Kamis, 18 Januari 2018

POSISI KEPALA MAYIT SAAT DISHALATI

POSISI KEPALA MAYIT SAAT DISHALATI

Oleh:


Dr.H.Achmad Zuhdi Dh,M.Fil I

Teks Hadis
Abu Ghalib al-Khayyath berkata:
شَهِدْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ صَلَّى عَلَى جِنَازَةِ رَجُلٍ فَقَامَ عِنْدَ رَأْسِهِ فَلَمَّا رُفِعَ أُتِيَ بِجِنَازَةِ امْرَأَةٍ مِنْ قُرَيْشٍ أَوْ مِنْ الْأَنْصَارِ فَقِيلَ لَهُ يَا أَبَا حَمْزَةَ هَذِهِ جِنَازَةُ فُلَانَةَ ابْنَةِ فُلَانٍ فَصَلِّ عَلَيْهَا فَصَلَّى عَلَيْهَا فَقَامَ وَسَطَهَا وَفِينَا الْعَلَاءُ بْنُ زِيَادٍ الْعَدَوِيُّ فَلَمَّا رَأَى اخْتِلَافَ قِيَامِهِ عَلَى الرَّجُلِ وَالْمَرْأَةِ قَالَ يَا أَبَا حَمْزَةَ هَكَذَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُومُ مِنْ الرَّجُلِ حَيْثُ قُمْتَ وَمِنْ الْمَرْأَةِ حَيْثُ قُمْتَ قَالَ نَعَمْ قَالَ فَالْتَفَتَ إِلَيْنَا الْعَلَاءُ فَقَالَ احْفَظُوا (رواه احمد)
“Aku menyaksikan Anas bin Malik menshalati jenazah seorang laki-laki, maka beliau berdiri di sisi kepalanya. Ketika jenazah tersebut diangkat, maka didatangkan lagi kepada beliau jenazah seorang wanita Quraisy atau Anshar. Maka dikatakan kepada beliau: “Wahai Abu Hamzah! Ini adalah jenazah Fulanah bintu Fulan, mohon engkau menshalatinya!” Maka beliau pun menshalatinya dan  berdiri di sisi tengahnya. Di sisi kami ada Ala’ bin Ziyad al-Adawi. Ketika ia (Ala’) melihat perbedaan posisi berdirinya Anas bin Malik atas jenazah laki-laki dan wanita, maka ia bertanya: “Wahai Abu Hamzah! Apakah seperti ini posisi berdiri Rasulullah shallallahu alaihi wasallam terhadap jenazah laki-laki seperti posisi berdirimu dan juga posisi berdiri beliau terhadap jenazah wanita seperti posisi berdirimu?” Anas menjawab: “Benar.” Maka Ala’ menoleh kepada kita dan berkata: “Hafalkanlah (perhatikan ini, pen)!” (HR. Ahmad No. 13114).
Status Hadis
Menurut Muhammad Nashiruddin al-Albani, hadis ini shahih (Ahkam al-Janaiz, I/109).  Al-Albani menjelaskan bahwa hadis ini, selain diriwayatkan oleh Ahmad, juga diriwayatkan oleh Abu Dawud, II/66;  al-Tirmidzi, II/146; al-Thahawi, I/283, dan lain-lain).  Keshahihan hadis tersebut diperkuat oleh hadis riwayat al-Bukhari dari Samurah bin Jundub radliyallahu anhu, ia berkata:
صَلَّيْتُ وَرَاءَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى امْرَأَةٍ مَاتَتْ فِي نِفَاسِهَا فَقَامَ عَلَيْهَا وَسَطَهَا
“Aku melakukan shalat di belakang Nabi shallallahu alaihi wasallam atas mayit wanita yang mati karena nifasnya. Maka beliau berdiri padanya di sisi tengahnya.” (HR. al-Bukhari: 1245, Muslim: 1602, an-Nasa’i: 390, at-Tirmidzi: 956, Abu Dawud: 2780 dan Ibnu Majah: 2780).
Pemahaman Terhadap Isi Hadis
            Hadis tersebut dapat dipahami bahwa posisi Imam ketika menshalati jenazah laki-laki berada di sisi kepala atau lurus dengan kepala jenazah; dan jika jenazahnya perempuan, maka posisi imam berada di tengah atau lurus pantat/perut jenazah. Pemahaman seperti ini umumnya sudah diterima oleh ulama.
