu’laikum wr wb !
Ustadz Zuhdi rihimakumullah! Belakangan ini, saya biasa melakukan shalat dengan menggunakan masker, karena kondisi alam dan lingkungan yang dihantui oleh mewabahnya covid-19. Sementara ada Ustadz di Youtube yang membawakan sebuah hadis tentang larangan shalat dengan menutup mulut. Bagaimana dengan shalat yang saya lakukan dengan pakai masker ini, apakah dibolehkan? Mohon penjelasannya, Ustadz! Atas jawabannya, kami sampaikan terima kasih. Semoga bisa memberikan pencerahan kepada kami (Luluk Humaidah, Waru).
Wassalamu’alaikum wr wb!

Jawaban:
           Benar, ada sebuah hadis yang melarang orang shalat dengan menutup mulut. Berikut ini hadis dari Abu Hurairah ra, ia mengatakan:
نَهَى رَسُو لُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُغَطِّيَ الرَّجُلُ فَاهُ فِي الصَّلَاةِ
Rasulullah saw. melarang seseorang yang menutup mulutnya ketika sedang shalat.             
(HR. Abu Daud No. 643).
Status Hadis
           Hadis tersebut diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunan Abi Dawud, I/245 hadis No. 643. Selain oleh Abu Dawud, hadis tersebut juga diriwayatkan oleh Ibn Majah dalam Sunan Ibn Majah, I/ 310 hadis No. 966, Ibn Hibban dalam Sahih Ibn Hibban, VI/117 hadis No. 2353, al-Hakim dalam al-Mustadrak, I/384 hadis No. 931, Ibn Khuzaimah dalam Shahih Ibn Khuzaimah, II/60 hadis No. 918, dan al-Bayhaqi dalam al-Sunan al-Kubra, II/242 hadis No. 3435. Syekh al-Albani menyatakan hadis tersebut sahih (Shahih al-Jami al-Shaghir, II/1160).
Pembahasan
        Hadis tersebut menjelaskan tentang larangan menutup mulut ketika sedang melaksanakan shalat. Di sekitar kita, ada sebagian orang yang suka menutupi mulut dan hidungnya dengan masker saat dalam perjalanan yang banyak berdebu atau saat sedang terserang flu. Pemakaian masker ini bahkan dituntut atau diharuskan tatkala suatu wabah pandemic (seperti covid-19) ini terjadi. Di kalangan ahli Fiqh ada istilah yang disebut dengan al-talatstsum(التلثم), yaitu mengikatkan kain cadar pada mulut dan hidung (al-Qal’aji, Mu’jam Lughat al-Fuqaha, I/144).
          Menurut al-Khattabi (w. 288 H), menutup mulut dengan serban merupakan tradisi orang Arab. Tradisi ini (al-talatstsum) kemudian dilarang oleh Nabi saw. saat sedang melakukan shalat ((HR. Abu Daud No. 643). Namun larangan ini tidak  berlaku saat orang yang sedang shalat menguap, karena ada perintah dari Nabi saw. untuk menutupi mulutnya saat menguap (al-Khattabi, Ma’alim al-Sunan, I/179).  Dari Sa’id al-Khudri, Nabi saw. bersabda:
إِذَا تَثَاوَبَ أَحَدُكُمْ فَلْيُمْسِكْ بِيَدِهِ عَلَى فِيهِ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ يَدْخُل
“Apabila salah seorang di antara kalian menguap, maka hendaklah menutupi mulutnya dengan tangan, karena setan akan masuk”(HR. Muslim No. 7683).

