Sabtu, 28 September 2013

IBADAH QURBAN: HUKUM DAN KAIFIATNYA

IBADAH QURBAN: HUKUM DAN KAIFIATNYA

Oleh:

Dr.H.Achmad Zuhdi Dh,M.Fil I
www.zuhdidh.blogspot.com
Pengertian:

Qurban dalam bahasa Arab berasal dari kata qa-ru-ba ( قَرُبَ ) artinya dekat. Ibadah qurban yang di dalamnya terdapat penyembelihan hewan qurban adalah ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah. Ibadah qurban disebut juga “udlhiyah” ( أُضْحِيَّة), artinya penyembelihan.

Hukum Qurban:

Mayoritas ulama dari kalangan sahabat, tabi’in, tabiut tabi’in, dan fuqaha (ahli fiqh) menyatakan bahwa hukum qurban adalah sunnah muakkadah bagi mereka yang mampu. Tetapi Abu Hanifah (seorang ulama’ Tabi’in) menyatakan hukumnya wajib. Ibnu Hazm menyatakan: “Tidak ada seorang sahabat Nabi pun yang menyatakan bahwa qurban itu wajib.” 
Dalil yang dijadikan dasar tentang tidak wajibnya qurban adalah hadits Ummu Salamah:

إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ وَعِنْدَهُ أُضْحِيَّةٌ يُرِيدُ أَنْ يُضَحِّيَ فَلَا يَأْخُذَنَّ شَعْرًا وَلَا يَقْلِمَنَّ ظُفُرًا
“Jika masuk 10 Dzul Hijjah dan ada salah seorang diantara kalian yang ingin berqurban, maka hendaklah ia tidak cukur atau memotong kukunya.” (HR. Muslim).
Kata “Dan salah seorang diantara kalian ingin berqurban”, menurut Imam Syafi’i, adalah menunjukkan qurban tidak wajib. Sebab memungkinkan juga adanya orang yang tidak berkeinginan, padahal ia mampu.
Sedangkan dalil wajibnya qurban menurut madzhab Hanafi adalah hadist Abu Haurairah yang menyebutkan:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ وَلَمْ يُضَحِّ فَلَا يَقْرَبَنَّ مُصَلَّانَا
Bahwa Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa mempunyai kelonggaran (harta), namun ia tidak melaksanakan qurban, maka janganlah ia mendekati tempat shalat kami” (H.R. Ahmad, Ibnu Majah). Al-Albani menilai hadis ini hasan.
Hadis ini oleh Imam Hanafi difahami sebagai suatu perintah yang sangat kuat (sehingga dihukumi wajib bagi yang mampu) karena diikuti dengan suatu ancaman, sehingga lebih tepat untuk dikatakan wajib.

Ukuran kemampuan tidak berdasarkan kepada nisab, namun disesuaikan dengan kondisi masing-masing individu. Apabila seseorang telah memenuhi kebutuhan sehari-harinya dan masih memiliki dana lebih dan mencukupi untuk membeli hewan qurban, khususnya di hari raya idul adha dan tiga hari tasyriq maka berarti ia mampu.

Kriteria hewan yang dijadikan qorban:

Jenis hewan yang dijadikan qurban adalah unta, sapi dan kambing. Selain tiga tersebut tidak disyariatkan. Adapun kriteria hewan yang akan disembelih adalah hewan yang sehat, berdaging, dan tidak cacat.  Rasulullah saw. bersabda:

أَرْبَعٌ لَا تُجْزِئُ فِي الْأَضَاحِيِّ الْعَوْرَاءُ الْبَيِّنُ عَوَرُهَا وَالْمَرِيضَةُ الْبَيِّنُ مَرَضُهَا وَالْعَرْجَاءُ الْبَيِّنُ ظَلْعُهَا وَالْكَسِيرَةُ الَّتِي لَا تُنْقِي
Ada empat hal yang tidak boleh dalam berkorban, 1) buta sebelah mata, yang tampak jelas kebutaannya 2) sakit yang jelas sakitnya, 3) pincang yang nyata-nyata pincangnya, dan 4) kurus tidak berlemak (HR Abu Dawud). Al-Albani menilai hadis ini shahih.

