Minggu, 30 September 2018

PEMIMPIN IDEAL


MEMILIH PEMIMPIN IDEAL

Oleh


Dr.H.Achmad Zuhdi Dh,M.Fil I

Teks Hadis
 عَنْ أَبِى ذَرٍّ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلاَ تَسْتَعْمِلُنِى قَالَ فَضَرَبَ بِيَدِهِ عَلَى مَنْكِبِى ثُمَّ قَالَ « يَا أَبَا ذَرٍّ إِنَّكَ ضَعِيفٌ وَإِنَّهَا أَمَانَةٌ وَإِنَّهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ خِزْىٌ وَنَدَامَةٌ إِلاَّ مَنْ أَخَذَهَا بِحَقِّهَا وَأَدَّى الَّذِى عَلَيْهِ فِيهَا
Abu Dzar berkata: Ya Rasulallah! Tidakkah kau memberikan jabatan kepadaku? Maka Rasulullah memukul bahuku sambil berkata: Wahai Abu Dzar! Engkau seorang yang lemah, dan jabatan itu sebagai  amanat yang pada hari qiyamat hanya akan menjadi penyesalan dan kehinaan, kecuali orang yang dapat menunaikan hak dan kewajibannya, dan memenuhi tanggung jawabnya (HR. Muslim No. 4823)
Status Hadis
            Al-Albani mengatakan bahwa hadis tersebut shahih (Shahih al-Targhib wa al-Tarhib, II/254). Selain diriwayatkan oleh Muslim, hadis tersebut juga diriwayatkan oleh al-Thahawi dalam Syarah Musykil al-Atsar No. 57, Ibn Abi Syaibah dalam Sunan Ibn Abi Syaibah No. 32540, al-Baihaqi dalam Ma’rifat al-Sunan wa al-Atsar No. 6023, dan al-Hakim dalam al-Mustadrak No. 7019.

Kandungan Hadis
Hadis tersebut menjelaskan bahwa amanah yang akan diemban oleh seorang pemimpin itu sungguh sangat berat. Karena itu ketika Abu Dzar meminta suatu jabatan, oleh Rasulullah Saw diberitahu bahwa pada diri Abu Dzar itu ada kelemahan yang dimungkinkan tidak akan sanggup mengemban suatu jabatan. Diingatkan oleh Rasul bahwa jabatan itu merupakan amanat yang berat, dan kelak pada hari kiamat suatu jabatan hanya akan mendatangkan penyesalan bahkan kehinaan, kecuali bila orang yang mendapatkan amanah jabatan itu benar-benar memiliki kemampuan, kapasitas dan kapabilitas sehingga ia akan dapat menunaikan hak dan kewajibannya dengan penuh tanggung jawab.
Untuk menjadi seorang pemimpin handal dan ideal, Allah mengisyaratkan adanya empat kreteria yang harus dimilikinya:
إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَالَّذِينَ آمَنُوا الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ رَاكِعُونَ  
Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah). (QS. Al-Maidah, 55).
Pemimpin adalah seseorang yang memiliki kewengan yang sangat besar dalam menentukan arah dan kebijakan strategis yang berdampak sangat besar bagi kehidupan kaum Muslimin di suatu wilayah tertentu. Karena itu seorang pemimpin harus kuat, dan memiliki kemampuan yang memadai. Memilih seorang pemimpin bukan sekedar bagian dari urusan dunia, tetapi juga sekaligus urusan akhirat.  Islam tidak mengenal dikotomi atau sekulerisasi yang memisahkan antara  dunia dan akhirat, termasuk dalam memilih pemimpin.
Berdasarkan Surat al-Maidah ayat 55 tersebut, ada empat kreteria seseorang yang layak menjadi pemimpin.
Pertama, harus beriman kepada Allah (وَالَّذِينَ آمَنُوا), mukmin dan muslim yang baik, yakni seorang Muslim yang memiliki dua sifat, seperti disebutkan dalam Alquran Surah Yusuf ayat 55, “hafizhun ‘alim” (إِنِّي حَفِيظٌ عَلِيمٌ).
“Hafizhun”, artinya seorang yang pandai menjaga. Yakni, seorang  yang punya integritas, kepribadian yang kuat, amanah, jujur dan berakhlak mulia, sehingga patut menjadi teladan bagi orang lain atau rakyat yang dipimpinnya. Seorang pemimpin yang amanah, akan berusaha sekuat tenaga untuk menyejahterakan rakyatnya, walaupun sumber daya alamnya terbatas. Sebaliknya pemimpin yang khianat sibuk memperkaya diri sendiri dan keluarga serta kolega-koleganya, dan membiarkan rakyatnya tak berdaya. Jabir bin Abdillah berkata:
الأَمَانَةُ تَجْلِبُ الرِّزْقَ وَالْخِيَانَةُ تَجْلِبُ الْفَقْرَ
Sifat amanah itu akan membawa keberkahan, sedangkan sifat khianat itu akan mendorong kepada kefakiran (al-Manawi, Faidh al-Qadir, III/183
Adapun “’Alim”, artinya adalah seorang yang memiliki kemampuan dan pengetahuan yang memadai untuk memimpin rakyatnya dan membawa mereka pada kehidupan yang lebih sejahtera. Masuk dalam ketegori ini adalah memiliki sifat “fathanah”, artinya cerdas dan tangkas dalam menghadapi berbagai problem yang menghadang. Bila seorang pemimpin memiliki sifat seperti ini, maka akan lebih cepat dalam menyelesaikan persoalan yang muncul.
Kedua, untuk menjadi seorang pemimpin, menurut al-Maidah ayat 55,  haruslah rajin menegakkan shalat (يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ). Sebab, shalat adalah barometer akhlak manusia. Shalat dapat menumbuhkan sikap tanggung jawab dan kedisiplinan. Shalat juga dapat menumbuhkan optimisme, karena dengan semakin dekatnya kepada Allah, ia akan mudah untuk mendapatan bimbingan berupa ilham. Allah menyatakan:
فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلَا تَكْفُرُونِ
Maka ingatlah kepada-Ku, pasti Aku pun akan mengingatmu. Bersyukurlah kepada-Ku, dan jangan mengingkari nikmat-Ku (QS. Al-Baqarah, 152)
Ketiga, untuk menjadi seorang pemimpin, menurut al-Maidah ayat 55, adalah gemar menunaikan zakat dan sedekah (وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ). Zakat itu bukan membersihkan harta yang  kotor, melainkan membersihkan harta kita (harta yang bersih) dari hak orang lain. Seorang pemimpin yang rajin berzakat dan berinfak dengan penuh kesadaran, tidak mungkin akan korupsi. Sebab terhadap harta yang dimilinya saja mau dibersihkan, buat apa korupsi yang  malah akan mengotori hartanya. Allah mengingatkan:
وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ 
Dan janganlah kamu memakan harta di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu menyuap dengan  harta itu kepada hakim, dengan maksud agar kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui (QS. Al-Baqarah, 188)
Keempat,  syarat pemimpin yang keempat menurut al-Maidah ayat 55,  adalah suka berjamaah (وَهُمْ رَاكِعُونَ). Artinya suka bergaul dengan masyarakat, berusaha mengetahui keadaan rakyatnya dengan sebaik-baiknya, dan mencarikan jalan keluar atas persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakatnya. Sifat suka berjamaah atau memperhatikan masyarakat ini, ditunjukkan dalam shalat fardhu berjamaah. Rasulullah setiap selesai shalat fardhu berjamaah lalu duduk menghadap kepada jamaah. Hal itu,  bertujuan untuk mengetahui kondisi jamaah, termasuk memperhatikan apakah jumlah jamaah tersebut lengkap atau tidak. Kalau ada yang tidak hadir shalat berjamaah, maka ditanya apa penyebabnya. Kalau ternyata orang tersebut sakit, Rasulullah bersama para sahabatnya lalu menjenguk orang yang sakit tersebut.
Shalat berjamaah juga mengandaung pelajaran sikap yang demokratis, dalam arti seorang pemimpin(imam) harus siap dikoreksi kalau salah. Pemimpin juga harus memperhatikan kondisi jamaah (makmum) atau masyarakat yang dipimpinnya. Semangat berjamaah atau memperhatikan masyarakatnya inilah yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin, sehingga masarkat yang dipimpinnya merasa diperhatikan dan dilayaninya.
Kita bisa membayangkan betapa hebatnya bangsa dan negara ini bila pemimpin yang kita pilih memiliki empat kreteria tersebut, yakni (1) beriman kepada Allah dengan memiliki integritas yang tinggi, kredibel dan kapabel sebagai seorang pemimpin; (2) suka menegakkan shalat, sehingga dalam menjalankan tugasnya senantiasa dibimbing oleh Allah Swt; (3) sadar zakat, sehingga tidak ingin korupsi dan manipulasi; dan (4) suka berjamaah, perhatian kepada masyarakat yang dipimpinnya.
Allah Swt berfirman:
وَمَنْ يَتَوَلَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَالَّذِينَ آمَنُوا فَإِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْغَالِبُونَ
Dan barangsiapa mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang (QS. Al-Baqarah, 56).

