Jumat, 26 Agustus 2016

APAKAH ISMAIL ATAU ISHAK YANG DIKORBANKAN IBRAHIM ?

APAKAH ISMAIL ATAU ISHAK
YANG DIKORBANKAN IBRAHIM ?

Oleh:


 Dr.H.Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I

            Tentang siapa sebenarnya yang dikorbankan oleh Ibrahim, apakah Ismail atau Ishak telah menjadi perdebatan yang tak berpenghujung. Mayoritas umat Islam berkeyakinan bahwa yang dikorbankan oleh Ibrahim adalah Ismail, nenek moyang Nabi Muhammad dan kaum muslimin. Sementara kaum Kristen dan Yahudi berkeyakinan bahwa yang dikorbankan adalah Ishak, nenek moyang orang Kristen dan Yahudi.
            Di kalangan umat Islam sendiri terjadi perbedaan pendapat mengenai siapa yang dikorbankan Ibrahim, apakah Ismail atau Ishak. Hal ini terjadi karena Al-Qur’an sendiri tidak secara jelas menyebutkan siapa sebenarnya yang dikorbankan oleh Ibrahim. Dalam QS. al-Shaffat, ayat 101-103, Allah Swt berfirman:

فَبَشَّرْنَاهُ بِغُلَامٍ حَلِيمٍ (101) فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَى قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ (102) فَلَمَّا أَسْلَمَا وَتَلَّهُ لِلْجَبِينِ (103)

Maka Kami beri dia kabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar. Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata:"Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu.Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" Ia menjawab:"Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar". Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya). QS. 37: 101-103.

Dalam ayat 101-103 tersebut tidak disebutkan secara jelas siapa yang dikorbankan oleh Ibrahim. Oleh karena itu di kalangan ahli tafsir timbul dua pendapat. Sebagian ulama ada yang meyakininya Ismail, anak Ibrahim dari hasil perkawinannya dengan Hajar, istri kedua. Sementara yang lain ada yang menyatakan Ishak, anak Ibrahim dari hasil perkawinannya dengan Sarah, istri pertama.
Dalam sejarah diakui bahwa Ismail lebih tua dari Ishak. Ibn Katsir dalam kitab tafsirnya, Tafsir al-Qur'an al-Karim (Juz VII/27), menjelaskan bahwa Ismail lahir pada saat Ibrahim berumur 86 tahun. Sementara Ishak lahir ketika Ibrahim berumur 99 tahun.
Al-Qurthuby dalam al-Jami' li Ahkam al-Qur'an  (Juz XV/99-100) mengemukakan perihal perbedaan pandangan itu. Ada yang mengatakan bahwa yang diperintahkan untuk dikorbankan adalah Ismail. Pendapat ini dikemukakan oleh sejumlah sahabat Nabi dan tabi'in, seperti Abu Hurairah, Ibn Abbas, Abu Thufail, Amir bin Watsilah, Sa'id ibn al-Musayyab, Yusuf bin Mihran, Rabi' bin Anas, dan Muhammad ibn Ka'b al-Quradhiy.
Pendapat ini konon didasarkan pada sebuah data historis yang menjelaskan bahwa penyembelihan tersebut berlangsung di Mekah (dahulu bernama Bakkah), sehingga yang hendak disembelih tersebut pasti Ismail, karena Ishak sepanjang hidupnya tidak pernah sampai ke sana. Mereka mengajukan bukti tambahan. Tanduk hewan kurban, pengganti Ismail, di gantung di Ka'bah. Sekiranya Ishak yang mau disembelih, maka tanduk itu kiranya tak digantung di Ka'bah, mungkin di tempat lain seperti Baitul Maqdis. Pendapat pertama inilah yang paling banyak dipercaya.
Sementara yang lain berpendapat bahwa anak yang diminta untuk disembelih, tidak lain, adalah Ishak bin Ibrahim. Pendapat ini diikuti oleh sejumlah sahabat dan tabiin. Dari kalangan sahabat tercatat nama-nama seperti Abdullah ibn Abbas, Abdullah bin Mas'ud, Umar bin Khaththab, Jabir, Abdullah bin Umar, dan Ali bin Abi Thalib. Dari kalangan tabi'in yang berpendapat demikian di antaranya, Alqamah, Sya'biy, Mujahid, Sa'id bin Jubair, Ka'ab al-Ahbar, Qatadah, Masruq, Ikrimah, Qasim bin Abi Bazzah, Atha`, Abdurrahman bin Sabith, al-Zuhry, al-Sadiy, Abdullah bin Abi al-Hudzail, dan Malik bin Anas. Pendapat ini bukan hanya didasarkan pada hadits, tapi juga asumsi kesejarahan. Kelompok kedua ini mengakui bahwa tanduk domba yang disembelih itu digantung di Ka'bah, tapi--menurut mereka--itu dibawa Ibrahim dari negeri Kan'an, tempat tingal Ishak.
            Dalam rangkaian ketiga ayat tersebut (QS. Al-Shaffat, 101-103) memang tidak secara langsung disebutkan bahwa nabi Ismail-lah yang dikorbankan, tetapi dari ayat pertama sudah jelas bahwa Allah SWT memberikan kabar gembira akan datangnya seorang anak yang amat sabar, ayat ini memberikan gambaran bahwa nabi Ibrahim saat itu belum mempunyai seorang anakpun, jadi anak yang dijanjikan dalam ayat tersebut adalah anak yang pertama yaitu Ismail.
Dalam ayat-ayat selanjutnya mengisahkan dialog antara nabi Ibrahim dengan Ismail tentang perintah penyembelihan Ismail, dan beliau berdua berhasil melalui ujian yang nyata tersebut dengan amat sabar, dan Allah SWT mengganti Ismail dengan seekor sembelihan yang besar.
Setelah al-Qur'an mengisahkan kisah antara nabi Ibrahim dengan putranya Ismail, dalam ayat selanjutnya (QS. 37.112) dikisahkan bahwa Allah SWT memberikan kabar baik akan datangnya seorang anak lagi yang bernama Ishaq :
وَبَشَّرْنَاهُ بِإِسْحَاقَ نَبِيًّا مِنَ الصَّالِحِينَ (112)
 Dan Kami beri dia kabar gembira dengan (kelahiran) Ishaq seorang nabi yang termasuk orang-orang yang saleh. QS. 37:112