Selain keempat tersebut Rasulullah juga melarang berkorban dengan binatang yang tanduknya pecah, atau telinganya hilang sebagian.

عَنْ عَلِيٍّ قَالَ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُضَحَّى بِأَعْضَبِ الْقَرْنِ وَالْأُذُنِ
Dari Ali, ia berkata, “Rasulullah saw melarang berkorban dengan binatang yang pecah tanduknya dan telinganya (al-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad). Al-Tirmidzi menilai hadis ini hasan-sahih, sedangkan al-Albani menilainya dla’if.

Sa’id bin Musayyib menuturkan, bahwa binatang yang kehilangan setengah atau lebih tanduk atau telinganya maka tidak selayaknya untuk dijadikan korban. Tetapi para ulama’ menjelaskan bahwa kalau ia kehilangan sebagian telinga, tanduk atau ekornya dan tidak sampai setengahnya dan bukan karena kesengajaan maka masih boleh digunakan untuk korban. Demikian juga binatang yang terkena sedikit penyakit kulit, boleh digunakan untuk berkorban.

Tentang usia hewan qurban yang boleh disembelih, menurut Dokter Hewan Dinas Pertanian (Dispertan) Solo, Ardiet Fermansyahu, untuk sapi usianya harus lebih dari 2 tahun, untuk kambing lebih dari 1 tahun baru boleh disembelih. Sedangkan untuk mengetahui usia hewan ternak dapat dilihat dari giginya. Kalau usianya sudah mencukupi untuk disembelih, giginya pasti sudah poel (berganti gigi)," terangnya. Satu ciri yang paling mudah dilihat orang awam yakni jika warna gigi hewan ternak tersebut lebih gelap. Hal ini menandakan bahwa gigi susu hewan tersebut sudah berganti, yang menandakan bahwa hewan tersebut cukup dewasa untuk disembelih.

Dari Jabir ra:  
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَذْبَحُوا إِلَّا مُسِنَّةً إِلَّا أَنْ يَعْسُرَ عَلَيْكُمْ فَتَذْبَحُوا جَذَعَةً مِنْ الضَّأْنِ
“ Rasulullah saw bersabda: Janganlah kalian menyembelih kecuali musinnah, akan tetapi jika kalian merasa berat hendaklah menyembelih kambing Al-Jadza’ah (HR. Muslim dan Abu Daud).

Yang dimaksud dengan musinnah yaitu jenis unta, sapi dan kambing atau domba yang sudah berumur atau berganti gigi. Umur kambing adalah ketika sudah sempurna usia setahun dan memasuki tahun kedua, untuk sapi telah sempurna usia dua tahun dan masuk tahun ketiga, sedangkan unta telah sempurna usia lima tahun dan telah menginjak tahun keenam. Menurut Ibnu at-Tin, yang dinamakan musinnah adalah ketika sudah berganti gigi. Sedangkan jadza’ah yaitu kambing atau domba yang berumur setahun pas menurut pendapat jumhur ulama. Tetapi ada yang berpendapat, kambing usia 6 bulan sudah masuk jadza’ah.
Sebagai ukuran poel atau tidak yaitu dengan tumbuhnya 2 gigi depan permanen. Untuk umur ternak poel biasanya untuk kambing berumur 1 tahun dan sapi 2 tahun.
Korban Patungan (Rombongan):

Seekor sapi dan unta bisa diniatkan untuk 7 orang, sebagaimana hadis berikut:

عَنْ جَابِرٍ قَالَ نَحَرْنَا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَامَ الْحُدَيْبِيَةِ الْبَقَرَةَ عَنْ سَبْعَةٍ وَالْبَدَنَةَ عَنْ سَبْعَةٍ
“Dari Jabin, dia berkata: Kami bersama Rasulullah saw pada tahun Hudaibiyyah seekor sapi untuk tujuh orang dan seekor onta yang gemuk untuk 7 orang.” (HR Muslim, at-Tirmidzi, Abu Dawud dan Ahmad).