            Hikmah larangan menutup mulut saat sedang shalat itu adalah dikarenakan perbuatan seperti itu menyerupai orang majusi saat melakukan ritual menyembah api (أنه يُشبه فعل المجوس حال عبادة النيران), tulis Badruddin al-‘Aini dalam kitabnya (Syarah Sunan Abi Dawud, III/181). Lebih lanjut al-‘Iraqi (w. 806 H) menjelaskan bahwa larangan menutup mulut dalam shalat itu dikarenakan menyerupai orang-orang jahiliyah yang suka menutup mulutnya dengan serbannya. Selain itu, menutup mulut saat sedang shalat dikhawatirkan bisa mengganggu bacaan shalatnya dan bisa juga mengganggu kesempurnaan sujudnya (al-Albani, Mashabih al-Tanwir Ala Shahih al-Jami’ al-Shaghir, I/448). Ibn Taymiyah (w. 728 H) juga menjelaskan bahwa dilarangnya menutup mulut saat shalat itu karena bisa mengganggu bacaan tajwidnya, bacaan doa dan dzikirnya terutama saat sujud(Ibn Taymiyah, Syarh al-‘Umdah, II/332).
            Berdasarkan hadis larangan menutup mulut saat shalat tersebut, ulama pada umumnya menghukumi makruh bagi orang yang menutup mulut saat melaksanakan shalat. Ibn al-Mundzir (w.319 H) mengatakan:
كَثِيرٌ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ يَكْرَهُ تَغْطِيَةَ الْفَمِ فِي الصَّلَاةِ، وَمِمَّنْ رُوِيَ عَنْهُ أَنَّهُ كَرِهَ ذَلِكَ ابْنُ عُمَرَ، وَأَبُو هُرَيْرَةَ، وَبِهِ قَالَ عَطَاءٌ، وَابْنُ الْمُسَيِّبِ وَالنَّخَعِيُّ، وَسَالِمُ بْنُ عَبْدِ اللهِ، وَالشَّعْبِيُّ، وَحَمَّادُ بْنُ أَبِي سُلَيْمَانَ، وَالْأَوْزَاعِيُّ، وَمَالِكٌ، وَأَحْمَدُ، وَإِسْحَاقُ وَاخْتَلَفَ فِيهِ عَنِ الْحَسَنِ فَرُوِيَ عَنْهُ أَنَّهُ كَرِهَ ذَلِكَ، وَذَكَرَ الْأَشْعَثُ أَنَّهُ كَانَ لَا يَرَى بِهِ بَأْسًا
“Banyak ulama yang berpendapat bahwa menutup mulut ketika shalat itu dihukumi makruh. Di antara mereka yang menilai perbuatan itu makruh adalah Ibnu Umar, Abu Hurairah, Atha’, Ibnu al-Musayyib, al-Nakha-i, Salim bin Abdillah, al-Sya’bi, Hammad bin Abi Sulaiman, al-Auza’i, Malik, Ahmad, dan Ishaq. Ada perbedaan pendapat tentang ini dari al-Hasan, menurutnya perbuatan itu makruh, sedangkan al-Asy’ats berpendapat hal itu tidak apa-apa”(Ibn al-Mundzir, al-Ausath Fi al-Sunan Wa al-Ijma Wa al-Ikhtilaf,III/264-265).
            Imam al-Nawawi (w. 676 H) mengatakan:
ويكره أن يصلي الرجل متلثما أي مغطيا فاه بيده أو غيرها ويكره أن يضع يده على فمه في الصلاة إلا إذا تثاءب فإن السنة وضع اليد على فيه ففي صحيح مسلم عن أبي سعيد إن النبي صلى الله عليه وسلم … والمرأة والخنثى كالرجل في هذا وهذه كراهة تنزيه لا تمنع صحة الصلاة
“Menutup mulut dan hidung (at-talatstsum) atau menutup mulut saja dengan tangan atau yang lain ketika shalat hukumnya makruh. Dihukumi makruh juga menutup mulut dengan tangan, kecuali apabila seseorang menguap dalam shalat, maka disunnahkan menutup mulutnya dengan tangannya. Hal ini sesuai dengan hadis shahih riwayat Muslim dari Abu Sa’id al-Khudri di atas (HR. Muslim No. 7683)…. Dalam hal ini wanita dan banci memiliki ketentuan yang sama dengan laki-laki. Perbuatan ini hukumnya makruhtanzih (mendekati boleh), sehingga tidak menghalangi keabsahan shalat”(al-Nawawi, Al-Majmu’, III/179).
            Istilah al-talatstsum (menutup mulut dan hidung) ditemukan dalam beberap atsar. Dalam Kitab Mushannaf Ibn Abi Syaibah hadis No. 7306, 7307, 7308, 7309, dan 7310 disebutkan bahwa beberapa ulama kalangan sahabat dan tabiin seperti Ibn Umar, Nafi, Said bin al-Musayyib, Ikrimah, Thawus, dan al-Hasan, semuanya menganggap makruh (tidak disukai) orang yang melakukan al-talatstsum (menutup mulut dan hidung) dalam shalat(Ibn Abi Syaibah, al-Mushannaf, II/130).  

Memakai masker dalam shalat saat ada wabah
         Dalam keadaan normal, umumnya ulama berpendapat bahwa shalat dengan memakai masker atau yang disebut al-talatstsum (menutup mulut dan hidung dengan kain) itu hukumnya makruh (tidak disukai). Bagaimana jika memakai masker itu terpaksa harus dilakukan untuk menghindari bahaya seperti saat terjadinya musim pandemic virus (covid-19) saat ini?
          Dalam kaidah fiqhiyah disebutkan bahwa al-karahatu tazulu ‘inda al-hajah (الكراهة تزول عند الحاجة), sesuatu yang tadinya dihukumi makruh bisa hilang (tidak lagi makruhatau menjadi boleh) apabila ada kebutuhan atau tuntutan(Walid Bin Rasyid, Tadzkir al-Fuhul Bitarjihat Masail al-Ushul, I/6), dan kaidah al-hajat tazul al-karahah (الحاجة تزول الكراهة), adanya tuntutan atau kebutuhan bisa menghilangkan hukum yang tadinya makruh, menjadi boleh (Ibn Taymiyah, al-Fatawa al-Kubra, I/324).