Ayat tersebut memberikan gambaran yang sangat jelas bahwa kabar gembira akan lahirnya Ishaq adalah setelah kisah kabar gembira akan lahirnya Ismail dan kisah perintah penyembelihannya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa al-Qur'an menyatakan Ismail-lah yang akan disembelih bukan Ishaq.
Menurut Ibn Katsir (Juz VII/27), beberapa sahabat dan tabi’in serta sejumlah ulama yang berpendapat bahwa yang dikorbankan adalah Ishak, mereka itu tidak bersumber dari al-Qur’an maupun al-Sunnah, mungkin mereka itu terpengaruh oleh berita dari kalangan ahli kitab.
Dalam kepercayaan orang-orang Yahudi dan Kristen, mereka mengimani Ishaq sebagai orang yang dikorbankan oleh Ibrahim. Hal ini secara jelas telah diberitakan dalam kitab suci mereka (kejadian 22:2).
"Ambillah anakmu yang tunggal itu, yang engkau kasihi, yakni Ishak ( Kejadian 22:2)
Setelah dikaji, kalimat "yakni Ishaq" dalam ayat tersebut mempunyai kejanggalan yang teramat serius, alasannya :
Pertama : kalimat "yakni Ishaq" pada susunan tersebut adalah mubazir, karena kalimat tersebut telah sempurna justru bila tanpa "yakni Ishaq": “Ambillah anakmu yang tunggal itu, yang engkau kasihi”.
Dengan susunan tersebut tentu nabi Ibrahim sudah paham siapa yang disebut sebagai anak tunggal yang dikasihinya.
Kedua : Kalimat "yakni Ishaq" kontradiksi dengan kalimat sebelumnya yang menyatakan : “Ambillah anakmu yang tunggal itu, yang engkau kasihi”.
Karena ketika itu, Ismail telah lebih dahulu lahir sebagai anak nabi Ibrahim, penyebutan Ishaq sebagai anak tunggal dalam ayat tersebut tidak sesuai dengan sejarah dan itu berarti mengingkari Ismail sebagai anak sah Ibrahim.
Inilah keturunan Ismael, anak Abraham, yang telah dilahirkan baginya oleh Hagar, perempuan Mesir, hamba Sara itu (Kejadian 25:12)
Tentu saja menyebut Ishaq sebagai anak tunggal berarti mengingkari Ismail sebagai anak Ibrahim, mengingkari Ismail sebagai anak Ibrahim berarti mengingkari ayat-ayat dalam Bible itu sendiri. Firman-Nya:
"Ambillah anakmu yang tunggal itu, yang engkau kasihi”. (Kejadian 22:2)
Siapakah anak tunggal yang dimaksud dalam ayat tersebut ?
Ibrahim hanya mempunyai dua orang anak, yaitu Ismail dan Ishaq, Ishaq bisa disebut sebagai anak tunggal bila Ismail sebagai anak per-tama telah meninggal, tetapi kenyataannya Ismail belum meninggal. Ismail bisa disebut sebagai anak tunggal bila Ishaq belum lahir, keadaan yang kedua inilah yang paling mungkin.
Penyebutan "yakni Ishaq" dalam (kejadian 22:2) membuat fakta-fakta yang ada menjadi berantakan, ayat-ayat dalam Bible yang berhubungan dengan Ismail dan Ishaq menjadi banyak yang kontradiksi, Ishaq yang bukan anak tunggal disebut sebagai anak tunggal, Ismail yang anak sah nabi Ibrahim harus diingkari. Untuk mengingkari Ismail sebagai anak sah nabi Ibrahim, harus diingkari pula bahwa Hajar bukan istri sahnya, seperti ayat berikut ini :
Berkatalah Sara kepada Abraham: "Usirlah hamba perempuan itu beserta anaknya, sebab anak hamba ini tidak akan menjadi ahli waris bersama-sama dengan anakku Ishak." (Kejadian 21:10)
Bukankah ayat itu menyangkal Hajar dan Ismail sebagi istri dan anak nabi Ibrahim? Padahal pada kitab Ulangan disebutkan:
Apabila seorang mempunyai dua orang isteri, yang seorang dicintai dan yang lain tidak dicintainya, dan mereka melahirkan anak-anak lelaki baginya, baik isteri yang dicintai maupun isteri yang tidak dicintai… (Ulangan 21:15)
Tetapi ia harus mengakui anak yang sulung, anak dari isteri yang tidak dicintai itu, dengan memberikan kepadanya dua bagian dari segala kepunyaannya, sebab dialah kegagahannya yang pertama-tama: dialah yang empunya hak kesulungan (Ulangan 21:17).
 Jadi, dari sini saja sudah nampak telah terjadi kerusakan dan manipulasi sejarah dan fakta yang ada pada ayat-ayat Bible.  Jika tidak karena ada perubahan “redaksi”, maka dapat dipahami bahwa sebenarnya yang disembelih adalah anak Ibrahim yang sulung atau anak pertama, yakni Ismail. (Dirujuk dari berbagai sumber).