Dan seekor onta, menurut madzhab Syafi’I, Hanafi, dan mayoritas ulama’ bisa untuk7 orang. Tetapi menurut Ishaq bin Rahawiyah dan Ibnu Khuzaimah, bisa untuk 10 orang. Alasan Ishaq adalah hadis dari Ibnu Abbas berikut:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَفَرٍ فَحَضَرَ النَّحْرُ فَذَبَحْنَا الْبَقَرَةَ عَنْ سَبْعَةٍ وَالْبَعِيرَ عَنْ عَشَرَةٍ
“Dari Ibnu Abbas, dia berkata: Kami bersama Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dalam sebuah perjalanan kemudian tiba hari Id. Maka kami berserikat tujuh orang pada seekor sapi dan sepuluh orang pada seekor unta.” (HR. Al-Tirmidzi, al-Nasai dan Ibn Majah  ). Al-Albani menilai hadis ini shahih.

Sedangkan satu ekor kambing atau domba bisa diniatkan untuk dirinya dan keluarganya meskipun jumlah keluarganya banyak.

قَال عَطَاءُ بْنُ يَسَارٍ سَأَلْتُ أَبَا أَيُّوبَ الْأَنْصَارِيَّ كَيْفَ كَانَتْ الضَّحَايَا عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ كَانَ الرَّجُلُ يُضَحِّي بِالشَّاةِ عَنْهُ وَعَنْ أَهْلِ بَيْتِهِ فَيَأْكُلُونَ وَيُطْعِمُونَ حَتَّى تَبَاهَى النَّاسُ فَصَارَتْ كَمَا تَرَى
“Berkata Atha bin Yasar: Aku bertanya kepada Abu Ayyub Al-Anshari, bagaimana sifat sembelihan di masa Rasulullah saw, beliau menjawab: jika seseorang berqurban seekor kambing, maka untuk dia dan keluarganya. Kemudian mereka makan dan memberi makan dari qurban tersebut hingga manusia bangga sebagaimana yang kau lihat.” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah). Al-Albani menilai hadis ini shahih.

Demikian ketentuan patungan (rombongan)dalam berkorban. Tentang qurban yang dilakukan dengan cara iuran seperti di sekolahan, satu kelas untuk satu ekor kambing misalnya, maka hal itu boleh untuk pembelajaran saja.


Waktu Penyembelihan:

Permulaan pelaksanaan penyembelihan hewan qurban adalah setelah selesai shalat Idul Adha. Hal ini didasarkan kepada hadis:

عَنْ الْبَرَاءِ قَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ فَقَالَ إِنَّ أَوَّلَ مَا نَبْدَأُ مِنْ يَوْمِنَا هَذَا أَنْ نُصَلِّيَ ثُمَّ نَرْجِعَ فَنَنْحَرَ فَمَنْ فَعَلَ فَقَدْ أَصَابَ سُنَّتَنا
Dari Barra bin Azib ra, ia berkata: aku mendengar Rasulullah saw berkhutbah, beliau bersabda: Sesungguhnya perkara yang pertama kita mulai pada hari ini adalah kita shalat kemudian menyembelih. Maka barang siapa yang melakukan hal itu, dia telah mendapatkan sunnah kami. (HR al-Bukhari)

Di dalam riwayat muslim disebutkan adanya tambahan penjelasan:

وَمَنْ ذَبَحَ فَإِنَّمَا هُوَ لَحْمٌ قَدَّمَهُ لِأَهْلِهِ لَيْسَ مِنْ النُّسُكِ فِي شَيْءٍ
Dan barang siapa yang telah menyembelih (sebelum shalat), maka sesungguhnya sembelihan itu adalah daging yang diperuntukkan bagi keluarganya, bukan termasuk hewan qurban sedikitpun.” (HR. Muslim).

Diperbolehkan untuk menunda penyembelihan hewan qurban, pada hari kedua dan ketiga setelah hari Id. Dan batas akhir penyembelihan adalah hari tasyriq yang terakhir, sebagaimana diterangkan dalam hadits dari Jubair bin Muth’im bahwasanya beliau saw bersabda:

كُلُّ أَيَّامِ التَّشْرِيقِ ذَبْحٌ
“Setiap hari tasyriq ada sembelihan.” (HR. Ahmad).Al-Albani menilai hadis ini shahih.

Larangan mencukur dan memotong kuku:

Orang yang hendak berqurban, tidak diperbolehkan bagi dia memotong rambut dan kukunya sedikitpun, setelah masuk tanggal 1 Dzulhijjah hingga shalat Id.

عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا رَأَيْتُمْ هِلَالَ ذِي الْحِجَّةِ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ فَلْيُمْسِكْ عَنْ شَعْرِهِ وَأَظْفَارِهِ
“Dari Ummu Salamah, bahwasanya Rasulullah saw bersabda: “Apabila kalian melihat hilal bulan Dzulhijjah dan salah seorang di antara kalian hendak menyembelih, maka hendaknya dia menahan (yakni tidak memotong) rambut dan kukunya.” (HR. Muslim).

Tentang larangan mencuckur rambut dan memotong kuku bagi yang akan berkorban, ulama berbeda pendapat. Sebagian ulama mengharamkannya (al. Imam Ahmad, Ishaq dan Dawud). Ulama ini berdasarkan pada hadis dari Umu Salamah tersebut di atas. Sebagian ulama yang lain memakruhkannya (al. Imam Syafi’i dan Imam Maliki). Ulama ini berdasarkan dalil berikut ini:

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كُنْتُ أَفْتِلُ قَلَائِدَ هَدْيِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِيَدَيَّ ثُمَّ يُقَلِّدُهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِيَدِهِ ثُمَّ يَبْعَثُ بِهَا مَعَ أَبِي فَلَا يَدَعُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَيْئًا أَحَلَّهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ لَهُ حَتَّى يَنْحَرَ الْهَدْيَ
Dari Aisyah, ia berkata: saya pernah menganyam kalung hewan kurban Rasulullah Saw dengan kedua tanganku, kemudian Rasulullah Saw mengalunginya dengan tangannya dan mengirimnya bersama dengan ayahku, lalu Rasulullah Saw tidak meninggalkan sesuatupun yang telah Allah ‘azza wajalla halalkan hingga beliau menyembelih hewan kurban. (HR an-Nasa’i). Al-Albani: hadis ini sahih.
Hadits ini menunjukkan bahwa Rasulullah Saw tidak meninggalkan kebiasaan memotong kuku dan rambut. Tetapi bukan berarti kemudian memotong rambut tidak apa-apa, adanya anjuran pada hadits Ummu Salamah (hadis sebelumnya) berarti bahwa meninggalkan pemotongan rambut dan kuku itu adalah sunnah, dan memotongnya adalah makruh.
Dan ulama yang lain lagi ada yang membolehkannya (al. Imam Hanafi). Ulama ini beralasan, kalau orang yang akan berkorban dibolehkan memakai baju dan boleh berhubungan suami isteri, tentu mencukur ranbut dan memotong kuku juga boleh.
  
Cara Menyembelih hewan qurban:

Dalam menyembelih binatang diharuskan untuk meminimalisir rasa sakit. Di antara cara yang bisa meminimalisasi rasa sakit adalah dengan pisau yang tajam. Sebagaimana disebukan di dalam hadis:

إِنَّ اللهَ كَتَبَ اْلإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ، فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوا الْقِتْلَةَ وَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوا الذِّبْحَةَ وَلْيُحِدَّ أَحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ وَلْيُرِحْ ذَبِيْحَتَهُ
Sesungguhnya Allah telah menetapkan perbuatan baik (ihsan) atas segala sesuatu . Jika kalian membunuh maka berlakulah baik dalam hal tersebut. Jika kalian menyembelih berlakulah baik dalam hal itu, hendaklah kalian mengasah pisaunya dan menyenangkan hewan sembelihannya. (HR. Muslim)

Sebelum menyembelih mengucapkan bismillah wallahu akbar, membaringkan sembelihan pada sisi kirinya karena yang demikian mudah bagi si penyembelih memegang pisau dengan tangan kanannya, dan menahan lehernya dengan tangan kiri.

عَنْ أَنَسٍ قَالَ ضَحَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِكَبْشَيْنِ أَمْلَحَيْنِ أَقْرَنَيْنِ قَالَ وَرَأَيْتُهُ يَذْبَحُهُمَا بِيَدِهِ وَرَأَيْتُهُ وَاضِعًا قَدَمَهُ عَلَى صِفَاحِهِمَا قَالَ وَسَمَّى وَكَبَّرَ
“Dari Anas bin Malik, dia berkata: Bahwasanya Nabi saw menyembelih dua ekor dombanya yang bagus dan bertanduk. Anas berkata, aku melihat beliau menyembelih dengan tangan beliau sendiri dan aku melihat beliau meletakkan kakinya di samping lehernya dan mengucapkan basmallah dan takbir.” (HR. Muslim).

