Minggu, 29 Oktober 2017

MENCINTAI KARENA ALLAH


MENCINTAI KARENA ALLAH

Oleh:


Dr.H. Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I


Dalam sebuah hadis qudsi, Rasulullah Saw bersabda:

قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: الْمُتَحَابُّونَ فِي جَلاَلِي لَهُمْ مَنَابِرُ مِنْ نُورٍ يَغْبِطُهُمُ النَّبِيُّونَ وَالشُّهَدَاءُ
Allah ‘Azza Wa Jalla berfirman: Orang-orang yang saling mencintai di bawah keagungan-Ku (demi keridhaanKu), untuk mereka mimbar-mimbar (tempat yang tinggi) dari cahaya yang membuat para Nabi dan orang-orang yang mati syahid menginginkannya 
(HR. al-Tirmidzi, No. 2390). Al-Albani: hadis ini shahih.

Hadis ini termasuk hadis qudsi, karena Rasulullah Saw menyandarkan sabdanya kepada Allah Swt. Dalam hadis ini, Allah menjelaskan tentang keutamaan saling mencintai karena Allah.
Mencintai adalah amalan hati yang harus dibuktikan dengan tindakan nyata. Mencintai berarti memperhatikan, melayani, mengayomi, dan berusaha  menyenangkan orang yang dicintainya. Dalam pepatah Arab dikatakan: “man ahabba syaian fahuwa ‘abduhu (مَنْ اَحَبَّ شَيْأً فَهُوَ عَبْدُهُ), barangsiapa mencintai sesuatu maka ia akan menjadi budaknya.
 Jika kita mencintai orangtua, maka kita mesti memperhatikan apa saja yang menjadi kebutuhan mereka, kemudian melayaninya terutama saat mereka sudah tua, melindungi dari segala hal yang dapat membahayakan diri mereka terutama saat mereka sudah lemah, dan berusaha menyenangkan hatinya dengan memberikan atau melakukan apa saja yang menjadi keinginan mereka. Dengan demikian, mencintai orangtua berarti melakukan sesuatu yang dapat membuat mereka senang dan bahagia.
Bagaimana dengan mencintai suami atau isteri? Mencintai isteri atau suami, berarti memperhatikannya, melayaninya, mengayominya, dan berusaha untuk dapat menyenangkan dan membahagiakannya.
Demikian juga mencintai orang lain, maka mencintainya berarti memperhatikannya, berusaha membantu meringankan bebannya, mencarikan solusi terhadap kesuliatan yang dihadapinya, dan berusaha menyenangkan dan menenteramkan hatinya.
Saling mencintai (المتحابون) berarti masing-masing berusaha saling memperhatikan, saling membantu, saling mendukung, dan saling berusaha untuk dapat menyenangkan dan membahagiakannya.
Adapun mencintai karena Allah (المتحابون فى جلالى) berarti apa saja yang dilakukan dalam memberikan perhatian, pelayanan, pertolongan, perlindungan, dan upaya untuk menyenangkan dan membahagiakan orang lain itu semata-mata karena ingin mendapatkan keridhaan Allah, karena ingin mentaati Allah dan mengagungkanNya, bukan karena dorongan yang bersifat duniawi.  
Mencintai orangtua karena Allah, berarti –dalam mencintai mereka- karena ingin mendapatkan ridha Allah, mentaati perintahNya, dan mengagungkanNya. Dalam surat al-Isra ayat 23, Allah Swt berfirman:
وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا
"Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya  kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sakali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkatan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia." (Q.S. Al Isra': 23).
Mencintai isteri atau suami karena Allah, berarti -dalam mencintai itu- semata-mata karena ingin medapatkan ridha Allah, mentaati perintahNya, dan mengagungkanNya. Allah berfirman:
وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا
Dan pergaulilah mereka dengan cara yang baik. Jika kalian tidak menyukai mereka maka bisa jadi kalian membenci sesuatu padahal Allah menjadikan kebaikan yang banyak padanya. (QS. Al-Nisa, 19).
Mencintai sesama karena Allah, berarti -dalam mencintainya itu- karena ingin memperoleh ridha Allah, mentaatiNya, dan mengagungkanNya. Dalam Musnad Ahmad, Rasulullah bersabda: Allah Swt  berfirman:
حَقَّتْ مَحَبَّتِي لِلْمُتَحَابِّينَ فِيَّ، وَحَقَّتْ مَحَبَّتِي لِلْمُتَبَاذِلِينَ فِيَّ، وَحَقَّتْ مَحَبَّتِي لِلْمُتَزَاوِرِينَ فِيَّ، وَالْمُتَحَابُّونَ فِي اللهِ عَلَى مَنَابِرَ مِنْ نُورٍ فِي ظِلِّ الْعَرْشِ يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ
Cinta-Ku berhak didapat oleh orang yang saling mencintai karena-Ku(untuk mendapatkan ridhaKu), saling memberi karena-Ku, dan saling mengunjungi karena-Ku. Orang-orang yang saling mencintai karena Allah, akan berada di atas mimbar-mimbar dari cahaya, di bawah naungan ‘Arsyi ketika tidak ada naungan keculi naungan-Nya. (HR. Ahmad No.22414). al-Albani: hadis ini shahih.
            Sesuai janji Allah, kepada orang-orang yang saling mencintai karena Allah, maka untuk mereka akan disediakan mimbar-mimbar (tempat yang tinggi) dari cahaya yang membuat para Nabi dan orang-orang yang mati syahid menginginkannya (HR. al-Tirmidzi, hasan shahih).
            Selain itu, Allah juga akan memberikan “CintaNya” kepada mereka yang saling mencintai karena Allah (حَقَّتْ مَحَبَّتِي لِلْمُتَحَابِّينَ فِيَّ). Jika Allah benar-benar memberikan cintaNya kepada mereka, maka apapun yang menjadi keinginana mereka, akan Allah memberikannya. Nabi Saw bersabda: “Barangsiapa memberikan kemudahan kepada orang lain, maka Allah akan memberikan kemudahan kepadanya di dunia dan di akhirat nanti”. (HR.Muslim).
            Ada kisah menarik terjadi pada dua orang yang saling perhatian, saling menolong antara satu dengan yang lain. Di salah satu keluarga Arab Saudi yang tinggal di pinggiran kota Riyadh, ada seorang nyonya yang karena menderita kanker darah stadium 4, maka keluarga ini merekrut seorang TKW asal Indonesia untuk mendampingi dan merawatnya.
Seminggu TKW bekerja di keluarga ini, sang nyonya yang menderita kanker curiga pada pembantunya(TKW) karena sering bolak-balik ke kamar mandi dan lama sekali saat berada di dalamnya. Suatu pagi, sang nyonya bertanya kepada sang TKW: “Kenapa kamu sering ke kamar mandi dan berlama-lama di dalamnya?”. Saat itu sang TKW malah menangis tersedu-sedu. Karena sang nyonya terus mendesak dan penasaran, akhirnya sang TKW menjelaskan: “"Begini nyonya…! Sebenarnya 20 hari yang lalu saya baru melahirkan anak, karena saya butuh uang untuk menghidupi anak dan keluarga saya, maka saya pun mendaftar menjadi calon TKW. Saat itu saya diterima, maka saya pun segera berangkat walaupun bekal yang harus saya bawa berasal dari pinjaman tetangga.