BERGESER TEMPAT UNTUK SHALAT SUNNAH BAKDIYAH


PINDAH TEMPAT UNTUK SHALAT SUNNAH BAKDIYAH

Oleh


Dr.H.Achmad Zuhdi Dh,M.Fil I

Teks Hadis
عَن أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيَعْجِزُ أَحَدُكُمْ قَالَ عَن عَبْدِ الْوَارِثِ أَنْ يَتَقَدَّمَ أَوْ يَتَأَخَّرَ أَوْ عَن يَمِينِهِ أَوْ عَن شِمَالِهِ زَادَ فِي حَدِيثِ حَمَّادٍ فِي الصَّلَاةِ يَعْنِي           فِي السُّبْحَةِ[1]
 Abu Hurairah ra berkata, Rasulullah Saw bersabda: “Apakah kalian kesulitan - Musaddad berkata dari Abdul Warits- untuk maju atau mundur, geser ke kanan atau ke kiri ketika shalat”. Dalam hadis riwayat Hammad di tambahkan- dalam shalat yaitu shalat sunnah"(HR. Abu Dawud No. 1006)
Status Hadis
            Hadis tersebut diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dalam Sunannya hadis nomor 1006. Selain Abu Dawud, hadis tersebut juga diriwayatkan oleh al-Bazzar  dalam Musnadnya hadis No. 9819; Ibn Majah dalam Sunannya hadis No. 1427; Ahmad bin Hanbal dalam Musnadnya hadis No. 9492; dan Ibn Abi Syaibah dalam Mushannafnya hadis No. 16; Menurut al-Albani, hadis tersebut shahih.[2]
Kandungan Hadis
            Hadis tersebut menjelaskan bahwa setelah shalat wajib yang lima waktu, khususnya pada shalat-shalat yang dianjurkan shalat sunnah setelahnya (sunnah bakdiyah), seperti pada shalat dhuhur atau jumat, shalat maghrib dan shalat isya, maka jika hendak melakukan shalat sunnah bakdiyah dianjurkan untuk pindah tempat dari tempat shalat wajib yang dilakukan sebelumnya. Dalam hal ini, boleh bergeser tempat ke sebelah kanan atau sebelah kiri, ke depan atau ke belakang.
            Tentang pindah tempat untuk shalat sunnah bakdiyah setelah shalat wajib  ini ada tiga tingkatan. Pertama, setelah shalat wajib selesai (dzikir dan doa) langsung pergi pulang dan shalat sunnah bakdiyah di rumah. Kedua, setelah shalat wajib selesai (dzikir dan doa)lalu bergeser tempat ke sebelah kanan atau ke kiri, ke depan atau belakang kemudian di situ shalat sunnah bakdiyah. Ketiga, setelah shalat wajib selesai (dzikir dan doa) maka ia shalat sunnah bakdiyah di tempat yang sama saat ia shalat wajib.
            Melakukan shalat Sunnah di rumah adalah lebih utama dan sangat dianjurkan oleh Nabi Saw.Dalam sebuah hadis riwayat al-Bukhari, Zaid bin Tsabit menceritakan bahwasanya Nabi Saw bersabda:
فَصَلُّوا أَيُّهَا النَّاسُ فِي بُيُوتِكُمْ فَإِنَّ أَفْضَلَ الصَّلاَةِ صَلاَةُ الْمَرْءِ فِي بَيْتِهِ إِلاَّ الْمَكْتُوبَة[3]
“Maka shalatlah wahai manusia di rumah-rumah kalian, karena sesungguhnya seutama-utama shalat adalah shalat seseorang yang dilakukan di rumahnya sendiri, kecuali shalat wajib” (HR. al-Bukhari No. 731).
            Menurut Imam al-Nawawi, dianjurkannya shalat sunnah di rumah itu karena lebih dapat merahasiakan dan lebih dapat terjaga dari sikap riya serta hal-hal yang merusak ibadah. Selain itu dengan shalat sunnah di rumah diharapkan menjadi sebab turunnya barakah dan rahmat, serta bisa mengundang datangnya Malaikat ke dalam rumah dan mengusir setan.[4]
Bila tidak langsung pulang, maka shalat sunnah bakdiyah dapat dilakukan tetap di dalam masjid dengan cara pindah tempat dari tempat ia shalat wajib sebelumnya. Caranya bisa dengan bergeser ke kanan atau ke kiri, ke depan atau ke belakang. Anjuran pindah tempat ketika shalat sunnah bakdiyah ini, selain berdasarkan hadis riwayat Abu Dawud No.1006 di atas juga dikuatkan dengan keterangan sahabat, dari Atha’ bahwa Ibnu Abbas, Ibnu Zubair, Abu said, dan Ibnu Umar ra. mengatakan:
لَا يَتَطَوَّعُ حَتَّى يَتَحَوَّلَ مِنْ مَكَانِهِ الَّذِي صَلَّى فِيهِ الْفَرِيضَةَ[5]
“Hendaknya tidak melakukan shalat sunnah, sampai berpindah dari tempat yang digunakan untuk shalat wajib”.