Pendistribusian daging qurban:

Bagi yang berkorban disunnahkan makan daging qurbannya, menghadiahkan karib kerabatnya, bershadaqah pada fakir miskin, dan menyimpan sebagian dari dagingnya. Nabi saw bersabda:

كُلُوا وَأَطْعِمُوا وَادَّخِرُوا
“Makanlah, bershadaqahlah, dan simpanlah untuk perbekalan.”(HR.Bukhari dan Muslim).

Daging sembelihan, kulitnya, rambutnya dan yang bermanfaat dari qurban tersebut tidak boleh diperjualbelikan menurut pendapat jumhur ulama, dan seorang tukang sembelih tidak mendapatkan daging qurban. Tetapi yang dia dapatkan hanyalah upah dari yang berqurban:

عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ أَمَرَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ أَقُومَ عَلَى بُدْنِهِ وَأَقْسِمَ جُلُودَهَا وَجِلَالَهَا وَأَمَرَنِي أَنْ لَا أُعْطِيَ الْجَزَّارَ مِنْهَا شَيْئًا وَقَالَ نَحْنُ نُعْطِيهِ مِنْ عِنْدِنَا

“Dari Ali bin Abi Thalib ra, dia berkata: Rasulullah saw memerintahkan aku untuk menyembelih hewan qurbannya dan membagi-bagikan dagingnya, kulitnya, dan alat-alat untuk melindungi tubuhnya, dan tidak memberi tukang potong sedikitpun dari qurban tersebut. Tetapi kami memberinya dari harta kami” (HR. Bukhari dan Muslim).

Kamis, 19 September 2013

TAHSINUL QUR'AN


TAHSINUL QUR’AN
URGENSI, FADHILAH DAN KEAJAIBANNYA


Oleh

Dr.H.Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I


Pengertian

Tahsinul Qur'an adalah memperindah dan memperbaiki bacaan al-Qur’an secara benar sesuai dengan kaidah ilmu tajwid.
Ilmu Tajwid adalah ilmu tentang tatacara membaca al-Qur’an yang baik dan benar, baik cara melafalkan huruf, membunyikan hukum nun dan tanwin, bacaan mad, hukum waqaf wal ibtida’ dan lain-lain yang terkait dengan cara membaca al-Qur’an yang baik dan benar.
 
Urgensinya

Menjaga atau memperhatikan tahsinul Qur’an merupakan tanda bagusnya keimanan seseorang. Seorang muslim yang tidak berusaha memperbaiki bacaan al-Qur'an, maka keimanannya terhadap al-Qur'an sebagai kitab Allah patut diragukan. Karena bacaan yang bagus adalah cerminan rasa keyakinannya kepada kitab suci ini.

Dalam QS. al-Baqarah, 121, Allah berfirman:

الَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَتْلُونَهُ حَقَّ تِلَاوَتِهِ أُولَئِكَ يُؤْمِنُونَ بِهِ وَمَنْ يَكْفُرْ بِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُون
Artinya: "Orang-orang yang diberikan al-Kitab (Taurat dan Injil) membacanya dengan benar. Mereka itulah orang-orang yang mengimaninya. Dan barangsiapa yang ingkar kepada al-Kitab, maka merekalah orang-orang yang merugi."
عَنِ الْبَرَاءِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : زَيِّنُوا الْقُرْآنَ بِأَصْوَاتِكُمْ ، فَإِنَّ الصَّوْتَ الْحَسَنَ يَزِيدُ الْقُرْآنَ حُسْنًا.
Dari al-Barra> bin ‘A<zib, Rasulullah Saw bersabda: “Hiasilah Al-Qur’an dengan suaramu, karena sesungguhnya suara yang indah itu dapat menambah al-Qur’an semakin indah.” (HR. 'Abu> Da>wud dan  al-Da>rimi). Shaykh al-'Alba>ni> menilai h}adi>th ini s}ah}i>h}.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يَتَغَنَّ بِالْقُرْآنِ وَزَادَ غَيْرُهُ يَجْهَرُ بِهِ
Dari 'Abu> Hurayrah ra, Rasulullah Saw bersabda: “Tidak termasuk umatku orang yang tidak melagukan Al-Qur’an.” Dalam riwayat yang lain ada tambahan: “membaca dengan suara yang jelas atau keras” (HR. Bukha>ri> No.7089).

