Selasa, 25 Februari 2014

MEMPERCAYAI BEBATUAN SEBAGAI PENANGKAL

MEMPERCAYAI BATU-BATUAN TERTENTU
SEBAGAI PENANGKAL DAN PENYEMBUH PENYAKIT

Oleh:

Dr.H.Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I


               Sebagian masyarakat kita memang ada yang mempercayai batu-batuan tertentu dapat memancarkan kekuatan. Ada yang meyakini batu-batu itu bisa berubah warna pada saattertentu. Ada juga yang percaya dengan memakai batu-batuan tertentu, baik dalam bentuk cincin, kalung atau yang lainnya dapat membawa keberuntungan, dan menjauhkan dari marabahaya. Batu-batuan tertentu juga dipercaya dapat menyembuhkan dari berbagai jenis penyakit.
               Pada tahun 2009, masyarakat Indonesia dihebohkan dengan bocah cilik asal Jombang Jawa Timur, bernama Ponari yang tiba-tiba mendapat kemampuan untuk mengobati berbagai penyakit dengan sebuah batu yang dicelupkan ke dalam air minum. Akibat ekspos media massa yang luar biasa, dengan cepat puluhan ribu orang dari seluruh Indonesia memadati dusun tempat tinggal Ponari di Jombang. Setidaknya ada empat orang yang tewas terinjak-injak karena berdesak-desakan di gang sempit menuju rumah Ponari, dengan maksud untuk mendapatkan kesembuhan dari batu Ponari.
  Menurut pengamal pengobatan tradisional, batu permata merah jambu, ungu, putih, hijau dan biru mempunyai struktur atom yang agak kukuh dan memiliki frekuensi bunyi yang tinggi serta laju sehingga menyebabkan hantu atau unsur negatif takut lantas menjauhkan diri. Batu yang populer di kalangan orang Melayu ialah batu akik. Akik dikatakan dapat membantu dalam hal-hal yang berhubungan dengan kepribadian secara fisik dan emosi. Sebagian orang Melayu percaya pemakai akik akan terlindung dari segala macam bahaya dan bisa menambah keberanian bagi pemakainya.
  Dalam budaya Jawa dan bangsa Melayu pada umumnya, mempercayai batu dan magnet-megnet tertetu untuk kesembuhan dari penyakit, menambah kekuatan dan terhindar dari bahaya, semuanya itu masuk dalam kategori jimat. Mempercayai jimat adalah peninggalan kepercayaan Animisme-Dinamisme. 
                Pada masa jahiliyah dulu, jimat (tamimah) biasanya dikalungkan pada anak kecil atau binatang untuk menolak ‘ain (sejenis sihir yang bisa berakibat bahaya bagi orang yang dipandangnya). Namun pada hakikatnya, jimat tidaklah terbatas pada bentuk dan kasus tersebut, akan tetapi mencakup semua benda dari bahan apapun, dikalungkan, digantungkan, diletakkan di tempat manapun dengan maksud untuk menghilangkan atau menangkal marabahaya. Jadi jimat bisa berupa kalung, batu akik, keris, cincin, atau benda-benda yang digantungkan pada tempat tertentu, seperti di atas pintu, di dalam kendaraan, dipasang pada ikat pinggang, sebagai susuk, atau ditulis di kertas dan dimasukkan di saku celana, dan lain-lain dengan maksud mengusir atau menoak bala’ (bahaya).
 Rasulullah Saw telah melarang penggunaan jimat ini secara umum. Dari Zainab Isteri Abdullah bin Mas’ud, Nabi Saw bersabda;
إِنَّ الرُّقَى وَالتَّمَائِمَ وَالتِّوَلَةَ شِرْكٌ
 "Sesungguhnya jampi-jampi, jimat dan tiwalah(pelet) adalah bentuk kesyirikan." (HR. Abu Dawud No. 3385, Ibn Majah No. 3521, Ahmad No. 3433).
Dari Abu Hurairah, beliau  bersabda:
وَمَنْ سَحَرَ فَقَدْ أَشْرَكَ وَمَنْ تَعَلَّقَ شَيْئًا وُكِلَ إِلَيْهِ
