Jumat, 26 September 2014

MENDIDIK ANAK BERKARAKTER RASULULLAH SAW


MENDIDIK ANAK BERKARAKTER RASULULLAH SAW[1]




Dr.H.Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I

Pendahuluan
Anak merupakan anugerah Allah yang sangat berharga bagi setiap orangtua. Al-Qur’an menggambarkan anak-anak sebagai ziinatul hayatiddun-ya, hiasan kehidupan dunia (QS. 18 (al-Kahfi), 46). Wajar kiranya jika ada pasangan yang merasa kurang sempurna bahkan kurang berarti hidupnya jika belum dikaruniai anak.
Kebahagiaan orangtua akan semakin lengkap ketika sang anak berprilaku shalih, hormat kepada orang tua, berakhlak mulia, dan berprestasi. Bukan hanya kebanggaan dunia yang dirasakan, tetapi lebih dari itu sang anak akan menjadi investasi yang bernilai tinggi di akhirat nanti. Oleh karena itu, orangtua yang sadar akan penting dan berharganya anak, pasti selalu berharap dan berdoa agar Allah menganugerahkan kepada dirinya anak yang shalih. Hal ini pernah dilakukan Nabi Ibrahim as dengan doanya: Rabbi hablii minashshaalihiin (Wahai Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang shalih). (QS. 37 (al-Shaffaat), 100).
Bagaimana jika anak yang dimilikinya ternyata durhaka kepada orangtua, menyakitkan hati, dan malah mempermalukannya? Tentu tak seorang pun yang berharap demikian. Karena itu, Allah Swt memperingatkan kepada semua orangtua agar berhati-hati dalam mendidik anak. Allah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu”... (QS. 66 (At-Tahrim), 6)
 Bagaimana caranya?
Marilah kita didik anak-anak kita sesuai dengan petunjuk Allah dan Rasul-Nya, dengan menjadikan Nabi Muhammad Saw sebagai model atau teladan yang sempurna untuk anak-anak kita, agar mereka kelak memiliki akhlak (karakter) yang indah dan terpuji seperti yang telah dicontohkan oleh Rasulullah saw.

Mempersiapkan kelahiran anak
             Ketika seseorang sudah memiliki pasangan (suami-isteri), biasanya yang diharapkan adalah kapan punya momongan(anak). Momentum inilah yang sebaiknya dimanfaatkan betul untuk mengkondisikan diri (suami-isteri) agar kelak mendapatkan keturunan yang baik, sehat, dan shalih. Caranya? Masing-masing harus bisa mengendalikan diri untuk tidak melakukan hal-hal yang tidak baik, hal-hal yang tidak diridhai Allah swt. Tidak suka marah-marah, tidak berbicara kotor, tidak berbuat maksiat, dan tidak melakukan suatu dosa. Sebaliknya, hendaknya banyak mendekatkan diri kepada Allah Swt dengan suka beribadah kepadaNya. Shalat lima waktu diusahakan dengan berjamaah, shalat sunnah rawatib, shalat tahajjud, shalat dhuha, dan lain-lain. Gemar berpuasa sunnah, seperti Senin-Kamis. Gemar bersedekah, membantu orang lain, meringankan beban orang lain, terutama yang sangat membutuhkannya. Gemar berdzikir dan membaca al-Qur’an setiap hari, dan yang tidak kalah pentingnya adalah selalu berdoa, memohon kepada Allah agar dikarunia anak yang baik, sehat dan shalih. Di antara doa yang bisa dibaca adalah doa Nabi Zakaria as:
رَبِّ هَبْ لِي مِنْ لَدُنْكَ ذُرِّيَّةً طَيِّبَةً إِنَّكَ سَمِيعُ الدُّعَاءِ
Wahai Tuhan, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar (mengabulkan) doa (QS. 3 (Ali Imran), 38).
Selain mohon diberikan anak yang baik, setiap hendak melakukan hubungan suami-isteri, hendaknya berdoa kepada Allah dengan membaca:  Bismillaah, Allaahumma jannibnasysyaithaan wajannibisysyaithaan maa razaqtanaa,  Dengan nama Allah, Ya Allah, jauhkanlah kami (suami-isteri) dari gangguan setan, dan jauhkanlah setan terhadap apa (anak) yang Engkau berikan kepada kami. (HR. Al-Bukhari dari Ibn ‘Abbas ra)
            Jika seorang isteri sudah hamil, maka suami-isteri (calon bapak-ibu) harus sering mendoakannya, sering membacakan al-Qur’an, dan sering mengajaknya untuk melakukan berbagai amal shalih, terutama bila masa kelahirannya sudah dekat. Dalam hadis riwayat Ibn al-Suni[2]bahwasanya pada saat Fatimah hendak melahirkan, Rasulullah Saw memerintahkan kepada Ummu Salamah dan Zainab binti Jahsy untuk membacakan ayat al-Kursi (al-Baqarah, ayat 255), surat al-A’raf ayat 54, dan surat-surat al-Mu’awwidzataini(al-Falaq dan al-Nas) di dekat Fatimah. Riwayat hadis ini memang lemah, namun pengaruh positif memperdengarkan al-Qur’an terhadap orang yang mendengarkannya telah terbuktik secara ilmiah[3]. Karena itu, surat yang dibaca boleh surat atau ayat apa saja yang terdapat dalam al-Qur’an, tidak harus ayat-ayat yang disebutkan dalam hadis tersebut[4].