            Yang menjadi persoalan adalah letak kepala jenazah saat dishalati, apakah ia berada di sebelah utara (sebelah kanan imam) atau berada di sebelah selatan (kiri imam)? Untuk jenazah perempuan, ulama umumnya sepakat meletakkan kepalanya berada di sebelah utara (kanan imam). Adapun untuk jenazah laki-laki, ulama berbeda pendapat. Sebagian ulama berpendapat bahwa yang benar posisi kepala jenazah laki-laki itu berada di sebelah kiri (selatan imam), sedangkan ulama yang lain berpendapat bahwa yang benar posisi kepala jenazah berada di sebelah kanan (utara imam) sama dengan perempuan. Munculnya perbedaan pendapat ini disebabkan karena tidak ditemukannya hadis yang menjelaskan secara rinci bagaimana posisi kepala jenazah saat dishalati.
            Berikut ini beberapa pandangan ulama tentang posisi kepala jenazah saat dishalati:
Pertama, Ibn ‘Abidin (w. 1252 H/1836 M), ulama madzhab Hanafi berpendapat:
 ...فَأَفَادَ أَنَّ السُّنَّةَ وَضْعُ رَأْسِهِ مِمَّا يَلِي يَمِينَ الْإِمَامِ كَمَا هُوَ الْمَعْرُوفُ الْآنَ ، وَلِهَذَا عَلَّلَ فِي الْبَدَائِعِ لِلْإِسَاءَةِ بِقَوْلِهِ لِتَغْيِيرِهِمْ السُّنَّةَ الْمُتَوَارَثَةَ
… keterangan ini memberikan faedah bahwa yang sunnah di dalam meletakkan kepala mayit adalah di sisi kanan imam sebagaimana yang dikenal sekarang. Oleh karena itu penulis al-Bada’i (al-Kasani) memberi alasan jeleknya (meletakkan kepala mayit di sisi kiri imam, pen) dengan ungkapannya “karena mereka telah mengubah sunnah(tradisi) yang sudah turun temurun” (Radd al-Mukhtar ala al-Durr al-Mukhtar, VI/282).
Kedua, Muhammad bin Yusuf al-Abdari (w.897 M/1492 M), ulama madzhab Maliki mengatakan:
(رَأْسُ الْمَيِّتِ عَنْ يَمِينِهِ) ابْنُ عَرَفَةَ : يَجْعَلُ رَأْسَ الْمَيِّتِ عَنْ يَمِينِ الْإِمَامِ فَلَوْ عَكَسَ فَقَالَ سَحْنُونَ وَابْنُ الْقَاسِمِ: صَلَاتُهُمْ مُجْزِئَةٌ عَنْهُمْ . ابْنُ رُشْدٍ : فَالْأَمْرُ فِي ذَلِكَ وَاسِعٌ.
“(Kepala mayit di sebelah kanan imam). Ibnu Arafah menyatakan bahwa kepala mayit diletakkan di sisi kanan imam, seandainya terbalik (kepala di posisi kiri, pen), maka menurut Sahnun dan Ibnul Qasim, maka shalat mereka dianggap sudah cukup (tidak perlu diulang, pen). Ibnu Rusyd berkata: “Perkara ini luas (boleh di kanan atau di kiri imam, pen).” (Al-Taj wal Iklil Li Mukhtashar Khalil, II/352).
Ketiga, Ibnu Hajar al-Haitami (w.974 H/1566 M), ulama bermadzab Syafii mengatakan:
 وَالْأَوْلَى كَمَا قَالَ السَّمْهُودِيُّ فِي حَوَاشِي الرَّوْضَةِ جَعْلُ رَأْسِ الذَّكَرِ عَنْ يَسَارِ الْإِمَامِ لِيَكُونَ مُعْظَمُهُ عَلَى يَمِينِ الْإِمَامِ  
“…yang lebih utama sebagaimana pendapat al-Samhudi dalam Hasyiyah Al-Raudlah(Raudlatut Thalibin karya an-Nawawi, pen) adalah menjadikan kepala mayit laki-laki di sebelah kiri imam (kepala di sebelah selatan, pen) agar sebagian besar tubuhnya berada di sisi kanan imam” (Tuhfat al-Muhtaj Fi Syarh al-Minhaj,XI/186).