Wallahu a’lam bi al-shawab !

Jumat, 19 Agustus 2016

MEMBAHAGIAKAN ORANG TUA DENGAN BERKORBAN

MEMBAHAGIAKAN ORANG TUA
DENGAN BERKORBAN
  
Oleh:


Dr.H.Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I

Suatu hari seorang pedagang hewan qurban menceritakan tentang pengalamannya saat berjualan hewan. Saat itu, sekitar tahun akhir 1990-an, seorang ibu datang memperhatikan dagangan saya. Dilihat dari penampilannya yang sangat sederhana, sepertinya ibu itu tidak akan mampu membeli. Namun tetap saya coba hampiri dan menawarkan kepadanya, “Silahkan bu, pilih yang mana…?”, lantas ibu itu menunjuk salah satu kambing termurah sambil bertanya, ”Kalau yang itu berapa Pak?” “Yang itu 700 ribu bu,” jawab saya. “Harga pasnya berapa?”, Tanya kembali si Ibu. “600 deh, harga segitu untung saya kecil, tapi biarlah…… . “Tapi, uang saya hanya 500 ribu, boleh pak?”, pintanya.
Waduh, saya bingung, karena itu harga modalnya, akhirnya saya berembug dengan teman sampai akhirnya diputuskan diberikan saja dengan harga itu kepada ibu tersebut. Sayapun mengantar hewan qurban tersebut sampai ke rumahnya, begitu tiba di rumahnya, “Astaghfirullah……, Allahu Akbar… ," terasa menggigil seluruh badan karena melihat keadaan rumah ibu itu.
Rupanya ibu itu hanya tinggal bertiga, dengan ibunya dan puteranya di rumah gubug dengan berlantai tanah. Saya tidak melihat tempat tidur kasur, kursi ruang tamu, apalagi perabot mewah atau barang-barang elektronik. Yang terlihat hanya dipan kayu beralaskan tikar dan bantal lusuh. Di atas dipan, tertidur seorang nenek tua kurus. “Mak…..bangun mak, nih lihat saya bawa apa?”, kata ibu itu pada nenek yg sedang rebahan sampai akhirnya terbangun. “Mak, saya sudah belikan emak kambing buat kurban, nanti kita antar ke Masjid ya mak…”, kata ibu itu dengan penuh kegembiraan.
http://medicamoora.blogspot.co.id/2014/11/ 