Al-Nawawi, dalam kitabnya al-Majmu’  mengatakan:
 فإن لم يرجع إلى بيته وأراد التنفل في المسجد يستحب أن ينتقل عن موضعه قليلاً لتكثير مواضع سجوده ، هكذا علله البغوي وغيره[6]
“Jika seseorang tidak langsung pulang ke rumahnya setelah shalat wajib, dan ingin shalat sunnah di masjid maka dianjurkan untuk bergeser sedikit dari tempat shalatnya, agar dapat memperbanyak tempat sujudnya. Demikian alasan yang disampaikan Al-Baghawi dan yang lainnya” (al-Majmu’, III/455).
             Al-Baghawi dan ulama lain memahami bahwa di antara hikmah berpindah tempat (untuk shalat Sunnah) dari tempat shalat wajib sebelumnya itu adalah dimaksudkan agar dapat memperbanyak tempat sujud dan memperbanyak tempat ibadah. Karena tempat yang digunakan untuk sujud itu kelak akan menjadi saksi bagi orang yang bersujud di tempat tersebut. Dalam QS. al-Zalzalah (99) ayat 4 Allah Swt berfirman yang artinya:  “bumi akan mengabarkan apa yang diperbuat kepadanya”. Ayat ini menunjukkan bahwa bumi akan menjadi saksi untuk setiap perbuatan yang dilakukan manusia, perbuatan yang baik maupun yang buruk. Makna ini diisyaratkan oleh al-Syaukani dalam Nailul Authar. Berikut ini pernyataan Imam Al-Syaukani:
وَالْعِلَّةُ فِي ذَلِكَ تَكْثِيرُ مَوَاضِعِ الْعِبَادَةِ كَمَا قَالَ الْبُخَارِيُّ وَالْبَغَوِيُّ لِأَنَّ مَوَاضِعَ السُّجُودِ تَشْهَدُ لَهُ كَمَا فِي قَوْلِهِ تَعَالَى { يَوْمَئِذٍ تُحَدِّثُ أَخْبَارَهَا } أَيْ تُخْبِرُ بِمَا عُمِلَ عَلَيْهَا[7]
“Illat di balik (anjuran untuk bergeser sedikit, pen) adalah memperbanyak tempat ibadah sebagaimana dikemukakan Al-Bukhari dan Al-Baghawi. Sebab tempat sujud kelak akan menjadi saksi baginya sebagaimana firman Allah: ‘Pada hari itu bumi menceritakan beritanya,’ (QS. Al-Zalzalah [99]: 4). Maksudnya adalah bumi akan mengabarkan apa yang diperbuat di atasnya” (Al-Syaukani, Nailul Authar, III/241).
Anjuran pindah tempat ketika shalat sunnah bakdiyah ini sejalan dengan peristiwa yang dialami oleh Nafi bin Jubair, saat beliau shalat jumat bersama Muawiyah bin Abi Sufyan ra.Saat itu setelah salam, Nafi bin Jubair langsung melaksanakan shalat sunnah. Begitu selesai shalat, Muawiyah mengingatkan:
 لاَ تَعُدْ لِمَا صَنَعْتَ إِذَا صَلَّيْتَ الْجُمُعَةَ فَلاَ تَصِلْهَا بِصَلاَةٍ حَتَّى تَكَلَّمَ أَوْ تَخْرُجَ فَإِنَّ نَبِىَّ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَمَرَ بِذَلِكَ أَنْ لاَ تُوصَلَ صَلاَةٌ بِصَلاَةٍ حَتَّى يَتَكَلَّمَ أَوْ يَخْرُجَ.[8]
“Jangan kau ulangi perbuatan tadi. Apabila kamu selesai shalat Jumat, jangan disambung dengan shalat yang lainnya, hingga engkau berbicara atau keluar masjid. Karena Nabi Saw memerintahkan hal itu. (Nabi Saw bersabda):“Janganlah engkau sambung shalat wajib dengan shalat sunnah, sampai engkau berbicara atau keluar.” (HR. Abu Daud No.1129).
Apabila tidak pulang ke rumah, dan tidak bisa (enggan) bergeser dari tempat shalat wajib yang telah dilakukan, maka ia boleh shalat sunnah bakdiyah di tempat yang sama saat ia shalat wajib dengan cara diselingi pembicaraan setelah salam dari shalat wajib sebelum shalat sunnah.

Imam al-Nawawi mengatakan:
فَإِنْ لم يَنْتَقِلْ إِلَى مَوْضِعٍ آخَرَ فَيَنْبَغِي أَنْ يَفْصِلَ بَيْنَ الْفَرِيضَة وَالنَّافِلَة بِكَلَامِ إِنْسَانٍ[9]
“Namun jika ia enggan berpindah atau bergeser ke tempat lain, maka sebaiknya ia memisah antara shalat wajib dan shalat sunnah dengan cara berbicara dengan orang lain,” (An-Nawawi, Al-Majmu’ Vol. III/455).

Termasuk cakupan makna “berbicara” dalam hadis riwayat Abu Dawud No. 1129 tersebut adalah berdzikir setelah salam, seperti membaca istighfar tiga kali, kemudian membaca Allaahumma antassalaam wa minkassalaam tabaarakta yaa dzal jalaali wal ikraam, dan dzikir-dzkir lainnya yang biasa dibaca setelah selesai shalat.  Dengan adanya ucapan atau bacaaan tadi bisa menjadi pemisah yang jelas antara shalat wajib dengan shalat sunnah, sehingga tidak dikira shalat sunnahnya menjadi bagian dari shalat wajib.[10]
Wallahu A’lam!


[1] HR. Abu Dawud No. 1006
[2]M. Nashiruddin al-Albani, al-Jami’ al-Shahih, Vol.I (Bayrut: al-Maktab al-Islami, 1988), 519.