Keempat, Ulama Najd, madzhab Hanbali, mengatakan:
وأما صفة موضعهم بين يدي الإمام للصلاة عليهم، فتجعل رؤوسهم كلهم عن يمين الإمام، وتجعل وسط المرأة حذا صدر الرجل، ليقف الإمام من كل نوع موقفه، لأن السنة أن يقف عند صدر الرجل ووسط المرأة.
“Adapun sifat letak kumpulan jenazah di depan imam untuk dishalati atas mereka, maka kepala mereka semua diletakkan di sisi kanan imam. Dan sisi tengah mayit wanita diluruskan dengan sisi dada mayit laki-laki agar imam dapat berdiri pada posisi yang tepat sesuai dengan macam mayit. Karena yang sesuai sunnah adalah berdiri di sisi dada mayit laki-laki dan sisi tengah mayit wanita.” (Al-Durar al-Sunniyah Fi al-Ajwibah al-Najdiyah, V/83).
Kelima, Muhammad bin Shalih al-Utsaimin (w.2001 M)pernah ditanya apakah disyariatkan meletakkan kepala jenazah di sebelah kanan saat dishalati? Beliau menjawab:
 لا أعلم بهذا سنة، ولذلك ينبغي للإمام الذي يصلي على الجنازة أن يجعل رأس الجنازة عن يساره أحياناً حتى يتبين للناس أنه ليس واجباً أن يكون الرأس عن اليمين، لأن الناس يعتقدون أنه لابد أن يكون رأس الجنازة عن يمين الإمام، وهذا لا أصل له
 “Aku tidak mengetahui sunnahnya dalam perkara ini (meletakkan kepala di sisi sebelah kanan, pen). Oleh karena itu hendaknya imam yang akan menshalati jenazah meletakkan kepala jenazah di sebelah kirinya sekali tempo, agar manusia menjadi jelas bahwa meletakkan kepala di sisi kanan tidaklah wajib, karena manusia berkeyakinan bahwa kepala jenazah harus diletakkan di sisi kanan imam. Dan ini tidak ada asalnya”(Majmu’ Fatawa wa Rasa’il al-Utsaimin, XVII/101).
Kesimpulan:
            Berdasarkan kajian terhadap hadis yang menjelaskan posisi jenazah saat dishalati dan berbagai pendapat ulama tentang posisi kepala jenazah saat dishalati, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.   Posisi imam saat shalat jenazah, jika jenazahnya laki-laki, maka posisi imam berada di dekat atau lurus dengan kepala jenazah, sedangkan jika jenazahnya perempuan, maka posisi imam lurus dengan perut atau pantat jenazah;
2.   Tentang posisi kepala jenazah, apakah di sebelah kiri imam (di sebelah selatan) ataukah di sebelah kanan imam (di sebelah utara), ulama berbeda pendapat. Untuk jenazah perempuan, jumhur ulama sepakat meletakkan kepalanya di sebelah kanan imam (sebelah utara). Adapun jika jenazahnya itu laki-laki, ulama berbeda pendapat, sebagian berpendapat sebaiknya letak kepalanya di sebelah kiri imam (sebelah selatan), sedangkan ulama yang lainnya (kebanyakannya) berpendapat agar kepala jenazah laki-laki diletakkan di sebelah kanan imam (sebelah utara), sama dengan jenazah perempuan;
3.   Pendapat tentang posisi kepala jenazah laki-laki saat dishalati, apakah di sebelah kiri atau kanan imam adalah masalah ijtihadiyah semata, tidak didukung oleh dalil dari hadis Nabi Saw. Karena itu tidak perlu dipertentangkan lagi mengenai posisi kepala jenazah laki-laki saat dishalati.  Kedunya boleh!
4.   Wallahu A’lam!