Si nenek sangat terkaget meski nampak bahagia, sambil mengelus-elus kambing, nenek itu berucap, “Alhamdulillaaah, akhirnya kesampaian juga cita-cita emak selama ini untuk bisa berkurban”.
“Nih Pak, uangnya, maafkan kalau saya nawarnya kemurahan, karena saya hanya tukang cuci di kampung sini, saya sengaja mengumpulkan uang untuk beli kambing yang akan diniatkan buat kurban atas nama ibu saya….”, kata ibu itu.
Kaki ini bergetar, dada terasa sesak, sambil menahan tetes air mata, saya berdoa, “Ya Allah…, Ampuni dosa hamba, hamba malu berhadapan dengan hamba-Mu yang pasti lebih mulia ini, seorang yang miskin harta namun kekayaan imannya begitu luar biasa”.
“Pak, ini ongkos pengantarannya…”, panggil ibu itu, ”Sudah bu, biar ongkos kendaraanya saya yang bayar," kata saya.
Saya cepat pergi sebelum ibu itu tahu kalau mata ini sudah basah karena tak sanggup mendapat teguran dari Allah yang sudah mempertemukan dengan hambaNya yang dengan kesabaran, ketabahan dan penuh keimanan ingin memuliakan orang tuanya........

Ada dua pelajaran penting yang bisa dipetik dari kisah tersebut:
Pelajaran pertama, betapa tinggi bakti anak tersebut kepada orang tuanya, meski dengan cara mengumpulkan uang upah dari kerja tukang cuci, entah berapa tahun, demi membahagiakan orang tua, akhirnya setelah terkumpul uang tersebut dibelikan seekor kambing demi mengabulkan cita-cita atau keinginan sang ibu untuk bisa berkorban di hari idul adha. Nabi Saw pernah bersabda:
رَغِمَ أَنْفُ رَجُلٍ أَدْرَكَ عِنْدَهُ أَبَوَاهُ الكِبَرَ فَلَمْ يُدْخِلاَهُ الجَنَّةَ
Celaka atau rugi besar, seseorang yang sempat menjumpai ibu-bapaknya di usia tuanya, namun ia tidak bisa masuk surga (karena tidak menyempatkan diri untuk berbakti kepada keduanya). HR. Al-Turmidzi. Al-Albani: hadis ini shahih.
Ibu tersebut sadar betul bahwa Allah tidak akan meridhai kehidupannya, jika belum mendapatkan ridha dari kedua orang tuanya. Nabi Saw bersabda:
رِضَا اللهِ مِنْ رِضَا الْوَالِدَيْنِ، وَسَخَطُ اللهِ مِنْ سَخَطِ الْوَالِدَيْنِ
        Ridha Allah tergantung kepada ridha kedua orang tua, dan kemurkaan Allah karena kemurkaan kedua orang tua (HR. Al-Tirmidzi, dan al-Baihaqi). Al-Albani: hadis tersebut hasan.
Pelajaran kedua, Ibu dan nenek tersebut faham betul bahwa ibadah kurban itu ibadah yang mulia yang disyariatkan bagi setiap orang Islam. Nabi Saw pernah bersabda:
مَنْ وَجَدَ سَعَةً فَلَمْ يُضَحِّ فَلاَ يَقْرَبَنَّ مُصَلاَّ ناَ
Barangsiapa memiliki kelonggaran rizki, lalu tidak mau berkurban, maka jangan sekali-kali orang itu mendekati tempat shalat kami (HR. Ibn Majah). Al-Albani: hadis ini hasan.
Hadis ini memberi peringatan keras kepada kita, betapa banyak di antara kita yang diberi kecukupan penghasilan, namun masih saja ada keengganan untuk berkurban, padahal bisa jadi harga handphone, jam tangan, ataupun aksesoris yang menempel di tubuh kita harganya jauh lebih mahal dibandingkan dengan seekor hewan kurban.  Namun selalu sembunyi dibalik kata tidak mampu atau tidak dianggarkan.
Untuk menjadi mulia ternyata tidak perlu menunggu harta berlimpah, jabatan yang tinggi, dan apalagi kekuasaan. Kita bisa belajar keikhlasan dari ibu itu untuk menggapai kemuliaan hidup.
 Nenek tersebut sudah lama bermimpi, bercita-cita untuk bisa melaksanakan ibadah kurban. Ia sadar bahwa ibadah kurban pada suasana idul Adha itu lebih baik daripada sedekah biasa. Hal ini sesuai dengan pernyataan Ibn al-Qayyim yang mengatakan:
فَكاَنَ الذَّبْحُ فِيْ مَوْضِعِهِ أَفْضَلُ مِنَ الصَّدَقَةِ بِثَمَنِهِ
“Penyembelihan yang dilakukan di waktu mulia lebih utama daripada sedekah senilai penyembelihan tersebut".
Lebih lanjut Ibn al-Qayyim mengatakan: “jika seseorang bersedekah untuk menggantikan kewajiban penyembelihan pada manasik tamattu’ dan qiran meskipun dengan sedekah yang bernilai berlipat ganda, tentu tidak bisa menyamai keutamaan udhiyah/ibadah kurban”.(Ibn al-Qayyim, Tuhfat al-Mawlud, I/65).
Demikian, semoga tulisan ini bisa menginspirasi, menggugah, dan memberikan semangat kepada kita untuk bisa beramal dengan penuh kesadaran dan ikhlas karena-Nya.
Selamat menunaikan ibadah kurban!
Semoga menjadi wasilah amal yang bisa mendekatkan diri kita kepada Allah!