Menyambut kelahiran anak
            Hadirnya seorang anak di tengah-tengah keluarga merupakan anugerah yang tak terhingga besarnya. Karena itu, sudah selayaknya bagi keluarga yang mendapatkannya benar-benar mensyukurinya atas anugerah tersebut.
Rasulullah saw bersabda: “Tidaklah Allah memberikan suatu nikmat pada seorang hamba, lalu hamba tersebut mengucapkan: “Alhamdulillaah” (segala puji hanya bagi Allah), melainkan apa yang ia ucapkan tersebut lebih utama dari nikmat yang ia dapatkan”.(HR. Ibn Majah dari Anas ra).[5]
            Dalam menyambut kelahiran anak, ada beberapa amalan yang telah diajarkan oleh Rasulullah Saw, di antaranya: (1). Melakukan tahni’ah (mengucapkan selamat dan ikut gembira serta bersyukur) atas lahirnya seorang anak; (2). Mengumandangkan adzan di dekat telinga sang bayi yang baru lahir; (3). Melakukan tahnik(mengolesi bibir bayi dengan kurma yang sudah dilembutkan); (4). Melaksanakan aqiqah(menyembelih seekor hewan kambing) pada hari ketujuh; (5). Tasmiyah(memberikan nama si bayi); (6). Tahliq (Mencukur gundul rambut kepala bayi); dan (7). Khitan.     
            Pertama, tahni’ah(ucapan selamat) adalah lambang ikut bersuka-cita dan bersyukur atas nikmat atau anugerah yang telah diterima seseorang. Sesuai sabda Nabi, bahwa ucapan syukur itu lebih utama daripada nikmat yang telah diterima (HR. Ibn Majah dari Anas ra). Allah telah berjanji: “Sungguh apabila kamu bersyukur, maka Allah akan menambahkan lagi nikmat untukmu”.[6] 
            Kedua, mengumandangkan adzan pada telinga bayi. Diriwayatkan dari Abu Rafi’, katanya: “Aku melihat Rasulullah Saw mengumandangkan adzan pada telinga Hasan bin Ali saat Fatimah baru saja melahirkannya (HR. Al-Tirmidzi).[7]Sebagian ulama menilai bahwa hadis tentang adzan pada bayi yang baru lahir tersebut da’if (lemah)[8]. Menurut Ibn al-Qayyim, hikmah dikumandangkannya adzan pada di bayi yang baru lahir adalah mengandung harapan agar mula-mula suara yang masuk ke dalam telinga si bayi ini adalah kalimat-kalimat adzan, yang di dalamnya terdapat keagungan dan kebesaran Allah, kalimat syahadat tauhid yang menjadi syarat utama seseorang masuk Islam[9]. Mengingat faidahnya cukup besar, meski sebagaian ulama melemahkannya, maka hadis tersebut dapat diamalkan secara longgar, dalam artian di dekat telinga si bayi tidak harus dibacakan kalimat adzan, tetapi bisa dibacakan kalimat-kalimat tauhid atau ayat-ayat al-Qur’an[10]. Karena, jika tidak, maka ancaman gangguan setan terhadap si bayi akan sulit dihindari. Nabi Saw bersabda: Tiada seorang manusia yang lahir kecuali setan akan menyentuhnya saat kelahirannya, hingga ia manangis karena sentuhannya itu, kecuali Maryam dan puteranya. Abu Hurairah menawarkan: “jika mau bisa dibacakan surat Ali Imran ayat 36”, innii u’iidzuhaa bika wadzurriyyatahaa minasy syaithaanirrajim (sesungguhnya aku memohonkan perlindungan kepadaMu untuknya (bayi) dan keturunannya dari gangguan setan yang terkutuk. (HR. Al-Bukhari dari Abu Hurairah).
            Ketiga, tahnik, mengunyah sesuatu seperti kurma kemudian memasukkannya ke dalam mulut si bayi sembari mengurut langit-langitnya dengan lembut. Hal ini dimaksudkan agar si bayi memiliki kekuatan terutama pada bagian mulutnya yang nantinya akan dipakai untuk menetek air susu dari ibunya dan memakan lainnya. Sebaiknya yang melakukan tahnik ini adalah orang-orang yang dituakan, seperti ulama, kyai, ustad atau yang lainnya. Diriwayatkan bahwa Asma ra pernah datang dengan membawa bayinya yang baru lahir di hadapan Rasulullah Saw. Saat itu Nabi Saw men-tahnik-nya dengan buah kurma, kemudian mendoakannya untuk keberkahan bagi bayinya (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
            Keempat, aqiqahyaitu menyembelih hewan sembelihan (kambing) pada hari ketujuh. Idealnya, jika bayi yang lahir itu laki-laki maka hewan yang disembelih adalah dua ekor kambing, sedangkan untuk bayi perempuan cukup satu ekor kambing[11]. Namun, jika tidak tersedia dana yang cukup, bayi laki-laki dapat diaqiqahi dengan seekor kambing saja. Hal ini pernah dilakukan Nabi Saw terhadap dua cucunya (Hasan-Husen), yang saat itu masing-masing dengan aqiqah seekor kambing[12]. Menurut Ibn al-Qayyim, aqiqah sama halnya dengan berkorban untuk mendekatkan diri kepada Allah, melatih diri untuk bersikap pemurah. Memberikan jamuan sama dengan sedekah yakni upaya mendekatkan diri kepada Allah swt, dan aqiqah adalah membebaskan bayi dari rintangan yang menghambatnya untuk memberi syafaat kepada orangtuanya, atau dari halangan untuk memperoleh syafaat dari orangtuanya[13]. Nabi Saw bersabda: “Setiap anak tergadai dengan aqiqahnya, pada hari ketujuh (dari kelahirannya), disembelihkan hewan aqiqahnya, kemudian dicukur dan diberi nama” (HR. Ahmad dan Abu Dawud dari Samurah bin Jundub)[14].
            Kelima, tasmiyah, memberi nama kepada anak pada hari ketujuh. Dalam Islam, nama termasuk sesuatu yang sangat penting. Karena itu, tidak boleh memberi nama anak dengan nama yang jelek, atau sembarang nama. Di antara nama-nama yang baik adalah Abdullah dan Abdurrahman.[15]Sebutan nama yang diucapkan kepada pemiliknya bisa berpengaruh positif. Bisa mengandung doa harapan bagi pemilik nama. Misalnya, ketika seseorang disebut namanya “Teguh”, maka harapannya bagi sang pemilik nama menjadi orang yang teguh pendirian, teguh iman.[16]
            Keenam, tahliq, mencukur gundul kepala bayi. Mencukur rambut sampai gundul adalah syariat yang disunnahkan kepada setiap bayi yang baru lahir, yaitu pada hari ketujuh. Setelah seluruh rambut bayi dicukur kemudian ditimbang, dan beratnya dikonversikan dengan harga perak atau emas untuk disedekahkan kepada fakir-miskin. Dalam hadis riwayat al-Tirmidzi dari Ali bin Abi Thalib disebutkan bahwa Rasulullah Saw mengaqiqahi al-Hasan dengan seekor kambing lalu beliau bersabda: “Wahai Fatimah, cukurlah rambutnya dan bershadaqahlah dengan perak seberat rambutnya”.[17]
            Ketujuh, khitan, yaitu memotong kulit yang menutupi alat kelamin laki-laki (penis). Adapun perempuan, memotong sedikit saja dari ujung klitoris (kelentitnya). Dalam Islam, khitan merupakan salah satu media penyucian diri dan bukti ketundukan kepada ajaran agama. Rasulullah Saw bersabda: “Kesucian (fitrah) itu  ada lima, yaitu: khitan, mencukur bulu kemaluan, mencabut bulu ketiak, memendekkan kumis, dan memotong kuku (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah). Di antara hikmah khitan adalah meminimalisasi terjadinya kanker pada kemaluan. Kanker banyak terjadi pada orang-orang yang tidak dikhitan, karena sempitnya lubang yang terdapat pada kemaluan mereka. Waktu khitan, jika memungkinkan bisa dilakukan pada hari ketujuh[18]. Jika belum bisa dapat dilaksanakan pada saat sebelum baligh.