Sabtu, 06 Januari 2018

ISYARATKAN JARI TELUNJUK SAAT DUDUK DI ANTARA DUA SUJUD

ISYARATKAN JARI TELUNJUK
SAAT DUDUK DI ANTARA DUA SUJUD

Oleh:



Dr.H.Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I

Teks Hadis:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الزُّبَيْرِ قَالَ: “كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَعَدَ يَدْعُو وَضَعَ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى فَخِذِهِ الْيُمْنَى وَيَدَهُ الْيُسْرَى عَلَى فَخِذِهِ الْيُسْرَى، وَأَشَارَ بِإِصْبَعِهِ السَّبَّابَةِ وَوَضَعَ إِبْهَامَهُ عَلَى إِصْبَعِهِ الْوُسْطَى وَيُلْقِمُ كَفَّهُ الْيُسْرَى رُكْبَتَهُ (رواه مسلم)
Abdullah bin al-Zubair  ra. bertutur,  “Tatkala Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam duduk berdoa, beliau meletakkan tangan kanannya di atas paha kanannya dan tangan kirinya di atas paha kirinya, serta mengacungkan jari telunjuknya dan menggandengkan antara jempol dengan jari tengahnya, dan mencengkeramkan telapak tangan kirinya ke lututnya”. (HR. Muslim No.1336)
Status Hadis:
Hadis tersebut diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitabnya al-Jami’ al-shahih atau yang popular dengan sebutan kitab Shahih Muslim. Menurut Imam al-Nawawi, ulama ahli hadis telah sepakat bahwa hadis-hadis yang termaktub dalam kitab al-Jami al-Shahih, baik karya Imam al-Bukhari maupun Imam Muslim telah disepakati keshaihannya(Sharh al-Nawawi ‘Ala Shahih Muslim, I/14).
Pemahaman Terhadap Teks Hadis
Hadis tersebut menjelaskan tentang mengangkat jari telunjuk saat duduk dalam shalat. Namun, tidak dijelaskan duduk dalam shalat yang mana, apakah saat duduk tasyahud awal, duduk tasyahud akhir, duduk antara dua sujud, atau duduk istirahat? Berikut ini dibahas tentang perbedaan ulama dalam memahami teks hadis tersebut.
Pemahaman pertama, pada teks hadis tersebut terdapat kalimat yang sifatnya umum atau mutlak, yakni: “Tatkala Rasulullah Saw duduk berdoa” (إِذَا قَعَدَ يَدْعُو), yang menunjukkan duduk secara umum saat duduk dan berdoa dalam shalat, karena itu bisa juga termasuk di dalamnya duduk di antara dua sujud yang juga ada doanya. Dalam hadis lain yang juga diriwayatkan Muslim disebutkan:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَاجَلَسَ فِي الصَّلَاةِ وَضَعَ يَدَيْهِ عَلَى رُكْبَتَيْهِ، وَرَفَعَ إِصْبَعَهُ الْيُمْنَى الَّتِي تَلِي الْإِبْهَامَ، فَدَعَا بِهَاوَيَدَهُ الْيُسْرَى عَلَى رُكْبَتِهِ بَاسِطَهَا عَلَيْهَا (رواه مسلم)
Bahwasanya Nabi saw apabila duduk dalam shalat, beliau meletakkan kedua tangannya di atas kedua lututnya, kemudian beliau mengangkat jari kanannya  stelah ibu jari (jari telunjuk) dan berdoa padanya, sedangkan tangannya yang kiri di atas lututnya terhampar di  atasnya. (HR. Muslim No.1337)
            Hadis ini mendukung pendapat bahwa berisyarat dengan jari telunjuk itu juga disyariatkan saat duduk, termasuk duduk di antara dua sujud. Pendapat ini  dikemukakan oleh Imam Ibn al-Qayyim dalam kitabnya Zad al-Ma’ad, I/130. Untuk memperkuat pendapatnya, Ibn al-Qayyim mengutip hadis riwayat Ahmad (No. 18858) berikut ini:
Dari ‘Ashim bin Kulaib, dari ayahnya, dari Wail bin Hujr berkata: “Saya melihat Nabi Saw bertakbir, maka beliau mengangkat kedua tangannya ketika takbir, yakni memulai shalat, dan beliau mengangkat kedua tangannya ketika takbir, lalu  beliau ruku’ dan mengangkat tangannya lagi ketika beliau mengucap: “Sami’allahu liman hamidah” lalu beliau sujud dan meletakkan kedua telapak tangannya sejajar dengan kedua telinganya. Kemudian beliau duduk iftirasy (membaringkan telapak kaki kirinya untuk diduduki), …
ثُمَّ وَضَعَ يَدَهُ الْيُسْرَى عَلَى رُكْبَتِهِ الْيُسْرَى وَوَضَعَ ذِرَاعَهُ الْيُمْنَى عَلَى فَخِذِهِ الْيُمْنَى ثُمَّ أَشَارَ بِسَبَّابَتِهِ وَوَضَعَ الْإِبْهَامَ عَلَى الْوُسْطَى وَقَبَضَ سَائِرَ أَصَابِعِهِ ثُمَّ سَجَدَ فَكَانَتْ يَدَاهُ حِذَاءَ أُذُنَيْهِ
…kemudian beliau meletakkan kedua tangannya, yang kiri di atas lututnya yang kiri dan meletakkan tangan kanannya di atas paha kanannya kemudian beliau berisyarat dengan jari telunjuknya dan meletakkan ibu jari di atas jari tengah kemudian beliau menggenggam seluruh jari-jarinya kemudian beliau sujud di mana kedua tangan beliau sejajar dengan kedua telinga beliau”(HR. Ahmad No. 18858).
 Berdasarkan hadis riwayat Ahmad tersebut, dapat difahami bahwa saat duduk di antara dua sujud juga disyariatkan mengacungkan jari telunjuk saat berdoa, baru sujud lagi.
Pemahaman kedua, hadis riwayat Muslim (No.1337) yang menjelaskan bahwa saat duduk dalam shalat (إِذَا جَلَسَ فِي الصَّلَاةِ), Nabi mengisyaratkan dengan jari telunjuknya yang kanan, sifatnya masih umum/mutlak, belum jelas duduk yang mana di antara empat macam duduk dalam shalat. Demikian juga pada hadis riwayat Muslim (No.1336),  yang menjelaskan bahwa Nabi duduk dalam shalat dan berdoa(إِذَا قَعَدَ يَدْعُو), juga masih umum/mutlak, apakah duduk tasyahud ataukah duduk di antara dua sujud.
Oleh kelompok ulama yang kedua ini, keumuman/kemutlakan kata duduk dalam shalat (إِذَا جَلَسَ فِي الصَّلَاةِ dan إِذَا قَعَدَ يَدْعُو) tersebut dibatasi (ditaqyid) dengan duduk tasyahud. Pemahaman ini didukung oleh hadis berikut ini:
 