Sesuai dengan dalil-dalil tersebut, wajar jika ulama mengatakan bahwa membaca al-Qur’an dengan tajwid itu wajib. Barangsiapa tidak berusaha membacanya dengan baik dan benar sesuai kaidah ilmu tajwid, maka ia berdosa. Imam Jazari, seorang ulama dan pakar Tajwid al-Qur'an mengatakan dalam matan 'al-Jazariyah:

وَالأَخْذُ بِالتَّجْوِيدِ حَتْمٌ لاَزِمٌ مَنْ لَمْ يُجَوّدِ الْقُرَآنَ آثِمٌ لأَنَّهُ بِهِ الإِلَهُ أَنْزَلاَ وَهَكَذَا مِنْهُ إِلَيْنَا وَصَلاَ

Membaca al-Qur'an dengan tajwid adalah sebuah keharusan. Siapa yang tidak mentajwidkan al-Qur'an maka ia berdosa, karena dengan Tajwid Allah menurunkannya. Demikian juga al-Qur’an sampai kepada kita juga dengan tajwid.
Fadhilahnya

Membaca al-Qur’an memang harus dengan baik dan benar sesuai dengan kaidah tajwi>d, kemudian dengan suara yang jelas atau keras agar dapat didengar, dan juga dengan suara yang indah dan berirama sehingga dapat dinikmati oleh siapa pun yang mendengarkannya. Adapun faidah dan manfaat bagi orang yang membaca al-Qur’an dengan baik dan benar, antara lain, sebagaimana disabdakan Nabi Saw:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يُقَالُ لِصَاحِبِ الْقُرْآنِ اقْرَأْ وَارْتَقِ وَرَتِّلْ كَمَا كُنْتَ تُرَتِّلُ فِي الدُّنْيَا فَإِنَّ مَنْزِلَتَكَ عِنْدَ آخِرِ آيَةٍ تَقْرَأُ بِهَا

Artinya: "Akan dikatakan kepada Ahli Qur'an (pada hari kiamat): "Bacalah, naiklah (ke atas surga) dan bacalah dengan tartil sebagaimana kamu dulu pernah membacanya di dunia. Karena sesungguhnya kedudukanmu di surga terdapat pada akhir ayat yang kamu baca." (HR. Abu Dawud dan al-Tirmidzi). Al-Albani menshaihkannya.

Hadis tersebut menjelaskan bahwa orang yang ahli al-Qur’an (gemar membaca al-Qur’an) akan mendapatkan kehormatan dan kedudukan yang tinggi di akhirat dan di surga. Kata-kata “naiklah”, adalah naik ke surga. Sedangkan maksud “kedudukan yang sesuai dengan akhir ayat al-Qur’an yang dibacanya” adalah seberapa banyak dan seringnya membaca al-Qur’an, maka semakin tinggi kedudukannya di surga.

Hal ini berarti bahwa orang yang gemar membaca al-Qur’an dengan sabar, telaten, tartil, hati-hati agar sesuai dengan kaidah tajwid, serta dengan suara yang jelas dan berlagu indah (tahsinul Qur’an), maka di surga ia akan mendapatkan perlakuan yang sangat baik, sambutan yang hangat, pelayanan yang nyaman, dan kenikmatan yang tiada bandingnya.

Membiasakan diri dengan tahsin al-Qur’an

Setiap muslim seharusnya mengejar posisi yang terhormat itu, dengan gemar membaca al-Qur’an, dan membiasakannya setiap hari satu juz atau sebulan sekali khatam al-Qur’an. Hal ini berdasarkan pada hadis Nabi mengenai seorang sahabat yang bertanya kepada beliau tentang berapa kali sebaiknya mengkhatamkan al-Qur’an?

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو أَنَّهُ قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ فِى كَمْ أَقْرَأُ الْقُرْآنَ قَالَ « فِى شَهْرٍ ».