Menanamkan kebiasaan baik pada anak
          Mengajari anak untuk melakukan sesuatu bisa dilakukan dengan berbagai cara. Misalnya dengan pemberitahuan, nasihat atau tutur kata yang baik, keteladanan, dan bisa juga dengan mengajak bersama-sama melakukan sesuatu dengan bimbingan dan keteladanan orangtua. Yang terakhir inilah biasanya yang paling ampuh.
            Sekurang-kurangnya ada lima kebiasaan emas (the five golden habits) yang bisa ditanamkan pada anak, yaitu:
1.    Kebiasaan shalat. Orang tua harus memberi contoh bagaimana cara shalat yang baik dan benar. Selanjutnya, mengajarinya, dan kemudian mengajaknya shalat berjamaah. Sesekali anak-anak diajak bepergian dari masjid ke masjid untuk membiasakan shalat berjamaah. Secara perlahan-lahan, anak diberi pengertian tentang keutamaan shalat berjamaah, shalat sunnah rawatib, shalat sunnah dhuha, shalat sunnah tahajjud, dan lain-lain. Kalau sudah mulai remaja (SMP-SMA), pengertian tentang hikmah shalat perlu disampaikan agar anak semakin dapat merasakan betapa besar manfaat dan pentingnya shalat bagi kehidupan manusia, baik dunia maupun akhirat.
Allah Swt berfirman: “Dirikanlah shalat, karena sesungguhnya shalat itu dapat mencegah dari perbuatan keji dan munkar, dan dzikr kepada Allah (shalat) itu adalah lebih besar (lebih penting dari segalanya), dan Allah itu mengetahui apa yang kamu perbuat ”. QS. 29 (al-Anakabut), 45. Lebih lanjut, anak difahamkan bahwa shalat itu adalah sarana komunikasi terbaik antara kita dengan Allah. Shalat itu adalah media komunikasi terbaik antara Nabi Saw dengan Allah. Bilamana Nabi mengalami kesulitan, maka Nabi Saw selalu menghadap Allah dengan cara shalat[19].
2.    Kebiasaan beradab Islami. Orang tua harus mengajari anak-anaknya bagaimana berprilaku yang baik dan terpuji. Misalnya keluar rumah, diajari dan diberi contoh dengan melangkahkan kaki kanan dulu dan membaca doa. Begitu pula saat masuk rumah. Ketika diberi seseorang, suka mengucapkan kata alhamdulillah dan terimakasih. Ketika melakukan kesalahan pada orang lain, gemar meminta maaf. Ketika ada orang kesusahan atau butuh bantuan, berusaha untuk dapat menolongnya. Mengawali segala perbuatan baik dengan membaca basmalah, mengingat Allah dan mohon pertolongan-Nya. Hormat kepada orangtua, guru, dan siapa pun yang lebih tua, hormat kepada sesama, dan sayang kepada adik-adik atau yang lebih muda. Nabi Saw bersabda: “Barangsiapa tidak menyayangi yuniornya, dan tidak menghormati seniornya, maka ia tidak termasuk umatku” (HR. Abu Dawud dari Ibn al-Sarh). Selanjutnya, menanamkan pengertian dan keyakinan bahwa tuntunan Islam itu sempurna, dan mengajarkan umatnya untuk berprilaku baik dan terpuji kepada siapa saja. Nabi Saw bersabda: “Orang yang paling sempurna di antara kalian adalah orang yang paling bagus akhlaknya”.[20]
3.    Kebiasaan bersedekah. Memberi pengertian kepada anak bahwa hidup yang lebih baik adalah suka memberi, suka bersedekah, suka membantu orang yang lemah. Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah[21]. Memberi pengertian kepada anak bahwa apa saja yang kita miliki ini sebenaranya hanyalah titipan Allah, yang harus dijaga dan dipelihara serta didayagunakan dengan baik dan benar. Salah satu perintah Allah berkenaan dengan harta yang kita punya adalah menyedekahkan sebagiannya (QS.63 (al-Munafiqun,10). Dari  Abu Hurairah ia berkata; Rasulullah Saw bersabda: "Tidaklah seorang hamba memasuki waktu pagi pada setiap harinya, kecuali ada dua malaikat yang turun. Salah satunya memohon: 'Ya Allah, berikanlah ganti bagi dermawan yang menyedekahkan hartanya.' Dan satu lagi memohon: 'Ya Allah, musnahkanlah harta si bakhil”(HR. Al-Bukhari dan Muslim). Untuk membiasakannya, orangtua dapat memberi contoh dan mengajak anak-anak ke masjid lalu memasukkan uang ke dalam kotak infak; mengajak anak-anak ke suatu tempat, panti asuhan atau tempat-tempat mangkalnya anak-anak miskin, lalu memberinya sedekah, baik berupa uang atau nasi bungkus kepada mereka. Anak ditanamkan kesadaran untuk sayang dan perhatian kepada sesama. Anak-anak diberikan kisah-kisah yang menarik para dermawan, hingga menimbulkan simpati. Anak dikenalkan bahwa Nabi sendiri adalah orang yang ahli sedekah.[22]
4.    Kebiasaan membaca al-Qur’an. Orangtua hendaknya menanamkan keyakinan kepada anak bahwa al-Qur’an itu bacaan mulia dan suci. Cara membacanya harus baik dan benar sesuai dengan kaidah tajwid. Pahala besar akan diberikan kepada orang yang suka membaca al-Qur’an. Setiap hurufnya dapat pahala 10 kebaikan[23]. Selain itu bisa dikenalkan kepada anak mengenai keutamaan-keutamaan yang lain, seperti  besarnya manfaat bagi kesehatan manusia, fisik maupun rohani bagi yang suka membaca maupun mendengarkannya. Selanjutnya, orangtua memberikan contoh di hadapan anak atau di dekat anak dengan membiasakan baca al-Qur’an setiap harinya. Nabi Saw menganjurkan kepada sahabatnya agar membiasakan baca al-Qur’an itu satu juz perhari, sehingga setiap bulan dapat mengkhatamkannya (HR. Abu Dawud dari Abdullah bin ‘Amr).
5.    Kebiasaan menghadiri pengajian. Jika dalam Islam ada syariat jum’atan seminggu sekali, salah satu maknanya adalah minimal seminggu sekali kita hendaknya mendengarkan pengajian. Hal ini sangat penting, agar kita selalu diingatkan, digairahkan untuk selalu berbuat yang baik dan benar. Sejak dini anak perlu diperkenalkan manjelis taklim, dan dimotivasi agar gemar menghadiri pengajian. Nabi Saw pernah mengatakan bahwa orang yang gemar menghadiri majlelis ilmu itu akan dimudahkan masuk ke dalam surga.[24]Untuk membiasakan ini, orangtua bisa mengajak anak-anak untuk bersama-sama hadir dalam majelis-majelis pengajian yang biasanya digelar pada Ahad pagi, di masjid-masjid atau tempat-tempat pengajian lainnya.
Lima kebiasaan emas tersebut, bila berhasil ditanamkan pada anak, maka kelak mereka akan menjadi hamba Allah yang shalih, dekat kepada Allah, mencintai Nabi Saw, hormat kepada orangtua, dan cinta serta sayang  kepada sesama.