Sabtu, 13 Agustus 2016

HUKUM MENJUAL KULIT HEWAN KURBAN

HUKUM MENJUAL KULIT HEWAN KURBAN
&
BERKURBAN DENGAN BERHUTANG

Oleh


Dr.H.Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I 


Assalamualaikum Wr. Wb

Ustadz Zuhdi yang dirahmati Allah SWT ! Dalam rangka menyambut Idul Adha, saya ingin mengajukan dua persoalan terkait dengan ibadah qurban. Pertama, di beberapa kepanitiaan kurban, sering terjadi penjualan kulit hewan qurban kepada pengepul. Bagaimana hukum menjual kulit kurban tersebut? Kedua,  ada seseorang yang ingin sekali berkurban, tetapi pada saat yang ditentukan (tanggal 10,11, 12, dan 13 Dzul Hijjah) tidak tersedia uang untuk membeli hewan kurban. Karena itu ia pinjam uang untuk pembelian hewan kurban tersebut. Bagaimana hukum kurban dengan cara hutang tersebut?

Demikian, atas penjelasannya saya ucapkan terima kasih dengan iringan doa jazakumullah khairan katsiran!. (As’ad dari Sidoarjo)

Wassalamu’alaikum Wr. Wb


Jawab:

A.  Hukum menjual kulit hewan kurban.
Pada prinsipnya, hewan kurban yang telah disembelih, dagingnya harus dibagi-bagikan kepada mereka yang berhak. Di antara mereka yang berhak menerimanya adalah orang-orang yang sengsara hidupnya dan kaum fakir-miskin (QS.al-Hajj, 28). Selain itu, orang yang berqurban sendiri juga dibenarkan menikmati daging hewan kurbannya. Nabi Saw bersabda:
كُلُوا وَأَطْعِمُوا وَادَّخِرُوا
“Makanlah (daging hewan kurbanmu), sedekahkanlah, dan simpanlah untuk perbekalan.”(HR.Bukhari dan Muslim).
Yang menjadi persoalan dan perbedaan pendapat di kalangan ulama adalah menjual kulit hewan kurban. Mayoritas ulama tidak membenarkannya atau melarangnya. Ulama yang melarang menjual kulit hewan kurban beralasan pada hadis Nabi Saw:
وَلاَ تَبِيعُوا لُحُومَ الْهَدْىِ وَالأَضَاحِىِّ فَكُلُوا وَتَصَدَّقُوا وَاسْتَمْتِعُوا بِجُلُودِهَا وَلاَ تَبِيعُوهَا
Janganlah menjual daging hewan hasil sembelihan hadyu dan sembelian udh-hiyah (kurban).Tetapi makanlah, bershadaqahlah, dan gunakanlah kulitnya untuk bersenang-senang, dan  jangan kamu menjualnya.(HR. Ahmad)
Hadis tersebut riwayat Ahmad no. 16256. Syaikh Syu’aib Al Arnawt mengatakan bahwa sanad hadits ini dha’if (lemah). Ada tiga kelemahannya, yaitu (1)Ibnu Juraij atau ‘Abdul Malik bin ‘Abdul ‘Aziz adalah seorang mudallis; (2)Zubaid atauIbnul Harits Al Yamiy sering meriwayatkan dengan mu’an’an; (3) Zubaid pun tidak pernah bertemu dengan salah seorang sahabat. Sehingga hadits ini dihukumi munqathi’(sanadnya terputus). (Ta’liq Syu’ayb al-Arnawt, Musnad Ahmad, IV/15).
Selain hadis riwayat Ahmad tersebut ada juga hadis riwayat al-Hakim dari Abu Hurairah yang melarang penjualan kulit hewan kurban, Nabi Saw bersabda:
مَنْ بَاعَ جِلْدَ أُضْحِيَّتِهِ فَلاَ أُضْحِيَّةَ لَهُ
Barangsiapa menjual kulit hasil sembelihan kurban, maka tidak ada (nilai ibadah) kurban baginya.”(HR. Al-Hakim).