[3] HR. al-Bukhari No. 731.
[4] Imam al-Nawawi, Syarh al-Nawawi ‘Ala  Muslim, III/129 hadis No. 1296).
وَإِنَّمَا حَثَّ عَلَى النَّافِلَة فِي الْبَيْت لِكَوْنِهِ أَخْفَى وَأَبْعَدَ مِنْ الرِّيَاء، وَأَصْوَنُ مِنْ الْمُحْبِطَات، وَلِيَتَبَرَّك الْبَيْت بِذَلِكَ وَتَنْزِل فِيهِ الرَّحْمَة وَالْمَلَائِكَة وَيَنْفِر مِنْهُ الشَّيْطَان
[5] Ibn Abi Syaibah, al-Mushannaf Fi al-Ahadits Wa al-Atsar, II(Riyad: Maktabah al-Rusyd, 1409 H), 23.
[6] An-Nawawi, Al-Majmu’, Vol. III(Bayrut: Dar al-Fikr, 1997), 455.
[7]Al-Syaukani, Nailul Awthar, Vol. III(T.tp: Idarah al-Thiba’ah al-Muniriyah, t.th), 241.
[8]Imam Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, Vol. I (Bayrut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, t.th), 438.
[9] An-Nawawi, Al-Majmu’, Vol. III/ 455.
[10] Abdullah Aziz bin Abdullan bin Baz, Majmu’ Fatawa Bin Baz, XII/335
والتكلم يكون بما شرع الله من الأذكار كقوله : أستغفر الله. أستغفر الله. أستغفر الله. اللهم أنت السلام ومنك السلام تباركت يا ذا الجلال والإكرام، حين يسلم، وما شرع الله بعد ذلك من أنواع الذكر، وبهذا يتضح انفصاله عن الصلاة بالكلية حتى لا يظن أن هذه الصلاة جزء من هذه الصلاة .

Senin, 17 September 2018

KARAKTERISTIK DAN MAQASHID SYARI'AH


SYARIAT ISLAM
KARAKTERISTIK DAN MAQASHIDNYA 
(خصائصها ومقاصدها

Oleh

 

 Dr.H.Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I

Pengertian Syari’at

            Syari’at atau al-Syari’ah berasal dari kata Arab syara’a-yasyra’u-syar’an  yang berarti sanna (مصدر شرع يشرع شرعا أي سن)[3], artinya mengundangkan atau membuat undang-undang. Karena itu syariat bisa berarti undang-undang atau aturan-aturan.
Dalam kamus Mukhtar Al-Shihah disebutkan:
الشَّرِيعةُ مَشْرَعةُ الماء وهي مورد الشاربة و الشَّرِيعةُ أيضا ما شرع الله لعباده من الدين[4]
“Syariat adalah tempat sumber air yaitu sumber air minum. Syariat juga bermakna apa saja yang ditetapkan Allah untuk hamba-hamba-Nya dalam agama”.
Dalam kamus Mu’jam al-Wasith:
 الشريعة  ما شرعه الله لعباده من العقائد والأحكام والطريقة[5]
“Syariat adalah apa saja yang Allah tetapkan untuk hamba-hamba-Nya, baik mengenai masalah keyakinan-keyakinan, hukum-hukum maupun metode(cara) beragama”.
Dalam kamus Lisan al-Arab:
والشريعةُ والشِّرْعةُ ما سنَّ الله من الدِّين وأَمَر به كالصوم والصلاة والحج والزكاة وسائر أَعمال البرِّ[6]
“Al-Syari’ah dan al-Syir’ah adalah aturan-aturan agama yang telah Allah tetapkan dan Allah perintahkan untuk dilaksanakan seperti puasa, shalat, haji, zakat, dan amalam-amalan baik lainnya”.
Dalam Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Wahbah al-Zuhaili menjelaskan:
والشريعة: كل ماشرع الله تعالى لعباده من الأحكام، سواءبالقرآن، أم بالسنة، وسواء ما تعلق منها بكيفية الاعتقاد، ويختص بها علمالكلام أو علم التوحيد، أو بكيفية العمل، ويختص بها علم الفقه[7]
“Syariat adalah hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh Allah Ta’ala untuk hamba-hamba-Nya, baik penetapannya berdasarkan al-Qur’an maupun al-Sunnah, baik terkait dengan keyakinan-keyakinan yang secara khusus dibahas dalam ilmu kalam atau ilmu tauhid, atau terkait dengan amal yang secara khusus dibahas dalam ilmu fiqih”.

Intinya, syari’at adalah aturan yang ditetapkan oleh Allah Swt melalui Rasul-Nya, baik mengenai aqidah, syariat, maupun akhlak, agar dipedomani dan dilaksanakan manusia dengan sebaik-baiknya demi kebahagian manusia itu sendiri. Korelasi makna bahasa dan makna istilah adalah bahwa manusia membutuhkan syariat sebagaimana kebutuhan mereka terhadap air yang menjadi sumber kehidupan. Tanpa air, manusia tidak akan hidup layak dan baik. Demikian juga, tanpa syariat, manusia tidak akan hidup layak dan baik. Syari’at, meskipun telah turun berabad-abad lalu, namun keberadaannya selalu relevan dalam kehidupan manusia di mana saja dan kapan saja, baik dahulu, kini, maupun masa depan. Hal ini wajar karena pada hakikatnya, seluruh alam ini adalah milik Allah, Tuhan yang menurunkan aturan atau syariat itu.

Karakteristik Syariat Islam
Syariat Islam memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan agama-agama yang lain. Beberapa karakteristik yang menjadi keunggulannya telah dipaparkan Ammar Sukkari dalam bukunya al-Mukhtashar al-Ham Fi al-Khashaish al-Ammah Li al-Islam[8],  sebagai berikut:

Pertama, al-Rabbaniyah (الربانية).
Robbaniyah, artinya berorientasi ketuhanan, baik secara tujuan maupun sumbernya. Secara tujuan, syariat Islam ditujukan agar manusia hanya menyembah dan mengabdi kepada Allah. Sebagaimana firman Allah SWT:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ[9]
 “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepadaKu”.

              Selain tujuan mengabdi hanya kepada Allah, syari’at Islam juga bertujuan membebaskan manusia dari penyembahan kepada sesama manusia serta kepada makhluk lainnya. Manusia harus bebas dari tekanan manusia lainnya, terlebih mengaggap dirinya sebagai Tuhan yang dapat mengatur segala hal.
Dari segi sumbernya, robbaniyah-nya syari’at Islam adalah bahwa dia berasal dan bersumber dari wahyu Allah SWT.  Dalam al-Qur’an disebutkan:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَكُمْ بُرْهَانٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكُمْ نُورًا مُبِينًا [10]
“Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu bukti kebenaran dari Tuhanmu. (Muhammad dengan mukjizatnya) dan telah Kami turunkan kepadamu cahaya yang terang benderang (Al Quran)”.
Dia bukan ciptaan manusia, bukan pula karangan manusia yang penuh hawa nafsu. Berbeda dengan undang-undang dan peraturan dunia yang diciptakan manusia yang bersifat relatif dan dipengaruhi oleh hawa nafsu manusia. Efek dari karakteristik robbaniyah ini membuat manusia dalam melaksanakan undang-undang dan aturan Allah tidak hanya saat berada di tengah-tengah manusia, tetapi di mana dan kapan saja dia tetap patuh melaksanakan aturan itu.