[1]Makalah disampaikan pada acara Seminar “Prophetic Parenting, Mendidik Anak Berkarakter Rasulullah Saw”, di Gedung Perpustakaan BI Surabaya pada Sabtu, 27 September 2014.
[2] Riwayat hadis ini sanadnya lemah. Al-Nawawi, al-Adzkar(Bairut: Dar al-Fikr, t.th), 244.
[3] Dr.Al-Qa>d}i>, dengan penelitiannya di Florida Amerika Serikat, menemukan adanya pengaruh al-Qur’an terhadap kesehatan manusia.  Ia mengatakan bahwa ada pengaruh menenangkan hingga mencapai 97 % akibat mendengarkan al-Qur’an. Pengaruh tersebut bahkan terlihat dalam bentuk perubahan-perubahan fisiologis yang tampak melalui berkurangnya tingkat ketegangan syaraf. 'Abu> al-Fida>' Muh}ammad ‘Izzat Muh}ammad ‘A<rif, ‘A<lij Nafsaka Bi al-Qur’a>n (Kairo: Da>r al-Fad}i>lah, 2009), 12. Islah Gusmian, Ruqyah Terapi N'Abi Saw Menangkal Gangguan Jin, Sihir dan Santet (Jogjakarta: Galangpress, 2005), 76. 
[4] Jika mendengarkan musik klasik dipercaya dapat mempengaruhi kecerdasan intelektual (IQ) dan kecerdasan emosi (EQ) seseorang, bacaan Al-Qur'an tentu lebih dari itu. Selain mempengaruhi IQ dan EQ, bacaan Al-Qur’an dapat mempengaruhi kecerdasan spiritual (SQ). Salman Rusydie Anwar, Sembuh dengan Al-Qur’an (Jogjakarta: Sabil, 2010 M), 90.
[5] Al-Albani menilai hadis tersebut hasan. Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, II (Bairut: Dar al-Fikr, t.th),  1250.
[6] QS. 14 (Ibrahim), 7.
[7] Imam al-Tirmidzi menilai hadis ini hasan-shahih. Sedangkan al-Albani menilainya hasan. Al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, IV/97.
[8] Syu’aib al-Arnout dalam catatan Musnad Ahmad bin Hanbal, VI/ 391.
[9] Ibn Qayyim al-Jauziyah, Tuhfat al-Maulud, I/31.
[10] Prof.Dr. Nurhayati dari Malaysia dalam Seminar Konseling dan Psikoterapi Islam di Malaysia pada tahun 1997 mengatakan bahwa Al-Qur’an dapat memberikan pengaruh besar jika diperdengarkan kepada bayi. Menurut penelitiannya, bayi yang berusia 48 jam yang kepadanya diperdengarkan ayat-ayat Al-Qur’an dari tape recorder menunjukkan respons tersenyum dan menjadi lebih tenang. Anwar, Sembuh dengan Al-Qur’an,  90.
[11] Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, II/1056. Al-Albani menshahihkannya.
[12] HR. Abu Dawud dari Ibn Abbas ra. Al-Albani menshahihkannya. Sunan Abu Dawud, III/66.
[13] Ibn Qayyim al-Jauziyah, Zad al-Ma’ad, II/ 296.
[14] Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, III/66. Ahmad, Musnad Ahmad, XXXIII/271.
[15] Nabi Saw bersabda: “Nama-nama yang paling disukai oleh Allah adalah Abdullah dan Abdurrahman”. Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, IV/443. Al-Albani menshahihkannya.
[16] Menurut Masaru Emoto, air dapat berfungsi mendengar, merespons dan menyimpan serta menyalurkan.  Ia telah melakukan percobaan mengenai pengaruh suara terhadap air. Ia menemukan bahwa medan elektromagnetik dari molekul air juga terpengaruh oleh suara. Ada gelombang suara tertentu yang memberi pengaruh pada molekul air lalu membuatnya lebih dinamis dan teratur. Masaru Emoto, The True Power of Water, terj. Azam Translator (Bandung: MQ Publishing, 2006). Karena sebagian besar tubuh manusia terdiri dari air, maka setiap suara yang terdengar oleh manusia dapat berpengaruh kepada dirinya. Ketika nama yang baik disebut, dengan suara yang indah, maka ia bisa menjadi doa bagi yang memiliki nama itu.
[17] Al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, IV/99. Al-Albani meng-hasan-kannya
[18]Nabi Saw bersabda: “Seorang anak (bayi) tergadai dengan aqiqahnya, disembelihkan hewan aqiqah pada hari ketujuh, dicukur rambutnya, dan ditumpahkan darah (dikhitan). (HR. Abu Dawud dari Samurah) al-Albani men-shahih-kannya. Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, III/65.
[19] HR. Abu Dawud dari Hudzaifah ra. Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, I/507. Al-Albani men-shahih-kannya.
[20] HR. Al-Bukhari dari Abdullah bin Umar. Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, XV/222.
[21] Nabi Saw bersabda: “Tangan di atas itu lebih baik daripada tangan di bawah. Tangan di atas adalah orang yang ahli sedekah, sedangkan tangan di bawah adalah orang yang suka minta-minta. (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Ibn Umar ra.)
[22]Dari Ibnu Abbas ra berkata, “Rasulullah Saw adalah manusia yang paling dermawan, dan kondisi beliau paling dermawan adalah di bulan Ramadhan di saat bertemu Jibril ‘Alaihis salam, di mana Jibril ‘alaihis salam sering bertemu beliau pada setiap malam dari bulan Ramadhan, lalu Jibril mengajarkannya al-Qur`an, dan sungguh Rasulullah Saw adalah manusia paling (cepat) dermawan dengan kebaikan daripada angin yang berhembus.” (HR. al-Bukharidan  Muslim)
[23] Nabi Saw bersaabda: “Barangsiapa membaca satu huruf al-Qur’an maka ia akan mendapatkan pahala 10 kebaikan. Setiap kebaikan akan dilipatgandakan pahalanya menjadi 10 kali lipat. Aku tidak mengatakan bahwa alif-laam-miim itu satu huruf, tetapi alif itu satu huruf, laam itu satu huruf dan miim itu satu huruf. Al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, V/175.
[24] Barang siapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan jalan ke surga baginya. Tidaklah sekelompok orang berkumpul di suatu masjid (rumah Allah) untuk membaca Al Qur'an, melainkan mereka akan diliputi ketenangan, rahmat, dan dikelilingi para malaikat, serta Allah akan menyebut-nyebut mereka pada malaikat-malaikat yang berada di sisi-Nya. Barang siapa yang ketinggalan amalnya, maka nasabnya tidak juga meninggikannya.'  (HR. Muslim dari Abu Hurairah).