Ulama berbeda pendapat dalam menilai hadis ini. Menurut al-Hakim, sanad hadis ini sahih. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan (al-Albani,  Shahih Al-Targhib wa Al-Tarhib no. 1088, I/264). Sedangkan al-Dzahabi mengatakan bahwa dalam hadits ini terdapat nama perawi bernama Ibnu ‘Ayas yang didha’ifkan oleh Abu Daud (Mustafa Abd al-Qadir Atha, Ta’liq Mustadrak al-Hakim, II/422).
Walaupun status dua hadis di atas bermasalah,  mayoritas ulama berpendapat bahwa menjual hasil sembelihan kurban termasuk kulitnya tetap terlarang. Alasannya, kurban dipersembahkan sebagai bentuk taqarrub kepada Allah, yaitu mendekatkan diri kepadaNya, sehingga tidak boleh diperjualbelikan. Alasan lainnya, kita tidak diperkenankan memberikan upah kepada jagal dari hasil sembelihan qurban sebagaimana hadis dari Ali bin Abi Thalib ra, dia berkata:
 أَمَرَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ أَقُومَ عَلَى بُدْنِهِ وَأَقْسِمَ جُلُودَهَا وَجِلَالَهَا وَأَمَرَنِي أَنْ لَا أُعْطِيَ الْجَزَّارَ مِنْهَا شَيْئًا وَقَالَ نَحْنُ نُعْطِيهِ مِنْ عِنْدِنَا
Rasulullah saw memerintahkan aku untuk menyembelih hewan kurbannya dan membagi-bagikan dagingnya, kulitnya, dan alat-alat untuk melindungi tubuhnya, dan tidak memberi tukang potong (jagal) sedikitpun dari kurban tersebut. Tetapi kami memberinya(upah) dari harta kami” (HR. Bukhari dan Muslim).
Di antara ulama yang melarang menjual hasil sembelihan kurban adalah  Imam al-Syafi’i dan Imam Ahmad. Imam Asy Syafi’i mengatakan, “Hewan kurban termasuk nusuk (hewan yang disembelih untuk mendekatkan diri kepada Allah). Hasil sembelihannya boleh dimakan, boleh diberikan kepada orang lain dan boleh disimpan. Aku tidak menjual sesuatu dari hasil sembelihan kurban (seperti daging atau kulitnya, pen). Barter antara hasil sembelihan qurban dengan barang lainnya termasuk jual beli.”(al-Syafi’i, al-Umm, II/351).
Berbeda dengan mayoritas ulama yang melarang penjualan kulit hewan kurban, Imam Hanafi berpendapat bahwa menjual kulit hewan kurban diperbolehkan kemudian hasil penjualannya disedekahkannya (kepada fakir-miskin) untuk dapat dimanfaatkan sebagaimana mestinya (Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, III/324). Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Imam al-Awza’i, Ishaq dan Abu Tsaur. (al-Syaukani, Nail al-Awthar, V/191).
 Berdasarkan kajian hadis-hadis dan pendapat ulama tentang hukum menjual kulit hewan kurban tersebut, dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.    Sebagian besar ulama berpendapat bahwa menjual kulit hewan kurban hukumnya terlarang, karena hewan kurban tersebut (seluruhnya) sudah diniatkan untuk taqarrub atau persembahan kepada Allah, sehingga tidak boleh ada bagian dari hewan tersebut yang dijual. Mengenai kulit-kulit hewan kurban tersebut bisa dibagikan juga kepada fakir-miskin, apakah mau dimasak untuk dimakan atau dimanfaatkan untuk keperluan rumah tangga dan lain-lain. Di antara ulama yang mendukung pendapat ini adalah Imam al-Syafi’i dan Imam Ahmad;