قاَلَ أَبُوْ حُمَيْدٍ, أَناَأَعْلَمُكُمْ بِصَلَاةِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَلَسَ يَعْنِي لِلتَّشَهُّدِ فاَفْتَرَشَ رِجْلَهُ الْيُسْرٰى وَ أَقْبَلَ بِصَدْرِ الْيُمْنٰى عَلٰى قِبْلَتِهِ وَوَضَعَ كَفَّهُ الْيُمْنٰى عَلٰى رُكْبَتِهِ الْيُمْنٰى وَ كَفَّهُ الْيُسْرٰى عَلٰى رُكْبَتِهِ الْيُسْرٰى وَ أَشَارً بِأَصْبُعِهِ يَعْنِى السَّبَابَةَ (رواه الترمذى) وَ قَالَ أَبُو عِيْسٰى, هٰذَا حَدِيْثٌ حَسَنٌ صَحِيْحٌ
 Abu Humaid berkata: saya lebih mengetahui tentang shalatnya Rasulallah saw. bahwasanya Rasulallah saw duduk untuk bertasyahhud, beliau menduduki kaki kirirnya dan menghadapkan ujung jari kaki kanannya ke arah kiblat, meletakkan telapak tangan kanannya di atas lutut kanannya, telapak tangan kirinya di atas lutut kirinya serta mengacungka jarinya yakni jari telunjuk. (HR. at-Tirmidzi) Menurut Abu ‘Isa, hadis ini adalah hadis Hasan Shahih.
            Juga didukung oleh hadis riwayat al-Nasa-i yang dinilai sahih oleh al-Albany dalam Silsilah al-Ahdits ash-Shahihah (V/313) berikut ini:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الزُّبَيْرِ قَالَ: “كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا جَلَسَ فِي الثِّنْتَيْنِ أَوْ فِي الْأَرْبَعِيَضَعُ يَدَيْهِ عَلَى رُكْبَتَيْهِ ثُمَّ أَشَارَ بِأُصْبُعِهِ“.
Abdullah bin Zubair radhiyallahu’anhuma  menceritakan,  “Rasulullah shallallahu ’alaihiwasallam manakala duduk di raka’at kedua, atau di raka’at keempat, beliau meletakkan kedua tangannya di atas kedua lututnya lalu mengacungkan jarinya”.(HR. al-Nasa-i No.745).
            Menurut al-Syaukani, hadis tersebut menunjukkan tentang dianjurkannnya meletakkan kedua tangan di atas kedua lututnya saat duduk tasyahud (Nail al-Authar, II/317). Al-Baghawi juga mengatakan bahwa yang dipilih oleh sebagian ahli ilmu adalah menggenggang jari-jari tangan kanan kecuali jari telunjuk saat duduk tasyahud (Syarh al-Sunnah, III/176).
Berdasarkan muatan dari hadis-hadis di atas jika dilihat dari segi hukum dan sebabnya itu ternyata sama, maka menurut kaidah ushul fiqh:
يَحْمِلُ الْمُطْلَقُ عَلَى الْمُقَيَّدِ
“makna yang muthlaqdibawa kepada makna yang muqayyad”.
(Ibn Qudamah, Raudhat al-Nadhir Wa Jannat al-Manadhir, III/448)