DAFTAR PUSTAKA
Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, III/65.
__________, Sunan Abi Dawud, I/507.
__________, Sunan Abu Dawud, III/66.
__________, Sunan Abi Dawud, IV/443.  
Ahmad, Musnad Ahmad bin Hanbal, XXXIII/271.
______, Musnad Ahmad bin Hanbal, VI/ 391.
Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, XV/222.
Al-Nawawi. al-Adzkar . Bairut: Dar al-Fikr, t.th.
Anwar, Salman Rusydie. Sembuh dengan Al-Qur’an.  Jogjakarta: Sabil, 2010.
‘A<rif, 'Abu> al-Fida>' Muh}ammad ‘Izzat Muh}ammad.‘A<lij Nafsaka Bi al-Qur’a>n. Kairo: Da>r al-Fad}i>lah, 2009.
Emoto,  Masaru. The True Power of Water, terj. Azam Translator (Bandung: MQ Publishing, 2006).   
Gusmian, Islah. Ruqyah Terapi Nabi Saw Menangkal Gangguan Jin, Sihir dan Santet. Jogjakarta: Galangpress, 2005. 
Ibn Majah. Sunan Ibn Majah, II. Bairut: Dar al-Fikr, t.th.
________. Sunan Ibn Majah, II/1056.  
al-Jauziyah, Ibn Qayyim. Tuhfat al-Maulud, I/31.
_________, Zad al-Ma’ad, II/ 296.
 Al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, IV/99. Al-Albani meng-hasan-kannya
_________, Sunan al-Tirmidzi, V/175.
_________, Sunan al-Tirmidzi, IV/97.