Adapun saya berlama-lama di dalam kamar mandi, karena kedua payudara saya selalu penuh ASI, karena itu saya terpaksa harus sering ke kamar mandi untuk memeras dan mengeluarkan ASInya, karena kalau tidak dikeluarkan akan terasa sakit dan terjadi peradangan".
Keesokan harinya sang nyonya memanggil sang TKW sekaligus menyodorkan dua amplop berisi ticket pesawat, paspor dan gaji selama 24 bulan (sesuai perjanjian kontrak selama 2 tahun, sekitar 150 juta rupiah).
Kepada sang TKW, nyonya(majikan) itu betkata: "Saya tidak tega melihat penderitaanmu, saya dapat merasakan perasaan seorang ibu, karena itu, pulanglah ke kampungmu, ini tiket untuk pulang sudah saya siapkan, dan gaji selama dua tahun juga sudah saya siapakan untuk kamu bawa pulang dan untuh keluargamu. Jika suatu hari kamu ingin kembali ke sini …silahkan, dengan senang hati kami akan tetap menerimamu dengan tangan terbuka, ini nomer telpon kami, silahkan hubungi kami jika perlu", kata sang majikan.
Saat itu sang TKW sangat bahagia, bergembira luar biasa…! Tetapi sang TKW merasa berat meninggalkan sang nyonya yang tidak bisa apa-apa kalau tidak dibantu oleh sang pelayan. Nyonya (majikan) mengatakan: “kamu tidak perlu memikirkan saya, pikirkan dulu anak dan kelargamu. Tentang saya, insya Allah nanti akan ada yang bisa melayani saya. Allah Maha mengetahui dan maha Penyayang terhadap hambaNya.
Mendengar itu, sang TKW semakin keras menangisnya, tangis bahagia yang tak terkira. Melihat sang TKW yang begitu gembira dan berbahagia, rupanya sang majikan juga ikut bergembira dan berbahagia.
Setelah sang TKW kembali ke tanah air dan berjumpa dengan anak serta keluarganya, sang nyonya terus teringat betapa gembira dan bahagianya sang TKW saat menerima hadiah atau pertolongan dari dirinya. Rupanya, suasana hati yang sedemikian bahagia dan gembira itu lambat laun mengurangi rasa sakit yang dideritanya. Dari hari ke hari, keadaan sang majikan sendiri ternyata terus membaik meskipun tanpa pembantu. Setelah satu bulan, sang nyonya (majikan) pergi ke dokter langganannya untuk periksa. Saat itu, dokter kaget seolah tidak percaya dengan kondisi sang nyonya. Untuk meyakinkan hasil pemeriksaannya, dokter tersebut mengulangi CT-scan, indoskopi, periksa darah berulang-ulang. Dan hasilnya menunjukkan 100% sembuh total, ia bersih dari kanker. Allahu Akbar!
Dokter pun bertanya: "Bagaimana ini bisa terjadi, bisa sembuh total? Obat apa yang nyonya minum? Dia hanya berkata: “sebulana yang lalu, saya telah menolong seorang TKW. Sejak itu hati saya bahagia dan selalu bergembira. Rupanya Allah telah membalas cinta saya, perhatian saya, dan pertolongan saya kepada TKW itu”. Allahu Akbar.
Semoga menginspirasi !