          Atas dasar kaidah-kaidah fiqhiyah tersebut maka dapat difahami bahwa memakai masker dalam shalat yang tadinya oleh ulama dihukumi makruh, karena adanya tuntutan atau kebutuhan tertentu, maka memakai masker tidak lagi dihukumi makruh, tetapi mubah atau boleh.Ibnu Abdil Barr (w. 1071 M) mengatakan:
أجمعوا على أن على المرأة أن تكشف وجهها في الصلاة والإحرام، ولأن ستر الوجه يخل بمباشرة المصلي بالجبهة والأنف ويغطي الفم، وقد نهى النبي صلى الله عليه وسلم الرجل عنه. فإن كان لحاجة كحضور أجانب فلا كراهة
“Para ulama sepakat bahwa wanita harus membuka wajahnya ketika shalat dan ihram, karena menutup wajah dapat menghalangi orang yang shalat menempelkan dahi dan hidungnya, dan menutupi mulut. Padahal Nabi saw. telah melarang lelaki melakukan hal ini. Namun jika ada kebutuhan, misalnya ada banyak lelaki yang bukan mahram, maka (menutupi wajah) hukumnya tidak lagi makruh”(Ibn Qudamah. Kasyf al-Qina’An Matn al-Iqna’, I/268).
Berdasarkan uraian di atas, maka memakai masker saat shalat di tengah kekhawatiran merebaknya bahaya pandemi (seperti saat mewabahnya Covid-19), hukumnya diperbolehkan. Memakai masker ini, dalam kondisi tertentu bukan hanya boleh dipakai dalam shalat, tetapi diharuskan terutama bagi orang yang menunjukkan gejala-gejala seperti batuk, flu, pilek, dan demam. Hal ini dimaksudkan untuk mengantisipasi meluasnya penyebaran wabah yang sangat membahayakan. والله اعلم
   
Lihat juga di Youtube:

https://youtu.be/Pj1DwUeSZNc

Senin, 13 April 2020

Wabah Dalam Sejarah Islam


Wabah Dalam Sejarah Islam

Oleh


Dr.H. Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَتْ سَأَلْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الطَّاعُونِ فَأَخْبَرَنِي أَنَّهُ عَذَابٌ يَبْعَثُهُ اللهُ عَلَى مَنْ يَشَاءُ وَأَنَّ اللهَ جَعَلَهُ رَحْمَةً لِلْمُؤْمِنِينَ لَيْسَ مِنْ أَحَدٍ يَقَعُ الطَّاعُونُ فَيَمْكُثُ فِي بَلَدِهِ صَابِرًا مُحْتَسِبًا يَعْلَمُ أَنَّهُ لَا يُصِيبُهُ إِلَّا مَا كَتَبَ اللهُ لَهُ إِلَّا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ شَهِيدٍ
Dari ‘Aisyah ra., istri Nabi saw. berkata; “Aku pernah bertanya kepada Rasulullah saw. tentang masalah tha’un(wabah, penyakit menular), lalu beliau mengabarkan kepadaku bahwa tha’unadalah merupakan adzab (siksaan) yang Allah kirim kepada siapa yang Dia kehendaki, dan sesungguhnya Allah menjadikan hal itu sebagai rahmat bagi orang-orang beriman. Tidak ada seorangpun yang menderita tha’un lalu dia bertahan di tempat tinggalnya dengan sabar dan mengharapkan pahala serta berkeyakinan bahwa dia tidak terkena musibah melainkan karena Allah telah menakdirkannya, maka dia mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mati syahid”(HR. al-Bukhari No.3474).