Rabu, 17 September 2014

HUKUM KURBAN PATUNGAN DAN ARISAN


HUKUM KURBAN PATUNGAN & ARISAN

Oleh:


DR.H.Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I

Pertanyaan:
Bagaimana hukum kurban dengan cara berserikat atau patungan? Bolehkah kurban sapi untuk tiga, lima atau enam orang? Bagaimana dengan kurban patungan untuk seekor kambing? Bolehkan? Bagaimana kurban dengan cara arisan? Mohon penjelasan dilengkapi dengan dalil-dalilnya !

Jawab:
Boleh saja berkurban seekor sapi dengan cara patungan atau iuran atau dengan cara ditanggung bersama antara tiga orang, empat orang atau lima orang. Namun, untuk kurban seekor sapi dengan cara patungan ini, dibatasi paling banyak tujuh orang sebagai pesertanya. Dari tujuh orang ini, boleh terdiri dari satu keluarga (keluarga sendiri) atau dengan teman-teman atau orang lain yang bukan termasuk keluarganya. Semuanya sah selama hewan yang dijadikan kurban itu berupa seekor sapi atau unta.
Yang dimaksud dengan patungan berkurban adalah kesepakatan beberapa orang  untuk membeli seekor hewan kurban, kemudian hewan kurban tersebut disembelih atas nama  mereka semua dengan niat berkurban. Hewan kurban tersebut (misalnya seekor sapi dengan harga Rp.15.000.000;) mereka beli dengan cara iuran atau patungan sehingga kepemilikan atas hewan kurban itu menjadi milik bersama (الْمِلْكُ الْمُشْتَرَكُ). Jika yang ikut dalam patungan kurban itu sebanyak 3 orang (masing-masing Rp. 5.000.000;), maka kepemilikan hewan kurban bagi masing-masing anggota adalah 1/3 hewan kurban tersebut, jika yang berpatungan 5 orang (masing-masing Rp.3.000.000;) berarti kepemilikan masing-masing 1/5, dan jika yang berpatungan 7 orang(masing-masing 2.150.000;) berarti kepemilikan masing-masing 1/7 dan seterusnya. Berkurban dengan cara patungan seperti ini hukumnya sah selama hewan yang dikurbankan adalah seekor sapi, dan anggota yang berpatungan tidak lebih dari 7 (tujuh) orang. Dalil yang menunjukkan keabsahannya adalah beberapa hadis berikut ini:
 عَنْ ابْنِ جُرَيْجٍ أَخْبَرَنِي أَبُو الزُّبَيْرِ أَنَّهُ سَمِعَ جَابِرَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ اشْتَرَكْنَا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْحَجِّ وَالْعُمْرَةِ كُلُّ سَبْعَةٍ فِي بَدَنَةٍ فَقَالَ رَجُلٌ لِجَابِرٍ أَيُشْتَرَكُ فِي الْبَدَنَةِ مَا يُشْتَرَكُ فِي الْجَزُورِ قَالَ مَا هِيَ إِلَّا مِنْ الْبُدْنِ وَحَضَرَ جَابِرٌ الْحُدَيْبِيَةَ قَالَ نَحَرْنَا يَوْمَئِذٍ سَبْعِينَ بَدَنَةً اشْتَرَكْنَا كُلُّ سَبْعَةٍ فِي بَدَنَةٍ
Dari Ibnu Juraij telah mengabarkan kepadaku Abu Zubair bahwa ia mendengar Jabir bin Abdillah berkata; “Kami bersekutu (patungan) bersama Nabi Saw di dalam haji dan umrah, yakni tujuh orang berkurban seekor badanah (unta  yang  disiapkan untuk kurban saat haji) atau seekor Sapi.” Kemudian seorang laki-laki bertanya kepada Jabir, “Bolehkah bersekutu (patungan) dalam Jazur(hewan kurban yang sudah siap disembelih) sebagaimana bolehnya bersekutu dalam badanah(unta  yang  disiapkan untuk kurban saat haji) atau sapi?” Jabir menjawab, “Jazur itu sudah termasuk badanah.” Jabir juga turut serta dalam peristiwa Hudaibiyah. Ia berkata, “Di hari itu, kami menyembelih tujuh puluh ekor badanah. Setiap tujuh orang dari kami bersekutu untuk kurban seekor Badanah.” (H.R. Muslim).
Hadis ini menjelaskan bahwa berkurban seekor unta atau sapi bisa dilakukan dengan patungan sampai dengan tujuh orang. Badanah bermakna unta atau sapi yang telah digemukkan (المسمنة) dan disiapkan untuk dikurbankan dalam Haji, sedangkan Jazur bermakna unta yang disiapkan untuk disembelih. Setiap Badanah  mestilah Jazur.
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ نَحَرْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَامَ الْحُدَيْبِيَةِ الْبَدَنَةَ عَنْ سَبْعَةٍ وَالْبَقَرَةَ عَنْ سَبْعَةٍ
Dari Jabir bin Abdullah ia berkata; “Kami pernah menyembelih kurban bersama Rasulullah Saw di tahun perjanjian Hudaibiyah, untuk kurban seekor unta atau seekor sapi, kami bersekutu tujuh orang.” (H.R. Muslim)
عَنْ عَبَايَةَ بْنِ رِفَاعَةَ عَنْ جَدِّهِ رَافِعِ بْنِ خَدِيجٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِذِي الْحُلَيْفَةِ مِنْ تِهَامَةَ فَأَصَبْنَا غَنَمًا وَإِبِلًا فَعَجِلَ الْقَوْمُ فَأَغْلَوْا بِهَا الْقُدُورَ فَجَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَمَرَ بِهَا فَأُكْفِئَتْ ثُمَّ عَدَلَ عَشْرًا مِنْ الْغَنَمِ بِجَزُورٍ
Dari ‘Abayah bin Rifa’ah dari kakeknya, Rafi’ bin Khadij ra  berkata; “Kami bersama Nabi Saw tiba di Dzul Hulaifah dari Tihamah lalu kami mendapatkan kambing dan unta (sebagai harta rampasan perang). Lalu orang-orang bersegera  menyembelih hewan-hewan tersebut hingga memenuhi kuali besar. Kemudian Rasulullah Saw datang dan memerintahkan agar kuali tersebut ditumpahkan isinya. Kemudian beliau membagi rata dengan menyamakan  sepuluh kambing sama dengan satu ekor unta“(H.R. al-Bukhari)
عن ابن عباس قال : كنا مع النبي صلى الله عليه و سلم في سفر قحضر النحر فاشتركنا في البقرة سبعة وفي البعير سبعة أو عشرة
Dari Ibnu Abbas beliau berkata; kami  bersama Rasulullah Saw dalam sebuah perjalanan. Kemudian tiba waktu penyembelihan. Maka kami berserikat tujuh orang untuk sapi dan tujuh atau sepuluh untuk unta. (H.R. Ibnu Hibban)