Dari Abdullah bin 'Amru bahwa dia berkata; "Wahai Rasulullah, berapa lamakah aku harus mengkhatamkan Al Qur'an?" beliau bersabda: "Dalam sebulan (sekali khtam)." (HR. Abu Dawud, dan Al-Albani men-shahih-kannya)

Lebih lanjut Abdullah bin 'Amru berkata; "Sesungguhnya aku bisa lebih dari itu (sebulan bisa khatam lebih dari satu kali)." -Abu Musa (Ibnu Mutsanna) mengulang-ulang perkataan ini- dan Abdullah selalu meminta dipensasi (agar diizinkan mengkhatamkan al-Qur’an lebih dari satu kali) hingga beliau bersabda: "Jika demikian, bacalah al Qur'an (hingga khatam) dalam tujuh hari." Abdullah berkata; "Aku masih dapat menyelesaikannya lebih dari itu." Beliau bersabda: "Tidak akan dapat memahaminya orang yang mengkhatamkan Al Qur'an kurang dari tiga hari." (HR. Abu Dawud, dan Al-Albani men-shahih-kannya)

Hadis tersebut menggambarkan betapa tingginya keinginan sahabat untuk dapat sering membaca al-Qur’an dan mengkhatamkannya berulang-ulang. Nabi memberikan fatwa, idealnya mengkhatamkan al-Qur’an itu sebulan sekali. Tetapi, karena sahabat ini masih ingin lebih banyak lagi mengkhatamkan al-Qur’an, akhirnya membolehkan khatam al-Qur’an seminggu sekali. Selanjutnya, Nabi memperingatkan agar mengkhatamkan al-Qur’an itu paling cepat tiga hari sekali. Karena, jika kurang dari tiga hari, selain tidak akan sanggup memahami isi al-Qur’an dengan baik, membacanya pun akan tidak bisa baik, tartil, dan indah ( tidak bisa tahsin al-Qur’an).
  
Kewajiban setiap muslim terhadap al-Qur’an

1.    Membacanya dengan baik dan benar

Dalam QS. al-Baqarah, 121, Allah berfirman:

الَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَتْلُونَهُ حَقَّ تِلَاوَتِهِ أُولَئِكَ يُؤْمِنُونَ بِهِ وَمَنْ يَكْفُرْ بِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُون
Artinya: "Orang-orang yang diberikan al-Kitab (Taurat dan Injil) membacanya dengan benar. Mereka itulah orang-orang yang mengimaninya. Dan barangsiapa yang ingkar kepada al-Kitab, maka merekalah orang-orang yang merugi."
2.    Memahaminya
Dalam surat Muhammad ayat 24, Allah berfirman:
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ أَمْ عَلَى قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا
Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur’an ataukah hati mereka terkunci?
3.    Mengamalkannya
Dalam surat al-Zumar ayat 39, Allah berfirman:
قُلْ يَا قَوْمِ اعْمَلُوا عَلَى مَكَانَتِكُمْ إِنِّي عَامِلٌ فَسَوْفَ تَعْلَمُونَ
Katakanlah: Wahai kaumku, bekerjalah (beramallah) sesuai dengan keadaanmu, sesungguhnya aku akan bekerja (beramal) (pula), maka kelak kamu akan mengetahui (akibat orang yang mau beramal).
4.    Mengajarkannya
Dalam surat Ali ‘Imran ayat 79, Allah berfirman:
كُونُوا رَبَّانِيِّينَ بِمَا كُنْتُمْ تُعَلِّمُونَ الْكِتَابَ وَبِمَا كُنْتُمْ تَدْرُسُونَ
...hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani (berilmu dan bertaqwa), karena kamu selalu mengajarkan al-Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya.
5.    Memperjuangkan dan mendakwahkannya
Dalam surat al-Hajj ayat 78, Allah berfirman:
وَجَاهِدُوا فِي اللَّهِ حَقَّ جِهَادِهِ هُوَ اجْتَبَاكُمْ وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَج
Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu. Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu agama suatu kesempitan.
Keajaiban Al-Qur’an sebagai terapi alternatif
Allah Swt berfirman dalam al-Qur’an surat al-Isra, ayat 82:
وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ وَلاَ يَزِيدُ الظَّالِمِينَ إِلاَّخَسَارًا
Dan Kami turunkan dari Al Qur'an suatu yang menjadi penawar (penyembuh) dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al-Qur'an itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian.
Dalam kitabnya Za>d al-Ma’ad, berdasarkan ayat tersebut, Ibn al-Qayyim mengatakan bahwa “Al-Qur'an adalah bacaan yang dapat memberikan efek kesembuhan terhadap berbagai jenis penyakit dengan kesembuhan total, baik penyakit hati maupun penyakit fisik.
 Beberapa hasil penelitian telah menunjukkan bahwa suara dengan irama yang seimbang dapat memberi dampak yang signifikan terhadap stabilitas dan aktifitas otak. Selain itu dapat juga memberi pengaruh positif pada detak jantung sehingga melahirkan vitalitas otak. Melalui suara dengan irama seimbang juga dapat membuat tubuh manusia menjadi lebih mampu mengarahkan sistem kekebalan tubuh untuk menghadapi berbagai penyakit. Jadi, sel-sel otak akan merespon secara dramatis, jika terkena irama suara yang seimbang (al-Kah}i>l, al-Qur’an The Healing Book, 2010). Bacaan dengan irama suara yang seimbang ini tidak dimilki oleh bacaan yang lain selain al-Qur’an, karena memang cara membacanya harus benar sesuai dengan kaidah tajwi>d.