Kedua, Insaniyah (الإنسانية).
Insaniyah artinya sesuai dengan peri-kemanusiaan. Bukti atas hal itu adalah dijadikan Rasul dari kalangan manusia, bukan dari jin atau malaikat. Hal itu terjadi, agar manusia melihat langsung bagaimana aplikasi hukum Allah yang ideal melalui persaksian mereka terhadap perilaku dan nasihat Rasulullah saw. Andaikata rasul itu berupa jin atau malaikat, maka akan terjadi kesulitan bagi kita tentang bagaimana mengaplikasikan isi ajaran Allah SWT, karena jin dan malaikat adalah makhluk non-fisika yang tidak terlihat oleh kasat mata. Ketika Aisyah ditanya tentang bagaimana perilaku kehidupan Rasulullah? Beliau menjawab, perilakunya adalah al-Qur’an.[11]
Sesuai dengan tujuan manusia hidup di dunia ini yakni untuk mengabdikan diri kepada Allah, dalam saat yang sama manusia juga dituntut untuk menjaga hubungan baik sesama manusia. Hal ini menunjukkan bahwa konsep pengabdian diri kepada Tuhan (Rabbaniyyah) tidak akan sempurna tanpa adanya ciri-ciri kemanusiaan (insaniyah) dalam kehidupan manusia. Allah swt menegaskan:
ضُرِبَتْ عَلَيْهِمُ الذِّلَّةُ أَيْنَ مَا ثُقِفُوا إِلَّا بِحَبْلٍ مِنَ اللَّهِ وَحَبْلٍ مِنَ النَّاسِ[12]
 “Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia”.

Bukti insaniyahsyariat Islam juga adalah bahwa Islam mengajarkan persamaan derajat manusia. Keunggulan dan kemuliaan manusia tidak terletak kepada ras, suku, bangsa, warna kulit, kekayaan, ilmu dan pangkat-jabatan, akan tetapi hanya terletak pada ketakwaannya kepada Allah SWT.

             Dengan demikian, hukum dan syariat Allah berlaku sama untuk semua manusia. Tidak ada perbedaan antara pejabat dan rakyat kecil, tidak ada perbedaan antara darah biru dan darah merah. Di depan Allah, semua manusia sama.

Ketiga, al-Syumul (
الشمول).
Al-Syumul artinya syariat Islam bersifat komprehensif (menyeluruh). Syariat Islam tidak hanya mengatur tentang ibadah ritual saja, namun juga mengatur seluruh kehidupan manusia, baik kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, bangsa, negara bahkan dunia internasional. Dengan demikian syariat Islam dapat diterapkan di mana saja, dan di belahan bumi mana saja. Selain itu, ia juga dapat diterapkan di segala zaman. Firman Allah Swt:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ [13]
”Dan tiadalah Kami mengutus kamu (Muhammad), melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam”.
Keempat, al-Wasathiyah (الوسطية)
Al-wasathiyah artinya menengah, moderat dan adil. Syariat Islam bersifat menengah dan adil. Tidak ghuluw(keterlaluan), tafrith (berlebihan), dan ifrath (serba kekurangan). Umat Islam yang komitmen melaksanakan ajaran Islam yang moderat ini juga bersifat menengah. Sebagaimana firman Allah SWT:

وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا[14]  
“Dan demikian (pula) kami Telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu”.
Apa yang dimaksudkan dengan konsep ‘ummatan wasathan’ (ummat pertengahan) di dalam ayat di atas adalah umat Nabi Muhammad s.a.w yang melaksanakan perintah Allah berdasarkan kepada ketentuan-ketentuan hukum-Nya dan juga berasaskan kepada keseimbangan antara keperluan rohani dan jasmani, individu dan masyarakat, fisikal dan mental serta keseimbangan antara keperluan duniawi dan ukhrawi.
Menengah dan adil adalah sifat ber-keseimbangan. Keseimbangan dalam sikap, keseimbangan akhlak, ibadah, akidah, dan lainnya. Sikap ekstrim adalah sikap yang jauh dari karakteristik ajaran Islam. Baik ekstrim dalam hal akidah, sikap, maupun ibadah.
Kelima, al-Waqi’iyyah (الواقعية).
Al-Waqi’iyah artinya bahwa syariat dan ajaran Islam itu bersifat realistis. Ia membumi dan mudah diaplikasikan oleh semua manusia. Bukti realistis ajaran Islam adalah adanya rukhsah(dispensasi) serta bersifat memudahkan. Oleh karena itu ajaran Islam bisa masuk ke semua negara dan ke semua suku dengan beraneka ragam budaya sosial mereka. Ia juga dapat masuk di tengah kondisi yang berbeda-beda di suatu negara, baik hukum, undang-undang maupun model sistem negara yang dianut. Kaidah fiqih mengatakan: (الحكم يدور مع العلة وجودا وعدما) [15], “Hukum berlaku sesuai dengan illat (sebab)nya, ada atau tidak adanya”.
Oleh sebab itu, al-waqi’iyyahdalam Islam adalah al-waqi’iyyah al-mitsaliyah (kontekstual yang tidak mengabaikan idealisme). Konsep Islam dalam masalah ini dapat menyelamatkan segala tindakan serta keputusan yang berlebih-lebihan di dalam mencapai sesuatu kesempurnaan (idealisme). Dalam arti kata lain, sesuatu idealisme itu seharusnya dilakukan dalam ruang lingkup realistis sesuai kadar kemampuan yang sebenarnya (al-waqi’iyyah). Seperti firman Allah s.w.t :
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا[16]
 “Allah tidak akan membebani seseorang (jiwa) kecuali sesuai dengan kemampuannya”.
Keenam, Al-Wudhuh (الوضوح).
 Al-wudhuh (jelas), adalah karakteristik Islam yang menegaskan bahwa konsep Islam sangat jelas dan tegas. Konsep yang jelas menjadikan Islam dapat dengan mudah dipahami, tidak rumit dan tidak berbelit-belit.  
Kejelasan syariat Islam dapat dilihat dalam perintah Allah seperti shalat lima waktu, puasa, mengeluarkan zakat dan menunaikan haji ke Mekah. Ibadah-ibadah tersebut telah difardhukan Allah s.w.t dengan menjelaskan kepada hamba-Nya tentang hikmah dan tujuan utama difardhukan. Kefardhuan shalat, menjelaskan bahwa dengan shalat akan dapat mencegah seseorang itu dari melakukan perbuatan keji dan mungkar. Kefardhuan ibadah puasa, dengan melakukannya akan dapat melahirkan keinsafan diri tentang betapa lapar dan dahaganya golongan fakir miskin serta dapat mengendalikan nafsu dari godaan  setan. Kefardhuan mengeluarkan zakat, dengananya akan dapat mengikis sifat bakhil dan juga dapat menyelesaikan masalah ekonomi umat dalam membantu golongan fakir miskin. Kefardhuan ibadah haji, dengannya bisa sebagai manifestasi pertemuan dan perpaduan umat Islam seluruh dunia. Ke semua tuntutan ibadah yang difardhukan oleh Allah s.w.t ini adalah jelas (wudhuh) dari segi manhaj(kaidah dan ketentuan) dan juga jalan penyelesaiannya.
Semuanya ini harus dilakukan dengan niat yang ikhlas kerana Allah s.w.t, kerana niat adalah faktor utama Allah akan menerima sesuatu amalan kebajikan itu. Firman Allah s.w.t:
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ[17]
 ”Padahal mereka tidaklah diperintah kecuali supaya menyembah Allah dengan ikhlas kepada-Nya semata-mata kerana (menjalankan) agama dengan lurus”.