Status Hadis
            Hadis tersebut dinilai shahih oleh Imam al-Bukhari dan dimasukkan dalam kitab al-Jami’ al-Shahih, IV/213 hadis no. 3474. Selain oleh al-Bukhari, hadis tersebut juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad Ahmad Bin Hanbal, VI/251 hadis no. 26139, Imam al-Nasai dalam  Sunan al-Nasai al-Kubra, IV/363 hadis no. 7527, Imam al-Bayhaqi dalam Sunan al-Bayhaqi al-Kubra, III/376 hadis No. 6798,  dan Imam Ishaq Bin Rahawayh dalam Musnad Ishaq Bin Rahawayh, III/743 hadis No. 1353. Syekh al-Albani juga menyatakan shahih terhadap hadis tersebut dalam Shahih al-Targhib Wa al-Tarhib, II/73 hadis No. 1400.
Pembahasan
Hadis tersebut menjelaskan bahwa terjadinya tha’un (wabah, penyakit menular) adalah merupakan adzab bagi orang-orang yang dikehendaki Allah, yakni menjadi adzab bagi hamba-hamba-Nya yang kafir dan orang-orang yang suka berbuat maksiat atau melanggar aturan Allah. Sebaliknya, Tha’un  bisa menjadi rahmat bagi hamba-hamba Allah yang beriman, yang memiliki kesadaran dan keyakinan bahwa  tha’un (wabah, penyakit menular) merupakan takdir Allah. Bagi orang yang beriman, ketika terjadi tha’un, ia tidak akan panik, tidak gelisah, tetapi sabar dalam menghadapinya dan pasrah (tawakkal) sepenuhnya kepada Allah. Orang beriman juga berusaha sabar dan tetap tinggal di rumah, melakukan isolasi diri, ikut mencegah terjadinya tular-menular wabah, selanjutnya memperbanyak ibadah, berdzikir, istighfar dan tawakkal serta semakin mendekatkan diri kepada Allah. Sikap dan keyakinan yang demikian inilah yang akan dijamin oleh Allah dengan pahala mati syahid. Jika ia mati karena tha’un itu, ia akan mati syahid, dan jika ia tidak terkena tha’un, lalu ia mati karena faktor lain atau tetap hidup, maka ia dapat pahala seperti mati syahid (Ibn Hajar al-Asqalani, al-Fath al-Bari, X/192-193).

Konsep Islam Atasi Wabah
            Berdasarkan sejumlah hadis shahih, ada beberapa cara atau tindakan yang harus dilakukan dalam mengatasi wabah agar tidak terus menjalar ke mana-mana:
Pertama, melakukan lockdown, yaitu dengan cara menutup wilayah yang terkena wabah. Nabi saw. bersabda: "Jika kamu mendengar wabah di suatu wilayah, maka janganlah kalian memasukinya, tetapi jika terjadi wabah di tempat kamu berada, maka jangan keluar atau tinggalkan tempat itu"(HR. Bukhari No. 5728). 
Kedua, melakukan karantina atau isolasi bagi yang sudah positif kena wabah. Hal ini dimaksudkan agar penderita mendapatkan penanganan (pengobatan, penyembuhan) secara khusus dan serius serta tidak menularkan penyakitnya kepada yang lain. Nabi saw. bersabda: “Janganlah yang sakit dicampurbaurkan dengan yang sehat”(HR. al-Bukhari No. 5771 dan Muslim No. 5922).
Ketiga, melakukan social distancing, yaitu mengambil jarak, menghindari kedekatan antara satu dengan yang lain, dan menghindari kerumunan massa yang memungkinkan terjadinya penularan wabah penyakit dari satu orang ke orang lain yang berdekatan. Nabi saw. bersabda: “Tidak boleh berbuat mudharat (perbuatan yang berbahaya) dan hal yang menimbulkan kemudharatan bagi orang lain” (HR. Malik No. 2758, al-Syafii No. 1096, Ahmad No. 2865, dan Ibn Majah No. 2340). Al-Albani menshahihkan hadis ini (al-Albani, Irwa al-Ghalil, III/408).
            Amru bin Al-Ash ra., ketika menjadi pemimpin menggantikan pendahulunya (Abu Ubaidah bin Jarrah), saat menghadapi wabah, beliau mengatakan: “Wahai manusia, sesungguhnya penyakit ini apabila menimpa maka ia akan bekerja bagaikan bara api maka bentengilah dari penyakit ini dengan berlari ke gunung-gunung, dan berpisah-pisahlah”(Ibn Hajar Al-Asqalani, al-Ishabah Fi Tamyiz al-Shahabah, VII/455 dan Ithaf al-Maharah, VI/183).
Keempat,perbanyak amal shalih, berdzikir, dan beristighfar. Imam Hasan al-Bashri pernah dimintai tolong untuk mengatasi berbagai masalah. Saat itu beliau memberikan solusi agar memperbanyak istighfar sambil menyebutkan Alquran Surat Nuh ayat 10-12 (al-Tsa’labi, al-Kasyfu Wa al-Bayan, X/44).
Kelima,berdoa dan tawakkal. Nabi mengajarkan beberapa doa untuk menghadapi wabah, di antaranya: Allahumma inni a’udzubika bin jahdil bala’ wa darkisysyaqa’ wa su’il qadha’ wa syamatatil a’da’ (Ya Allah, sungguh aku berlindung kepada-Mu dari cobaan yang berat, kesengsaraan yang hebat, takdir yang buruk dan  kegembiraan musuh”(H.R. Al-Bukhari No. 6619). Jika sudah berusaha sedemikian rupa tetapi masih terkena, dan akhirnya mati, maka cukup pasrah (tawakkal) saja karena menurut sabda Nabi bahwa orang yang mati karena wabah dijamin mati syahid (HR. al-Bukhari No.2829).