Ketika al-Qur’an dibaca dengan baik dan benar serta dengan irama lagu yang indah, maka hal ini menjadi bagian dari seni yang dibutuhkan untuk penyemangat jiwa. Al-Dhahabi> (W.1349 M), penulis kitab al-T{ibb al-Nabawi>, menyatakan: Menyanyi adalah kesenangan jiwa, cahaya hati dan santapan ruhani. Menyanyi adalah pengobatan spiritual yang paling berkhasiat. Menyanyi dapat mendatangkan rasa senang bagi beberapa jenis binatang. Keindahannya yang sederhana mengungkapkan kehangatan alam, memperkuat aktifitas beberapa perasaan, memperlambat penuaan dan mengusir penyakit”.  

Bagi al-Dhahabi>, musik atau lagu yang wajib didengar dan harus diutamakan adalah pembacaan al-Qur’an, terutama yang dibacakan ketika salat fard}u berjamaah oleh seorang ima>myang khusyuk, tunduk dan patuh kepada Allah dan dengan suara yang indah serta berirama sesuai dengan kaidah ilmu tajwi>d. Terhadap yang lain,  seperti menyanyi atau mendengar lagu-lagu, syair dan lain-lain, maka boleh saja selama tidak menjauhkan dirinya dari Allah Swt.

Jika al-Qur’an dibacakan dengan baik dan dengan suara yang merdu maka akan membuat senang dan nyaman bagi pendengarnya terutama bagi penikmatnya. Sesuai dengan teori “sound healing” (terapi suara) maka pembacaan al-Qur’an yang merupakan kala>m Allah Yang Maha Indah dan Maha Menyembuhkan, akan membawa khasiat bagi yang memanfaatkannya. Jika suara musik dan lagu yang dibuat oleh manusia saja bisa berpengaruh pada proses penyembuhan, apalagi jika suara itu berasal dari kalimat-kalimat suci yang merupakan Kalam Ilahi.

Dari semua keterangan di atas menjelaskan bahwa suara al-Qur’an yang indah dan berirama, yang dibaca dengan baik sesuai kaidah tajwi>d, dapat menimbulkan energi positif  dan akan bermanfaat bagi peningkatan kesehatan tubuh manusia dan bahkan dapat menyembuhkan berbagai penyakit. Al-Kah}i>l, secara rinci menjelaskan tentang proses penyembuhan melalui al-Qur’an. Menurutnya, bacaan al-Qur’an adalah seperangkat frekuensi suara yang sampai ke telinga dan dikirim ke sel-sel otak lalu mempengaruhi sel melalui medan listrik yang melahirkan sel-sel. Sel-sel dan medan listrik itu kemudian saling merespon hingga mengubah getaran sel menjadi stabil. Keadaan inilah yang disebut sembuh, bebas dari gangguan penyakit (al-Kah}i>l, 2010). Ini adalah salah satu keajaiban dan kemukjizatan al-Qur’an.