 Riwayat-riwayat tersebut di atas menjelaskan bahwa jumlah maksimal untuk patungan sapi itu tujuh orang, sedangkan untuk unta bisa tujuh atau sepuluh orang. Hanya saja jumhur ulama memandang hadis-hadis yang menerangkan jumlah maksimal tujuh orang untuk seekor unta itu lebih kuat dari riwayat-riwayat yang menjelaskan sepuluh orang, karena riwayat yang menerangkan jumlah maksimal sepuluh  dipandang ada masalah dari sisi ketelitian sebagian perawinya. As-Syaukani yang menshahihkan riwayat-riwayat yang menerangkan jumlah maksimal sepuluh orang berusaha mengkompromikan dengan menjelaskan; Jika unta itu disiapkan untuk kurban bagi orang yang berhaji (unta sebagai Al-hadyu/dam) maka jumlah maksimal yang boleh patungan adalah tujuh orang.  Adapun jika unta itu digunakana untuk kurban selain yang berhaji (unta sebagai Udh-hiyah) maka jumlah maksimalnya adalah sepuluh orang (Syams al-Haq al-Adzim al-Abadi, Aun al-Ma’bud, VII/361).
Beda dengan korban seekor kambing, maka ia tidak disyariatkan (tidak dibolehkan) dengan cara berpatungan antara satu orang dengan orang lain, dari teman-temannya. Misalnya korban seekor kambing untuk sepuluh orang, untuk satu kelas, untuk satu RT. Namun demikian, jika korbannya itu dari satu keluarga, maka seekor kambing dapat dimaksudkan untuk dirinya dan keluarganya, berapa pun jumlah anggota keluarganya. Al-Syaukani bahkan membolehkan untuk semua keluarganya hingga 100 orang lebih (al-Syaukani, Nail al-Authar, V/182).
Ketidak bolehan kurban dengan cara patungan untuk seekor kambing ini,  dikarenakan tidak adanya nash yang menunjukkan bolehnya patungan untuk seekor kambing sebagaimana bolehnya patungan untuk hewan kurban berupa unta dan sapi. Nash yang ada, pelaksanaan kurban dengan kambing di masa Rasulullah Saw dan shahabat adalah satu kambing untuk satu orang, tanpa patungan. Namun demikian, kurban seekor kambing dapat dilakukan oleh seseorang dan dimaksudkan untuk semua anggota keluarganya.  Al-Bukhari meriwayatkan:
 أَبُو عَقِيلٍ زُهْرَةُ بْنُ مَعْبَدٍ عَنْ جَدِّهِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ هِشَامٍ وَكَانَ قَدْ أَدْرَكَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَذَهَبَتْ بِهِ أُمُّهُ زَيْنَبُ بِنْتُ حُمَيْدٍ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ بَايِعْهُ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هُوَ صَغِيرٌ فَمَسَحَ رَأْسَهُ وَدَعَا لَهُ وَكَانَ يُضَحِّي بِالشَّاةِ الْوَاحِدَةِ عَنْ جَمِيعِ أَهْلِهِ
Abu Uqail Zuhraj bin Ma’bad dari kakeknya, Abdullah bin Hisyam, yang mana dia pernah bertemu Nabi Saw, ibunya, Zainab binti Muhammad, pernah membawanya kepada Rasulullah Saw dan berujar; ‘Wahai Rasulullah, tolong bai’atlah dia.’ Lantas Nabi Saw bersabda: “dia masih kecil!” Maka Nabi mengusap kepalanya. Adalah Abdullah bin Hisyam  menyembelih satu kambing untuk semua keluarganya. (H.R. Bukhari)
At-Tirmidzi juga meriwayatkan;
 عُمَارَةُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ قَال سَمِعْتُ عَطَاءَ بْنَ يَسَارٍ يَقُولُ سَأَلْتُ أَبَا أَيُّوبَ الْأَنْصَارِيَّ كَيْفَ كَانَتْ الضَّحَايَا عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ كَانَ الرَّجُلُ يُضَحِّي بِالشَّاةِ عَنْهُ وَعَنْ أَهْلِ بَيْتِهِ فَيَأْكُلُونَ وَيُطْعِمُونَ حَتَّى تَبَاهَى النَّاسُ فَصَارَتْ كَمَا تَرَى
Umarah bin Abdullah berkata; Aku mendengar Atha bin Yasar berkata, “Aku pernah bertanya kepada Abu Ayyub Al-Anshari, bagaimana kurban yang dilakukan pada masa Rasulullah Saw ?”, ia menjawab; “Seorang laki-laki menyembelih seekor kambing untuk dirinya dan keluarganya, mereka makan daging kurban tersebut dan memberikannya kepada orang lain. Hal itu tetap berlangsung hingga manusia berbangga-bangga, maka jadilah kurban itu seperti sekarang yang engkau saksikan.” (HR. Al-Tirmidzi)
Karena tidak adanya nash yang menunjukkan bahwa berkurban dengan kambing boleh dengan cara patungan, dalam hal ini tidak pernah dipraktikkan atau dilakukan oleh Rasulullah Saw, dan para shahabat juga tidak pernah berpatungan untuk berkurban seekor kambing, maka hal ini menunjukkan bahwa khusus untuk kambing tidak disyariatkan berkurban dengan cara patungan.  Imam al-Nawawi mengatakan:
في هذه الاحاديث دلالة لجواز الاشتراك في الهدى …. وأجمعوا على أن الشاة لا يجوز الاشتراك فيها وفي هذه الاحاديث أن البدنة تجزى عن سبعة والبقرة عن سبعة
Hadis-hadis tersebut menunjukkan bolehnya berpatungan (berserikat) dalam berkurban….para ulama  juga bersepakat bahwa kambing tidak boleh dijadikan kurban dengan cara patungan. Dalam hadis-hadis ini juga bisa difahami bahwa  unta sah untuk berkurban tujuh orang sebagaimana sapi juga sah untuk tujuh orang (Imam al-Nawawi, Syarah Al-Nawawy ‘Ala Shohih Muslim, IV/455 dan IX/67 )
Mengenai kurban dengan cara arisan, hal ini boleh-boleh saja asal memperhatikan ketentuan yang telah dipaparkan di atas. Di antaranya, pada saat penarikan arisan, nilai uangnya sudah bisa digunakan untuk pembelian seekor kambing, sebagai hewan kurban/sembelihan. Seekor kambing digunakan untuk satu orang saja. Tidak boleh lebih dari satu orang, atau tidak boleh dengan cara patungan. Namun demikian, kurban seekor kambing dapat juga dimaksudkan untuk kurban seluruh anggota keluarganya. Jika arisan itu nilainya mencapai harga seekor sapi, maka dapat diniatkan untuk tujuh orang, baik dari keluarga sendiri maupun dari orang lain.