Peristiwa Wabah Dalam Sejarah Islam
Abu al-Hasan al-Madaini mengungkapkan bahwa tha’un (wabah) yang terbesar dalam Islam ada lima, yaitu tha’un  Syirawaih pada masa Nabi Muhammad (6H),  tha’un  ‘Amwas  pada masa Umar bin Khattab (17-18 H), tha’un al-Jarif pada masa Ibnu Zubair (69 H), tha’un al-Fatayat pada masa Abd al-Malik  tahun 87 H, dan tho’un  al-Asyraf masa al-Hajjaj tahun 95 H(Ibn Hajar al-Asqalani, Badzl al-Ma’un Fi Fadl al-Tha’un, I/361) .

1. Wabah Shirawayh (6 H/627 M)
Wabah ini dianggap sebagai kejadian epidemik pertama yang terjadi pada masyarakat muslim. Wabah Shirawayh ini terjadi pada 6 H/ 627 M di ibukota Persia, al-Madain, kawasan Iraq sekarang ini, yang menelan korban sebanyak 200.000 orang. Ada yang menyebutkan separuh penduduk manusia atau sepertiganya meninggal akibat wabah tersebut(al-Mas’udi, Muruj al-Dzahab, I/123). Ibn al-Muthahar bahkan menyebutkan sembilan persepuluh orang meninggal (Ibn al-Muthahar, al-Bad’u Wa al-Tarikh, I/177). Nama wabah diambil dari nama  Siroes (Syirawaih), Raja Persia dari Dinasti Sassanian yang meninggal karena penyakit ini pada 8 H/629 M. Imam  al-Thabari mengatakan bahwa wabah ini membunuh banyak warga Persia meski tidak ada kepastian jumlah muslim yang meninggal karena masih sedikit populasinya (al-Thabari, Tarikh al-Thabari, I/478).
2. Wabah Amwas (17-18 H/638-639 M) 
Wabah ini terjadi pada masa kekhalifahan Umar Bin Khattab pada tahun 17 atau 18 H. Sesuai namanya, wabah Amwas awalnya menyerang sebuah desa kecil bernama Amwas yang terletak di Palestina atara Jerusalem dan Al-Ramlah (Ibn Katsir, al-Bidayah Wa al-Nihayah, VII/93). Wabah ini menyerang tentara Islam yang sedang berada di Amwas pada bulan Muharram dan Safar yang siap bertempur melawan tentara Romawi (Ibn al-Muthahar, al-Bad’u Wa al-Tarikh, I/313).
Korban meninggal akibat wabah ini sebanyak 20.000 lebih. Sebagian besar ahli sejarah menyebutnya 25.000 orang, sebagian lain menyebutnya 30.000 bahkan ada yang menyebutkan 50.000 (al-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, I/106, Ibn Katsir, al-Bidayah Wa al-Nihayah, VII/93, Muhammad Bin Abd al-Wahhab, Mukhtasar Sirat al-Rasul, I/538). Mereka yang meninggal di antaranya termasuk orang-orang dekat Rasullah saw., yaitu Abu Ubaidah, Muaz bin Jabal, Yazid bin Abu Sufyan, Al-Harits bin Hisyam, Suhail bin Amr, Utbah Bin Suhail, Amir Bin Ghailan al-Tsaqafi, dan ayahnya (Ibn al-Atsir, al-Kamil Fi al-Tarikh, II/399).
Sebelum wabah amwas, sempat terjadi kelaparan parah, tanah Hijaz gersang mengering, hingga tahun ini disebut Al-Ramadah (kebinasaan). Saat itu tanah tampak hitam disebabkan sedikit hujan hingga warnanya seperti abu. Di wilayah Suriah dan Palestina, banyak masyarakatnya yang terserang penyakit ini (Ibn Katsir, al-Bidayah Wa al-Nihayah, VII/93).
Ada yang menarik dalam peristiwa wabah amwas ini. Saat Umar Bin Khattab keluar mau perang melawan Romawi hingga tiba di Saragh, ia mendapatkan info bahwa telah terjadi wabah di Syam. Lalu Umar kembali pulang, dan Abu Ubaidah berkata: “Apakah anda akan lari dari takdir Allah?”. Umar menjawab: “Benar, saya lari dari takdir Allah menuju takdir yang lain” (Ibn al-Muthahar, al-Bad’u Wa al-Tarikh, I/313).
Saat itu muncul ide brillian dari Amru bin Al-Ash ra., saat menghadapi wabah, beliau mengatakan: “Wahai manusia, sesungguhnya penyakit ini apabila menimpa maka ia akan bekerja bagaikan bara api maka bentengilah dari penyakit ini dengan berlari ke gunung-gunung, dan berpisah-pisahlah”(Ibn Hajar Al-Asqalani, al-Ishabah Fi Tamyiz al-Shahabah,VII/455 dan Ithaf al-Maharah, VI/183).
3. Wabah Al-Jarif (69 H/688 M)
Wabah ini disebut dengan al-Jarif (kematian massal), karena  wabah ini menyapu manusia sebagaimana banjir besar menyapu bersih tanah-tanah. Wabah ini menyapu Irak selatan lewat Basrah seperti banjir sekitar tahun 69 H/ 688 M pada masa Ibn Zubair. Dalam tiga hari, setiap harinya merenggut nyawa 70.000 sehingga korban seluruhnya mencapai lebih dari 200,000 orang akibat wabah ini. Kebanyakan korban meninggal pada hari keempat setelah terinfeksi. Masyarakat dan pemerintah kesulitan menguburkan jenazah, sehingga harus mencegah mayat jangan sampai dimangsa hewan buas (al-Dzahabi, Sayr A’lam al-Nubala, III/405 dan IV/86).
Pada musim wabah ini, turut wafat anak-anak Anas Bin Malik sebanyak 80 orang, sebagian menyebutnya 70 orang, dan anak-anak Abd al-Rahman Bin Abi Bakr sebanayak 40 orang. Saat itu manusia tinggal sedikit. Mereka lemah dalam menghadapi kematian sehingga binatang-binatang liar memasuki rumah dan memangsanya. Pada hari Jumat, Khatib bin Amir berkhutbah dengan jamaah hanya tujuh orang dan satu orang perempuan. Saat itu juga 20.000 pasang pengantin ikut meninggal. Orang hanya bisa bertahan hidup pada hari keempat, kecuali sedikit sekali (al-Dzahabi, Tarikh al-Islam, V/66-67).