 Dengan demikian, duduk yang dimaksudkan dalam hadis itu adalah duduk untuk tasyahhud. Karena itu, berisyarat dengan telunjuk tidak disyariatkan pada duduk di antara dua sujud, melainkan hanya untuk  duduk tasyahhud, baik tasyahud awal maupun tasyahud akhir.
Tentang dukungan hadis riwayat Ahmad No. 18858 (yang bisa difahami mengisyaratkan jari telunjuk saat duduk antara dua sujud), dapat dijelaskan bahwa hadits tersebut bermasalah dari sisi keabsahannya. Para pakar hadits menjelaskan bahwa tambahan kalimat “kemudian beliau sujud” setelah kalimat “mengacungkan jarinya” hanya ada dalam riwayat Sufyan al-Tsaury. Dan ini menyelisihi riwayat para perawi lainnya yang tsiqah (terpercaya) dan jumlah mereka lebih banyak, di mana mereka tidak menyebutkan tambahan kalimat “kemudian beliau sujud” setelah kalimat “mengacungkan telunjuknya”. Bahkan banyak hadits yang menjelaskan bahwa acungan jari tersebut dilakukan setelah sujud kedua. Di antara para perawi tersebut: Za’idah bin Qudamah, Bisyr bin al-Mufaddhal, Sufyan bin ‘Uyainah, Syu’bah, Abu al-Ahwash, Khalid, Zuhair bin Mu’awiyah, Musa bin Abi Katsir dan Abu ‘Awanah(al-Albani, al-Silsilah al-Shahihah, V/246).
Dalam ilmu Musthalah Hadits, jenis riwayat bermasalah seperti dicontohkan di atas, diistilahkan dengan hadits Syadz, yakni riwayat yang dibawakan perawi tsiqah, namun riwayat tersebut menyelisihi riwayat yang disampaikan para perawi lain yang lebih kuat. Dan hadits jenis ini dikategorikan dha’if (lemah).
            Muhammad Nashiruddin al-Abani mengatakan bahwa mengisyaratkan jari telunjuk saat duduk antara dua sujud itu tidak ada dalilnya sama sekali(لا اصل لها), kecuali riwayat Abd al-Razzaq dari hadis Wail bin Hujr. Hadis tersebut syadz (aneh) karena menyalahi dari periwayatan lainnya. (al-Silsilah al-Shahihah, V/247).
            Ahmad bin Abd al-Razzaq al-Duways dalam Fatawa al-Lajnah al-Daimah Lil Buhuts al-Ilmiyah Wa al-Ifta, XXI/367, mengemukakan bahwasanya hadis-hadis yang membahas tentang mengisyaratkan jari telunjuk pada saat duduk dalam shalat itu yang dimaksudkan adalah khusus pada saat duduk tasyahud, baik saat duduk tasyahud awal maupun tasyahud akhir/kedua.

            Wallahu A’lam!