Ketujuh, Al-Jam’u Baina ats-Tsabat wa al-Murunah (الجمع بين الثبات والمرونة).
Al-Jam’u Baina ats-Tsabat wa al-Murunah,  adalah gabungan antara ajaran yang permanen dan yang fleksibel. Ajaran permanen dalam aqidah misalnya, tidak boleh beribadah selain hanya kepada Allah Swt. Ajaran ini sudah tetap, tidak boleh ada tawar menawar. Dalam ibadah wajib seperti shalat fardhu, puasa di bulan Ramadhan, haji dan zakat juga tidak ada toleransi hukum perlaksanaannya. Perkara tersebut sudah tetap(permanen), tidak berubah lagi karena telah menjadi ketetapan  Allah Ta’ala. Ini yang permanen.
 Pemahaman Islam yang permanen (tetap) dan tidak berubah hingga hari kiamat adalah dalam hal ushul dan tujuan Islam. Tetapi Islam bersifat fleksibel di dalam hal furu’dan sarana-sarananya. Dalam hal berdoa hanya boleh kepada Allah saja, sedangkan cara berdoa boleh dengan bahasa apa saja. Shalat dhuhur harus empat rakaat, sedangkan tempat boleh di mana saja asal suci, dan pakaian boleh jenis apa saja asal suci dan menutup aurat.  
Ketetapan prinsip dan fleksibelitas dalam islam ini dimaksudkan agar mampu mengatasi setiap perubahan dan bisa memecahkan masalah kekinian. Apabila Islam itu kaku maka akan banyak ditemui kesulitan untuk menerapkan hukum terhadap semua umat. Padahal umat ini berbeda beda, baik latar belakang, kondisi tempat, waktu dan juga pemikirannya.

Maqashid al-Syari’ah
Maqashid al-Syariah secara istilah adalah tujuan-tujuan syariat Islam yang terkandung dalam setiap aturannya. Imam Al-Syathibi mengungkapkan tentang syari’at dan fungsinya bagi manusia seperti ungkapannya dalam kitab al-Muwwafaqat:
هذه الشريعة .... وضعت لتحقيق مقاصد الشارع في قيام مصالحهم في الدين والدنيا معا[18]
“Sesungguhnya syariat itu ditetapkan bertujuan untuk tegaknya (mewujudkan) kemashlahatan manusia di dunia dan Akhirat”.

Pada bagian lain, al-Syathibi menyebutkan:
الاحكام مشروعة لمصالح العباد[19]
“Hukum-hukum itu diundangkan untuk kemashlahatan hamba”.

Apabila dipelajari secara seksama ketetapan Allah dan Rasul-Nya yang terdapat di dalam Al-Quran dan kitab-kitab hadis yang sahih, kita dapat mengetahui tujuan hukum Islam. Tujuan hukum Islam adalah untuk kebahagiaan hidup manusia di dunia ini dan di akhirat kelak, dengan jalan mengambil (segala) yang bermanfaat dan mencegah atau menolak yang mudarat yaitu yang tidak berguna bagi hidup dan kehidupan. Hujjatul Islam Imam al-Ghazali mengemukakan ada lima tujuan hukum Islam, yakni: 1.    Hifdz Al-Din (Memelihara Agama); 2.    Hifdz Al-Nafs (Memelihara Jiwa); 3.    Hifdz Al’Aql (Memelihara Akal); 4.    Hifdz Al-Nasl (Memelihara Keturunan); dan 5.    Hifdz Al-Maal (Memelihara Harta)[20]
Kelima tujuan hukum Islam tersebut juga dinamakan dengan al-maqasid al-khamsah atau maqasid al-shari’ah[21]. Berikut ini penjelasannya satu per satu:

1.     Memelihara Agama.
Pemeliharaan agama merupakan tujuan pertama hukum Islam. Karena agama merupakan pedoman hidup manusia, dan di dalam Agama Islam selain komponen-komponen akidah yang merupakan sikap hidup seorang muslim, terdapat juga syariat yang merupakan sikap hidup seorang muslim baik dalam berhubungan dengan Tuhannya maupun dalam berhubungan dengan manusia lain dan lingkungannya. Karena itulah maka hukum Islam wajib melindungi agama yang dianut oleh seseorang dan menjamin kemerdekaan setiap orang untuk beribadah menurut keyakinannya.
 Allah memerintahkan kita untuk tetap berusaha menegakkan agama, sebagaimana dalam firman-Nya:
شَرَعَ لَكُم مِّنَ ٱلدِّينِ مَا وَصَّىٰ بِهِۦ نُوحًۭا وَٱلَّذِىٓ أَوْحَيْنَآ إِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهِۦٓ إِبْرَٰهِيمَ وَمُوسَىٰ وَعِيسَىٰٓ ۖ أَنْ أَقِيمُوا۟ ٱلدِّينَ وَلَا تَتَفَرَّقُوا۟ فِيهِ ۚ كَبُرَ عَلَى ٱلْمُشْرِكِينَ مَا تَدْعُوهُمْ إِلَيْهِ ۚ ٱللَّهُ يَجْتَبِىٓ إِلَيْهِ مَن يَشَآءُ وَيَهْدِىٓ إِلَيْهِ مَن يُنِيبُ[22]
“Dia Telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang Telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang Telah kami wahyukan kepadamu dan apa yang Telah kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya)”.