4. Wabah al-Fatayat (86-87 H/706 M)
Wabah al-Fatayat terjadi di Syam, Basrah, dan Wasit pada 86-87 H/705-706 M. Diberi nama wabah al-fatayat karena kebanyakan korban yang meninggal adalah para wanita muda, kemudian kaum laki-lakinya (Ibn Katsir, al-Bidayah Wa al-Nihayah, IX/61, al-Suyuti, Tarikh al-Khulafa, I/190, Ibn Hibban, al-Tsiqat, IV/40). Untuk menggambarkan situasi yang mencekam, Ibnu Abi al-Dunya dalam kitabnya al-I’tibarmenerangkan bahwa Ayyub bersama orang-orang yang mengikutinya masuk ke dalam rumah dan dalam 11 hari kemudian  mereka mati terserang wabah tersebut (Ibn Abi al-Dunya, al-I’tibar, I/44). Abd al-Malik bin Marwan, khalifah Bani Umaiyah tercatat wafat pada musim wabah ini (705 M) atau beberapa saat setelah itu (Ibn Qutaybah, al-Ma’arif, I/135).
5. Wabah al-Asyraf (95 H/714 M)
Ibn Taghri Badri mengatakan bahwa wabah al-Asyraf terjadi pada masa al-Hajjaj bin Yusuf, dan ia meninggal pada saat wabah itu terjadi tahun 95 H (714 M). Disebut al-Asyraf karena yang meninggal saat itu banyak dari kalangan bangsawan. Banyak korban tak terhindarkan, terutama di wilayah Wasit (Ibn Taghri Badri, al-Nujum al-Zahirah Fi Muluk Mishr Wa al-Qahirah, I/90).
Ibn Qutaibah mengatakan, setelah itu wabah masih terus berlanjut pada tahun 100 H yang disebut dengan Tho’un  ‘Ady bin Arthah, kemudian pada tahun 127 H terjadi Tho’un  Ghurab, lelaki dari al-Rubab yang pertama sekali meninggal terkena wabah, pada masa al-Walid Bin Yazid Bin Abd al-Malik. Kemudian pada bulan Rajab tahun 131 H terjadi Tho’un  Muslim bin Quthaibah, terus berlanjut ke Sya’ban dan Ramadhan, kemudian wabah ini berkurang pada bulan Syawwal. Salah seorang Tabiin. Ayyub al-Sikhtiyani, meninggal dalam tragedi wabah tersebut (Ibn Qutaybah, al-Ma’arif, I/135). Korban meninggal akibat wabah ini dalam satu hari terkumpul seribu jenazah (Ibn Hajar al-Asqalani, Badzl al-Ma’un Fi Fadl al-Tha’un, I/363).
Tha’un atau wabah dari masa ke masa masih terjadi sampai sekarang, dan yang terkini (2020) adalah covid-19 yang telah mendunia sebagai pandemik. Sebagai orang beriman mesti meyakini bahwa terjadinya wabah adalah karena takdir-Nya, sebagai adzab bagi orang kafir dan ahli maksiat, sebagai rahmat bagi kaum beriman untuk mengambil hikmahnya, sabar menghadapinya, dan tawakkal, karena pahala syahid adalah jaminannya.