2.    Sebagian ulama ada yang membolehkan menjual kulit hewan kurban, tetapi nilai penjualan (uangnya) tersebut disedekahkan lagi kepada fakir miskin, misalnya dengan dibelikan kambing yang kemudian dagingnya dibagikan kepada fakir-miskin, tidak diambil oleh orang yang berkurban atau oleh panitia untuk biaya operasional. Di antara ulama yang berpendapat demikian adalah Imam Hanafi dan Imam Abu Tsaur. Wallahu A’lam !
B. Kurban dengan berhutang.
Menjawab pertanyaan tentang berkurban dari uang pinjaman, maka boleh-boleh saja dan ibadah kurbannya sah. Hanya saja, perlu dipertimbangkan apakah ia tidak terbebani dengan hutangnya nanti? Karena sesungguhnya meminjam uang (berhutang) untuk membeli hewan kurban pada dasarnya tidak dianjurkan, karena pada saat itu ia dipandang tidak memiliki kelapangan.
Untuk diketahui bahwa orang yang sedang berhutang itu dalam posisi tertuntut untuk membayarnya. Dari Abu Hurairah ra. Nabi Saw bersabda:
نَفْسُ الْمُؤْمِنِ مُعَلَّقَةٌ بِدَيْنِهِ حَتَّى يُقْضَى عَنْهُ
“Jiwa seorang mukmin tergantung kepada hutangnya sehingga dibayarkan.” (HR. Ahmad dan al-Tirmidzi). al-Tirmidzi mengatakan bahwa hadis ini hasan. Syaikh al-Albani juga menilai hadis ini hasan (al-Albani, Shahih Sunan Ibnu Majah, II/53).
Hutang juga bisa menjadi sebab seseorang terhalang masuk surga. Diriwayatkan dalam Shahih Muslim, ada seseorang datang kepada Nabi Saw, lalu berkata, “Bagaimana menurut Anda, jika aku terbunuh di jalan Allah dalam kondisi sabar, berharap pahala dan maju terus tidak kabur, apakah Allah akan menghapuskan kesalahan-kesalahanku?” Nabi Saw menjawab, “Ya”. Namun ketika orang tersebut berbalik, Rasulullah Saw memanggilnya atau memerintahkan untuk dipanggilkan dia. Lalu Rasulullah Saw bertanya, “Apa yang kamu katakan tadi?” Lalu orang tersebut mengulangi pertanyaannya, dan Nabi Saw menjawab, “Ya, kacuali hutang, begitulah yang dikatakan Jibril.” (HR. Muslim).
            Harus difahami bahwa meminjam uang (berhutang) untuk membeli hewan kurban pada dasarnya tidak dianjurkan, karena dia tidak termasuk yang memiliki kelapangan,  dan juga kedudukan hutang jauh lebih penting untuk diperhatikan. Adapun bagi orang yang memiliki jaminan untuk membayarnya seperti gaji tetap, tabungan atau semisalnya, maka dia dibolehkan berhutang untuk berkurban, dan kurbannya sah. Sementara orang yang tidak memiliki jaminan untuk membayarnya, maka hendaklah dia tidak berhutang supaya dirinya tidak terbebani di kemudian hari dengan sesuatu yang sebenarnya tidak diwajibkan.

Wallahu A'lam !