2. Memelihara jiwa
Untuk tujuan ini, Islam melarang pembunuhan dan pelaku pembunuhan diancam dengan hukuman Qishas (pembalasan yang seimbang), sehingga dengan demikian diharapkan agar orang sebelum melakukan pembunuhan, berpikir panjang karena apabila orang yang dibunuh itu mati, maka si pembunuh juga akan mati atau jika orang yang dibunuh itu tidak mati tetap hanya cedera, maka si pelakunya juga akan cedera.
Mengenai hal ini dapat kita jumpai dalam firman Allah Swt sbb:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ كُتِبَ عَلَيْكُمُ ٱلْقِصَاصُ فِى ٱلْقَتْلَى ۖ ٱلْحُرُّ بِٱلْحُرِّ وَٱلْعَبْدُ بِٱلْعَبْدِ وَٱلْأُنثَىٰ بِٱلْأُنثَىٰ ۚ فَمَنْ عُفِىَ لَهُۥ مِنْ أَخِيهِ شَىْءٌۭ فَٱتِّبَاعٌۢ بِٱلْمَعْرُوفِ وَأَدَآءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَٰنٍۢ ۗ ذَٰلِكَ تَخْفِيفٌۭ مِّن رَّبِّكُمْ وَرَحْمَةٌۭ ۗ فَمَنِ ٱعْتَدَىٰ بَعْدَ ذَٰلِكَ فَلَهُۥ عَذَابٌ أَلِيمٌۭ . وَلَكُمْ فِى ٱلْقِصَاصِ حَيَوٰةٌۭ يَٰٓأُو۟لِى ٱلْأَلْبَٰبِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ[23]
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema’afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema’afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma’af) membayar (diat) kepada yang memberi ma’af dengan cara yang baik (pula). yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, Maka baginya siksa yang sangat pedih. Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, Hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa”.

3. Memelihara akal

Akal termasuk hal yang paling penting dalam pandangan Islam. Karena dengan akal bisa digunakan untuk memahami agama dan alam sekitarnya. Allah ta’ala selalu memuji orang yang berakal (menggunakan akalnya untuk berfikir). Hal ini  dapat dilihat pada firman Allah sbb:

إِنَّ فِى خَلْقِ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ وَٱخْتِلَٰفِ ٱلَّيْلِ وَٱلنَّهَارِ وَٱلْفُلْكِ ٱلَّتِى تَجْرِى فِى ٱلْبَحْرِ بِمَا يَنفَعُ ٱلنَّاسَ وَمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ مِنَ ٱلسَّمَآءِ مِن مَّآءٍۢ فَأَحْيَا بِهِ ٱلْأَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا وَبَثَّ فِيهَا مِن كُلِّ دَآبَّةٍۢ وَتَصْرِيفِ ٱلرِّيَٰحِ وَٱلسَّحَابِ ٱلْمُسَخَّرِ بَيْنَ ٱلسَّمَآءِ وَٱلْأَرْضِ لَءَايَٰتٍۢ لِّقَوْمٍۢ يَعْقِلُونَ[24]
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan”.

4. Memelihara Keturunan
Perlindungan Islam terhadap keturunan adalah dengan mensyariatkan pernikahan dan mengharamkan zina, menetapkan siapa-siapa yang tidak boleh dikawini, bagaimana cara-cara perkawinan itu dilakukan dan syarat-syarat apa yang harus dipenuhi, sehingga perkawinan itu dianggap sah dan pencampuran antara dua manusia yang belainan jenis itu tidak dianggap sah dan menjadi keturunan sah dari ayahnya. Malahan tidak melarang itu saja, tetapi juga melarang hal-hal yang dapat membawa kepada zina[25].
Sebagaimana firman Allah ta’ala:
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا۟ فِى ٱلْيَتَٰمَىٰ فَٱنكِحُوا۟ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ ٱلنِّسَآءِ مَثْنَىٰ وَثُلَٰثَ وَرُبَٰعَ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا۟ فَوَٰحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَٰنُكُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰٓ أَلَّا تَعُولُوا۟[26]
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”.  
وَءَاتُوا۟ ٱلنِّسَآءَ صَدُقَٰتِهِنَّ نِحْلَةًۭ ۚ فَإِن طِبْنَ لَكُمْ عَن شَىْءٍۢ مِّنْهُ نَفْسًۭا فَكُلُوهُ هَنِيٓـًۭٔا مَّرِيٓـًۭٔا[27]
“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya”.

5. Memilihara Harta Benda dan Kehormatan
Islam meyakini bahwa semua harta di dunia ini adalah milik Allah ta’ala, manusia hanya berhak untuk memanfaatkannya saja. Meskipun demikian Islam juga mengakui hak pribadi seseorang. Oleh karena manusia itu sangat tamak kepada harta benda, sehingga mau mengusahakannya dengan jalan apapun, maka Islam mengatur supaya jangan sampai terjadi bentrokan antara satu sama lain. Untuk ini Islam mensyariatkan peraturan-peraturan mengenai muamalah seperti jual beli, sewa-menyewa, gadai menggadai, dan sebagainya, serta melarang penipuan, riba dan mewajibkan kepada orang yang merusak barang orang lain untuk membayarnya, harta yang dirusak oleh anak-anak yang di bawah tanggungannya, bahkan yang dirusak oleh binatang peliharaannya sekalipun.
Perlindungan Islam terhadap harta benda seseorang tercermin dalam firmanNya:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تَأْكُلُوٓا۟ أَمْوَٰلَكُم بَيْنَكُم بِٱلْبَٰطِلِ إِلَّآ أَن تَكُونَ تِجَٰرَةً عَن تَرَاضٍۢ مِّنكُمْ ۚ وَلَا تَقْتُلُوٓا۟ أَنفُسَكُمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًۭا[28]
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. Q.S. An-Nisa: 29-32.

Adapun hal-hal yang menjadi perantara terjaganya lima tujuan tersebut, menurut Wahbah al-Zuhaili, ada tiga tingkatan kebutuhan yaitu al-dlaruriyat,          al-hajiyat dan al-tahsiniyat (الضروريات أولاً، ثم الحاجيات، ثم التحسينيات)[29].
Kebutuhan dharuriyat
Dharuriyat adalah tingkat kebutuhan yang harus ada atau disebut juga kebutuhan primer. Apabila tingkat kebutuhan ini tidak terpenuhi maka keselamatan ummat manusia akan terancam, baik di dunia maupun di akhirat. Menurut Al Syatibi ada lima hal yang termasuk dalam kategori ini yaitu memelihara agama, jiwa, kehormatan, keturunan dan harta[30]. Untuk memelihara lima hal pokok inilah syariat Islam diturunkan. Dalam setiap ayat hukum apabila diteliti akan ditemukan alasan pembentukannya yang tidak lain adalah untuk memelihara lima hal pokok di atas. Seperti kewajiban qishas:
ولكم فى القصاص حياة يأولى الألباب لعلكم تتقون[31]
"Dan dalam qisas itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu hai orang-orang yang bertakwa.”
Ayat tersebut menerangkan disyariatkannya qisas  dengan tujuan agar ancaman terhadap kehidupan manusia dapat dihilangkan.[32]
Kebutuhan al-hajiyat
Al-hajiyat adalah kebutuhan sekunder. Jika kebutuhan ini tidak terpenuhi keselamatan manusia tidak sampai terancam. Namun ia akan mengalami kesulitan. Syariat Islam menghilangkan segala kesulitan tersebut. Adanya hukum rukhshah (keringanan) seperti dijelaskan Abdul Wahhab Khallaf[33]. Merupakan contoh kepedulian syariat Islam terhadap kebutuhan ini. Contoh pembolehan tidak berpuasa bagi musafir, hukuman diyat (denda) bagi seorang yang membunuh secara tidak sengaja, penangguhan hukuman potong tangan atas seseorang yang mencuri karena terdesak untuk menyelamatkan jiwanya dari kelaparan.
Kebutuhan al-tahsiniyat
Al-tahsiniyat adalah kebutuhan yang tidak mengancam eksistensi salah satu dari lima hal pokok tadi dan tidak pula menimbulkan kesulitan apabila tidak terpenuhi. Tingkat kebutuhan ini berupa kebutuhan pelengkap, seperti dikemukakan Al-Syatibi[34] hal yang merupakan kepatutan menurut adat-istiadat menghindari hal yang tidak enak dipandang mata dan berhias dengan keindahan yang sesuai dengan tuntutan norma dan akhlak, dalam berbagai bidang kehidupan seperti ibadah muamalah, dan uqubah. Allah SWT telah mensyariatkan hal yang berhubungan dengan kebutuhan tahsinat. Contoh anjuran berhias ketika hendak ke masjid, anjuran memperbanyak ibadah sunnah, larangan penyiksaan mayat dalam peperangan.