Cara Atasi Wabah Menurut Islam


 Cara Atasi Wabah

Oleh


Dr.H. Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I
Pertanyaan:
            Assalamu’alaikum wr wb.!
            Ustadz Zuhdi rahimakumullah! Mohon penjelasan tentang wabah, yang katanya merupakan adzab, tetapi juga sebagai rahmat. Bagaimana pula Islam mengajarkan kepada umatnya cara mengatasi wabah? Atas jawabannya kami sampaikan terima kasih!
            Wassalam (Fajar, Sidoarjo).
Jawaban:
            Salah satu cara Allah meningkatkan kualitas iman hamba-Nya adalah dengan mengujinya, di antaranya dengan menimpakan musibah berupa wabah kepadanya untuk diambil pelajaran. Allah berfirman: “Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun (QS. Al-Mulk, 2).
            Wabah (penyakit menular) adalah salah satu makhluk Allah yang sengaja ditimpakan kepada umat manusia agar diambil hikmahnya. Dalam sebuah hadis shahih riwayat al-Bukhari diterangkan sebagai berikut:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَتْ سَأَلْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الطَّاعُونِ فَأَخْبَرَنِي أَنَّهُ عَذَابٌ يَبْعَثُهُ اللهُ عَلَى مَنْ يَشَاءُ وَأَنَّ اللهَ جَعَلَهُ رَحْمَةً لِلْمُؤْمِنِينَ لَيْسَ مِنْ أَحَدٍ يَقَعُ الطَّاعُونُ فَيَمْكُثُ فِي بَلَدِهِ صَابِرًا مُحْتَسِبًا يَعْلَمُ أَنَّهُ لَا يُصِيبُهُ إِلَّا مَا كَتَبَ اللهُ لَهُ إِلَّا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ شَهِيدٍ
Dari ‘Aisyah ra., istri Nabi saw. berkata; “Aku pernah bertanya kepada Rasulullah saw. tentang masalah tha’un(wabah, penyakit menular), lalu beliau mengabarkan kepadaku bahwa tha’unadalah merupakan adzab (siksaan) yang Allah kirim kepada siapa yang Dia kehendaki, dan sesungguhnya Allah menjadikan hal itu sebagai rahmat bagi orang-orang beriman. Tidak ada seorangpun yang menderita tha’un lalu dia bertahan di tempat tinggalnya dengan sabar dan mengharapkan pahala serta berkeyakinan bahwa dia tidak terkena musibah melainkan karena Allah telah menakdirkannya, maka dia mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mati syahid”(HR. al-Bukhari No.3474).
Hakikat Wabah
Hadis tersebut menjelaskan bahwa terjadinya tha’un (wabah, penyakit menular) adalah merupakan adzab bagi orang-orang yang dikehendaki Allah, yakni menjadi adzab bagi hamba-hamba-Nya yang kafir dan orang-orang yang suka berbuat maksiat atau melanggar aturan Allah. Sebaliknya, Tha’un  bisa menjadi rahmat bagi hamba-hamba Allah yang beriman, yang memiliki kesadaran dan keyakinan bahwa  tha’un merupakan takdir Allah. Bagi orang yang beriman, ketika terjadi tha’un, ia tidak panik, tidak gelisah, tetapi sabar dalam menghadapinya dan pasrah (tawakkal) sepenuhnya kepada Allah. Orang beriman juga berusaha sabar dan tetap tinggal di rumah, melakukan isolasi diri, ikut mencegah terjadinya tular-menular wabah, selanjutnya memperbanyak ibadah, berdzikir, istighfar dan tawakkal serta semakin mendekatkan diri kepada Allah. Sikap dan keyakinan yang demikian inilah yang akan dijamin oleh Allah dengan pahala mati syahid. Jika ia mati karena tha’un itu, ia akan mati syahid, dan jika ia tidak terkena tha’un, lalu ia mati karena faktor lain atau tetap hidup, maka ia dapat pahala seperti mati syahid (Ibn Hajar al-Asqalani, al-Fath al-Bari, X/192-193).