 

Jumat, 20 Oktober 2017

MANISNYA IMAN

MANISNYA IMAN

Oleh:

Dr.H.Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I

عَنْ أَنَسٍ عَنِ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلاَوَةَ الإِيمَانِ أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا، وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إِلاَّ لِلَّهِ، وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِى الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِى النَّارِ(رواه البخارى ومسلم)
Dari Anas, Nabi SAW bersabda: "Tiga hal, barangsiapa memilikinya maka ia akan merasakan manisnya iman. (yaitu) menjadikan Allah dan Rasul-Nya lebih dicintai daripada selainnya, mencintai seseorang semata-mata karena Allah, dan benci kembali kepada kekufuran sebagaimana bencinya ia jika dilempar ke dalam api neraka”.
(HR. al-Bukhari dan Muslim).

Banyak sekali orang yang mengaku dirinya telah beriman. Namun, tidak banyak orang yang beriman tadi bisa merasakan manisnya. Keadaan ini bisa diumpamakan dengan madu yang biasanya terasa manis, tetapi tidak semua orang bisa merasakan manisnya madu. Hanya orang yang sehat yang bisa merasakan manisnya madu, sedangkan orang yang sakit, khususnya sakit kuning, maka ia tidak bisa merasakan manisnya madu. Demikian juga dengan manisnya iman, hanya orang yang imannya sehat, kuat, dan mantap, yang bisa merasakan manisnya iman.
Ibnu Hajar Al-Asqalani (Fath al-Bari, I/45) mengatakan bahwasanya manisnya iman itu hanya bisa dirasakan oleh hati. Sebagaimana makanan dan minuman yang bisa dirasakan oleh lidah. Iman adalah makanan untuk kekuatan hati, sedangkan  makanan dan minuman adalah  konsumsi untuk kekuatan tubuh. Hati baru bisa merasakan manisnya iman bilamana dalam keadaan sehat, terbebas dari keinginan rendah dan hawa nafsu yang menyesatkan dan keinginan-keinginan terlarang yang berujung kepada  kemaksiatan.
 al-Qadi‘Iyad (Ikmal al-Mu’alli Syarh Shahih Muslim, I/99) menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan manisnya iman (حَلاَوَةُ الإِيمَانِ) adalah merasakan lezatnya ketaatan dan adanya kekuatan atau daya tahan menghadapi rintangan dalam menggapai ridha Allah. Dalam hal ini lebih mengutamakan ridha-Nya dari pada kesenangan dunia, dan merasakan lezatnya kecintaan kepada Allah dengan menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
 Dalam hadis di atas, Nabi Saw memberikan jaminan bagi siapa saja yang memiliki tiga kreteria akan mendapatkan manisnya iman. Tiga perkara itu adalah (1) menjadikan Allah dan Rasul-Nya lebih dicintai daripada selainnya, (2) mencintai seseorang semata-mata karena Allah, dan (3) benci kembali kepada kekufuran sebagaimana bencinya ia jika dilempar ke dalam api neraka”.

1.   Menjadikan Allah dan Rasul-Nya lebih dicintai daripada selainnya;
    (أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا)
             Inilah hal pertama yang membuahkan manisnya iman, yakni mencintai Allah dan Rasul-Nya melebihi cinta kepada selainnya. Maksudnya, lebih mengutamakan ajaran-ajaranNya, perintah-perintahNya untuk dipatuhi, dan larangan-laranganNya untuk dijauhi. Cintanya kepada Allah dan Rasul menjadikan ia merasa ringan dan senang (ridha) saat melakukan amal-amal shalih. Ia tidak ingin melakukan hal-hal yang tidak disukai oleh Allah dan RasulNya. Bahkan ia sudi kehilangan nyawa bila harus memilihnya dibandingkan dengan harus menjual imannya. Ia tetap kuat saat musibah harus menimpanya, demi mendapatkan ridhaNya.
             Kita ingat Bilal bin Abi Rabah (sahabat Nabi), saat dipaksa oleh tuannya untuk meninggalkan imannya. Bilal tetap bertahan, meski tubuhnya dijemur di padang pasir dengan terik matahari, dan dada ditindihi dengan batu. Bilal tetap kuat, karena cintanya kepada Allah dan Rasul di atas segala-galanya. Bilal bahkan menunjukkan cintanya kepada Allah dengan ungkapan: “ahad, ahad, ahad”.
             Hamka berkisah tentang dirinya (Tafsir Al-Azhar, al-Ankabut, 45), saat beliau dalam perlawatan ke Amerika sekitar tahun 1952. Dalam mengelilingi negeri itu, sampailah Hamka ke Denver dengan keretaapi pada sekitar pukul 9 malam. Saat itu beliau langsung bermalam di sebuah hotel. Setelah istirahat, sehabis shalat, dengan senyum simpul penuh hormat pelayan hotel itu mengetuk pintu dan menawarkan apakah beliau suka ditemani oleh seorang perempuan muda untuk tidur malamnya.
Saat itu, usia Hamka baru 44 tahun. Anak dan isteri jauh dari mata. Murid-murid dan orang-orang yang mengasihi atau simpati tidak ada yang tahu, sedang daya tarik sex sebagai seorang laki-laki sehat tentu tergetar karena tawaran itu, apatah lagi perjalanan ke Amerika ketika itu sudah hampir dua bulan lamanya. Tetapi apa yang terbayang di waktu itu? Yang teringat saat itu adalah shalat! “Kalau aku tidur pada malam ini dengan perempuan lain, bagaimana besok pagi saya akan shalat Subuh? Bagaimana aku mesti mengucapkan bacaan itu pagi-pagi? Tentu aku akan malu mengucapkannya. Tentu pagi-pagi itu aku pun akan malu mengerjakan shalat. Dan tentu kesilapanku semalam itu akan menyebabkan aku akan terus-menerus silap; akan malu meneruskan sembahyang karena telah berdosa! “No, thank you.” Ujar Hamka kepada pelayan itu dan ia pun menutup pintu kamar, lalu tidur.
Setelah Hamka bangun pagi shalat Subuh, beliau merasakan bahwa shalatnya  sepagi itu terasa lebih khusyu’ dari biasanya, hal yang jarang beliau rasakan pada shalat yang lain. Itulah manisnya iman yang dirasakan oleh Hamka saat berhasil mendahulukan Allah dan Rasul daripada hawa nafsunya.