Kesimpulan:
1.Berkorban seekor sapi dapat dilakukan dengan cara patungan, baik untuk tiga orang, lima orang ataupun tujuh orang. Tidak boleh lebih dari tujuh orang yang berpatungan;
2. Adapun kurban seekor kambing, tidak disyariatkan dengan cara patungan, karena tidak ada contoh dari Nabi Saw maupun dari sahabat. Namun demikian, bila seseorang berkorban seekor kambing diniatkan untuk dirinya dan sejumlah anggota keluarganya, maka hal itu dipandang sah, berapapun jumlah anggota keluarganya. Hal ini telah dijelaskan berdasarkan amalan sejumlah sahabat.
3.Mengenai hadis tentang doa Nabi saat menyembelih hewan kurban dengan ucapan “bismillah wallahu akbar, ini adalah kurban dariku dan dari umatku yang tidak (mampu) menyembelih kurban (بِسْمِ اللَّهِ وَاللَّهُ أَكْبَرُ هَذَا عَنِّى وَعَمَّنْ لَمْ يُضَحِّ مِنْ أُمَّتِى), maka hadis ini merupakan khususiyah (hanya berlaku) bagi Nabi Saw, karena tidak seorang sahabat pun yang mengikuti/mengamalkannya. 
4.Sedangkan kegiatan berkorban yang dilaksanakan di sekolahan atau di kalangan tertentu dengan menyembelih seekor kambing untuk satu kelas, atau patungan beberapa orang, sungguhpun tidak sesuai syariat, namun hal itu boleh saja dilakukan untuk sekedar pembelajaran. Insya Allah tetap mendapatkan pahala sedekah.
5. Adapun kurban dengan cara arisan, boleh-boleh saja asal telah memenuhi syarat-syarat berkorban.

Wallahu a’lam bishshawab !