Konsep Islam Atasi Wabah
            Berdasarkan sejumlah hadis shahih, ada beberapa cara atau tindakan yang harus dilakukan dalam mengatasi wabah agar tidak menjalar ke mana-mana:

Pertama, melakukan lockdown, yaitu dengan cara menutup wilayah yang terkena wabah. Nabi saw. bersabda:
إِذَا سَمِعْتُمْ بِالطَّاعُونِ بِأَرْضٍ فَلاَ تَدْخُلُوهَا، وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ بِهَا فَلاَ تَخْرُجُوا مِنْهَا
 "Jika kamu mendengar wabah di suatu wilayah, maka janganlah kalian memasukinya, tetapi jika terjadi wabah di tempat kamu berada, maka jangan keluar atau tinggalkan tempat itu"(HR. Bukhari No. 5728). 
Saat Umar Bin Khattab keluar mau perang melawan Romawi hingga tiba di Saragh, ia mendapatkan info bahwa telah terjadi wabah di Syam. Lalu Umar kembali pulang, dan Abu Ubaidah berkata kepada Umar: “Apakah anda akan lari dari takdir Allah?”. Umar menjawab: “Benar, saya lari dari takdir Allah menuju takdir yang lain” (Ibn al-Muthahar, al-Bad’u Wa al-Tarikh, I/313).
Kedua, melakukan karantina atau isolasi bagi yang sudah positif kena wabah. Hal ini dimaksudkan agar penderita mendapatkan penanganan (pengobatan, penyembuhan) secara khusus dan serius serta tidak menularkan penyakitnya kepada yang lain. Dari Abu Hurairah, Nabi saw. bersabda:
لاَ يُورِدَنَّ مُمْرِضٌ عَلَى مُصِحٍّ
 “Janganlah yang sakit dicampurbaurkan dengan yang sehat”(HR. al-Bukhari No. 5771 dan Muslim No. 5922).

Ketiga, melakukan social distancing, yaitu mengambil jarak, menghindari kedekatan antara satu dengan yang lain, terutama kepada penderita penyakit menular, dan menghindari kerumunan massa yang memungkinkan terjadinya penularan wabah penyakit dari satu orang ke orang lain yang berdekatan. Nabi saw. bersabda:
‏ لاَ تُدِيمُوا النَّظَرَ إِلَى الْمَجْذُومِينَ
Jangan kamu terus menerus melihat orang yang menghidap penyakit kusta.” (HR. Ibn Majah No. 3543). Hadis ini shahih (al-Albani, al-Silsilah al-Shahihah, III/138). Hadis ini memperingatkan agar tidak dekat-dekat dengan orang yang terkena penyakit menular. Dalam hadis lain, Nabi memperingatkan: “Tidak boleh berbuat mudharat (perbuatan yang berbahaya) dan hal yang menimbulkan kemudharatan bagi orang lain” (HR. Malik No. 2758, al-Syafii No. 1096, Ahmad No. 2865, dan Ibn Majah No. 2340). Al-Albani menshahihkan hadis ini (al-Albani, Irwa al-Ghalil, III/408).
            Amru bin Al-Ash ra., ketika menjadi pemimpin menggantikan pendahulunya (Abu Ubaidah bin Jarrah), saat menghadapi wabah, beliau mengatakan: “Wahai manusia, sesungguhnya penyakit ini apabila menimpa maka ia akan bekerja bagaikan bara api maka bentengilah dari penyakit ini dengan berlari ke gunung-gunung, dan berpisah-pisahlah”(Ibn Hajar Al-Asqalani, al-Ishabah Fi Tamyiz al-Shahabah, VII/455 dan Ithaf al-Maharah, VI/183).

Keempat, meningkatkan ketakwaan dengan memperbanyak amal shalih, berdzikir, dan beristighfar. Allah swt. berfirman:
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا  وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ إِنَّ اللَّهَ بَالِغُ أَمْرِهِ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا  
Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar.  Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu (QS. Al-Thalaq, 2-3).
Kelima,berdoa dan berlindung kepada Allah. Nabi mengajarkan beberapa doa untuk menghadapi wabah, di antaranya:

اَللَّهُمَّ اِنِّى اَعُوذُبِك مِنْ جَهْدِ الْبَلاَءِ وَدَرَكِ الشَّقَاءِ وَسُوءِ الْقَضَاءِ وَشَمَاتَةِ الأَعْدَاءِ
Ya Allah, sungguh aku berlindung kepada-Mu dari cobaan yang berat, kesengsaraan yang hebat, takdir yang buruk dan  kegembiraan musuh”(H.R. Al-Bukhari No. 6619).

Keenam, sabar dan tawakkal. Jika sudah berusaha sedemikian rupa tetapi masih terkena, dan akhirnya mati, maka cukup sabar dan pasrah (tawakkal) saja karena menurut sabda Nabi bahwa orang yang mati karena wabah dijamin mati syahid:
‏ الطَّاعُونُ شَهَادَةٌ لِكُلِّ مُسْلِمٍ
Artinya: “Kematian karena wabah adalah mati syahid bagi setiap muslim (yang meninggal karenanya”.(HR Bukhari No.2830 Muslim No.5053).

            Demikian, semoga bermanfaat dan mencerahkan !