2.   Mencintai seseorang semata-mata karena Allah
     (وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إِلاَّ لِلَّهِ)
             Tidak sedikit seseorang mencintai orang lain bukan karena Allah. Misalnya cinta karena menginginkan hartanya, cinta karena ingin memperoleh jabatan atau posisi penting dalam meniti karir, dan keinginan-keinginan lain yang bersifat duniawi. Cinta yang seperti ini tidak akan bisa merasakan manisnya iman. Bahkan, kemungkinan yang ia dapatkan hanyalah penderitaan dan penyesalan. Beda dengan orang yang berusaha mencintai orang lain semata-mata karena Allah, semisal mencintai orangtua karena ingin mendapatkan ridhaNya, mencinta orang miskin dan anak yatim karena ingin mendapatkan ridhaNya dan ridha RasulNya, maka cinta yang demikian ini akan membuahkan manisnya iman, yakni sebuah kepuasan dan kebahagiaan saat bisa melakukan sesuatu buat mereka.
Generasi pertama umat ini adalah generasi yang sukses dalam membina cinta karena Allah. Maka dengan cinta lillah, suku Aus dan Khazraj yang semula bermusuhan, akhirnya menjadi bersaudara di bawah satu bendera Islam(Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Adzim, I/477-478). Pada saat itu, mereka merasakan manisnya iman. Lalu, muhajirin dan anshar yang belum pernah bersua pun, tiba-tiba menjadi saling berbagi. Membagi harta menjadi dua, membagi kebun dan rumah agar bisa sama-sama hidup layak dalam perjuangan bersama. Bahkan ada yang ingin berbagi isteri. Semua itu dilakukan karena ingin mendapatkan ridhaNya(Thantawi, Tafsir al-Wasith, VI/167).
3.   Dan benci kembali kepada kekufuran sebagaimana bencinya ia jika dilempar ke dalam api neraka  (وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِى الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِى النَّارِ)
Pada awal dakwah Nabi Saw, banyak kalangan kaum lemah dan budak yang tertarik masuk Islam. Di antaranya adalah keluarga Yasir. Saat itu Yasir dan Sumaiyyah (isterinya) serta Ammar (anaknya) masuk Islam. Setelah ketahuan tuannya, mereka pun disiksa dan dianiaya dengan maksud agar mengurungkan niatnya masuk Islam. Yasir akhirnya disiksa sampai mati. Kemudian Sumaiyyah pun disiksa sedemikian rupa dengan siksaan yang sangat mengerikan. Sungguhpun demikian, tidak sedikit pun terbetik dalam hatinya untuk kembali kepada kekufuran. Ia tetap gigih, kuat, dan bertahan dalam iman Islam. Ia sudah merasakan manisnya iman.
Melihat kegigihan Sumaiyyah seperti itu, Abu Jahal sangat marah, kemudian mengambil tombak dan menusukkan ke perut (kemaluan) Sumaiyah hingga tembus ke punggungnya. Maka berakhirlah siksaan yang ditimpakan kepada Sumaiyyah. Ia pun wafat dengan penuh keridhaan Allah Swt, dan ia tercatat dalam sejarah sebagai wanita syahidah (wanita yang mati syahid) pertama dalam Islam (al-Dzahabi, Tarikh al-Islam, I/218).