DAFTAR PUSTAKA


al Albani, Muhammad Nashiruddin. Shahih al-Adab al-Mufrad Li al Imam al-Bukhari. Vol. I. T.tp: Dar al-Shadiq, 1421 H.
al-Ghazali, Imam. al-Mustashfa Min ‘Ilm al-Ushul. Vol. I. Bairut: Muassasah al-Risalah, 1997.
al-Hanbali, Al-Ba’li.  Al-Mathla’ ‘Ala Abwab al-Fiqh. Vol. I. Bayrut: al-Maktab al-Islami, 1981.
Ibn Madzhur. Lisan al-‘Arab. Vol. VIII. Bayrut: Dar Shadir, t.th.
Khallaf, Abd al-Wahhab. Ilm Ushul al-Fiqh, Vol. I.
Mushthafa, Ibrahim. et.al. al-Mu’jam al-Washith. Vol.I. T.tp: Dar al-Da’wah, t.th.
al-Razi, Muhammad Ibn Abi Bakar bin Abd al-Qadir. Mukhtar al-Shihhah. Vol.I Bayrut: Maktabah Lubnan Nasyirun, 1995.
Sukkari, Ammar. al-Mukhtashar al-Ham Fi al-Khashaish al-Ammah Li al-Islam. Damaskus, t.p, 2004.
al-Sulami, Iyadh bin Nami Maqasid al-Syariah, I/43.
al-Syaukani, Imam. al-Qaul al-Mufid Fi Adillat al-Ijtihad Wa al-Taqlid. Vol.I. Kuwait: Dar al-Qalam, 1396.
al-Syathibi, Imam. al-Muwafaqat, ed. Masyhur Hasan Salman. Vol.I. T.Tp: Dar Ibn ‘Affan, 1997.
____________________. al-Muwafaqat, ed. Abdullah Daraz. Vol. II. Bairut: Dar al-Ma’rifah, t.th.
____________________. al-I’tisham. Vol. II. Mesir: al-Maktabah al-Tijariyah al-Kubra, t.th.
al-Zuhayli, Wahbah. al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu. Vol.I. Damaskus, Dar al-Fikr, t.th.






[3] Al-Ba’li al-Hanbali, Al-Mathla’ ‘Ala Abwab al-Fiqh, Vol. I (Bayrut: al-Maktab al-Islami, 1981), 281.
[4] Muhammad Ibn Abi Bakar bin Abd al-Qadir al-Razi, Mukhtar al-Shihhah, Vol.I (Bayrut: Maktabah Lubnan Nasyirun, 1995), 354.
[5] Ibrahim Mushthafa et.al, al-Mu’jam al-Washith, Vol.I (t.t: Dar al-Da’wah, t.th), 479.
[6] Ibn Madzhur, Lisan al-‘Arab, Vol. VIII (Bayrut: Dar Shadir, t.th), 175.
[7] Wahbah al-Zuhayli, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Vol.I (Damaskus, Dar al-Fikr, t.th), 16.
[8] Ammar Sukkari, al-Mukhtashar al-Ham Fi al-Khashaish al-Ammah Li al-Islam (Damaskus, t.p, 2004).
[9] Al-Qur’an, 51 (al-Dzariyat): 56.
[10] Al-Qur’an, 5 (al-Nisa), 174.
[11]HR. al-Bukhari (كان خلقه القران). Muhammad Nashiruddin al Albani, Shahih al-Adab al-Mufrad Li al Imam al-Bukhari, I (t.tp: Dar al-Shadiq, 1421 H), 131. Al-Albani: Shahih lighairihi.
[12] Al-Qur’an, 3 (Ali Imran): 112.
[13] Al-Qur’an, 21 (al-Anbiya): 107.
[14] Al-Qur’an, 2 (al-Baqarah): 143.
[15] Imam al-Syaukani, al-Qaul al-Mufid Fi Adillat al-Ijtihad Wa al-Taqlid, Vol.I (Kuwait: Dar al-Qalam, 1396), 72.
[16] Al-Qur’an, 2 (al-Baqarah): 186
[17] Al-Qur’an, 98 (al-Bayyinah): 5.
[18] Imam al-Syathibi, al-Muwafaqat, ed. Masyhur Hasan Salman, Vol. I(T.Tp: Dar Ibn ‘Affan, 1997), 6.
[19] Imam al-Syathibi, al-Muwafaqat, ed. Abdullah Daraz, Vol. II (Bairut: Dar al-Ma’rifah, t.th), 54.
[20] Imam al-Ghazali, al-Mustashfa Min ‘Ilm al-Ushul, Vol. I (Bairut: Muassasah al-Risalah, 1997), 379.
[21] Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami Wa Adillatuhu, Vol. I (Damaskus: Dar al-Fikr, t.th), 104.
[22] Al-Qur’an, 42 (al-Syura): 13
[23] Al-Qur’an, 2 (al-Baqarah): 178-179.
[24]Al-Qur’an, 2 (al-Baqarah): 164.
[25]Al-Qur’an, 17 (Al-Isra): 32.
[26]Al-Qur’an, 4 (al-Nisa): 3.
[27] Al-Qur’an, 4 (al-Nisa): 4.
[28] Al-Qur’an, 4 (al-Nisa), 29-32/
[29]al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami Wa Adillatuhu, Vol. I, 104.
[30] Imam al-Syathibi, al-I’tisham, Vol. II (Mesir: al-Maktabah al-Tijariyah al-Kubra, t.th), 39.
[31] Al-Qur’an, 2 (al-Baqarah): 179.
[32] Iyadh bin Nami al-Sulami, Maqasid al-Syariah, I/43
[33] Abd al-Wahhab Khallaf, Ilm Ushul al-Fiqh, Vol. I (), 205-207,
[34] Imam al-Syathibi, al-Muwafaqat, III/118.