 “Barangsiapa yang melakukan sihir, maka dia telah berbuat syirik; sedang barangsiapa yang menggantungkan diri pada sesuatu benda (jimat), maka dirinya dijadikan Allah bersandar kepada benda itu. (HR. Al-Nasai No.4011).
Pada hadis ini, Rasulullah Saw  menjelaskan bahwa seseorang akan diserahkan kepada yang dia jadikan sandaran. Seorang muslim yang menyandarkan segala urusannya kepada Allah, maka Allah akan menolong, memudahkan dan mencukupi segala urusannya. Sebaliknya, orang yang bersandar kepada selain Allah (seperti bersandar pada jimat), maka Allah akan membiarkan orang tersebut dengan sandarannya, sehingga kita dapatkan orang-orang semacam ini hidupnya tidak pernah tenang. Dia hidup dengan kekhawatiran dan ketakutan. Dia selalu takut apabila jimatnya hilang atau dicuri, karena dia akan kehilangan percaya diri ketika jimatnya tidak bersamanya. Sungguh hal ini merupakan suatu kerugian yang besar.
                Dari Zaid bin Khalid Al-Juhani, Ia berkata:
صَلَّى لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَاةَ الصُّبْحِ بِالْحُدَيْبِيَةِ عَلَى إِثْرِ سَمَاءٍ كَانَتْ مِنْ اللَّيْلَةِ فَلَمَّا انْصَرَفَ أَقْبَلَ عَلَى النَّاسِ فَقَالَ هَلْ تَدْرُونَ مَاذَا قَالَ رَبُّكُمْ قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ أَصْبَحَ مِنْ عِبَادِي مُؤْمِنٌ بِي وَكَافِرٌ فَأَمَّا مَنْ قَالَ مُطِرْنَا بِفَضْلِ اللَّهِ وَرَحْمَتِهِ فَذَلِكَ مُؤْمِنٌ بِي وَكَافِرٌ بِالْكَوْكَبِ وَأَمَّا مَنْ قَالَ بِنَوْءِ كَذَا وَكَذَا فَذَلِكَ كَافِرٌ بِي وَمُؤْمِنٌ بِالْكَوْكَبِ
Rasulullah Saw shalat bersama kami, shalat subuh di Hudaibiyah –di mana masih ada bekas hujan yang turun di malam harinya- setelah beranjak beliau menghadap para sahabatnya seraya berkata: “Apakah kalian mengetahui apa yang difirmankan oleh Tuhan kalian? Mereka menjawab : “ Allah dan RasulNya yang lebih mengetahui”. Allah berfirman: Pagi ini di antara hambaKu ada yang beriman kepadaKu dan ada pula yang kafir. Adapun orang yang berkata: kami diberi hujan dengan karunia Allah dan rahmatNya”, maka dia beriman kepadaKu dan kafir terhadap bintang. Adapun orang yang berkata: (hujan ini turun) karena bintang ini dan bintang itu”, maka dia telah kufur kepadaKu dan beriman kepada bintang” (HR Al-Bukhari No. 801).
Dari Sahabat ‘Uqbah bin ‘Amir al-Juhani, Rasulullah Saw bersabda:
مَنْ عَلَّقَ تَمِيمَةً فَقَدْ أَشْرَكَ
“Barangsiapa menggantungkan jimat, maka ia telah melakukan syirik.” (HR. Ahmad No 16781).
Dari al-Hasan, Imran bin Husain mengabarkan kepadaku:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَبْصَرَ عَلَى عَضُدِ رَجُلٍ حَلْقَةً أُرَاهُ قَالَ مِنْ صُفْرٍ فَقَالَ وَيْحَكَ مَا هَذِهِ قَالَ مِنْ الْوَاهِنَةِ قَالَ أَمَا إِنَّهَا لَا تَزِيدُكَ إِلَّا وَهْنًا انْبِذْهَا عَنْكَ فَإِنَّكَ لَوْ مِتَّ وَهِيَ عَلَيْكَ مَا أَفْلَحْتَ أَبَدًا
Nabi Saw ketika melihat seseorang yang memakai gelang kuningan di tangannya, maka beliau bertanya, “Apa ini?” Orang  itu  menjawab,  “Penangkal sakit”. Nabipun bersabda, “Lepaskanlah, karena dia hanya akan menambah kelemahan pada dirimu. Jika kamu mati sedang gelang itu masih ada pada tubuhmu maka kamu tak akan beruntung selama-lamanya.” (HR. Ahmad No. 19149).
Kesimpulannya, mempercayai bebatuan, magnet-magnet tertentu dan benda-benda lain dapat menyembuhkan suatu penyakit bisa dihukumi kufur dan syirik. Kufur, karena ia tidak percaya kepada Allah sebagai penyembuhnya, ia malah percaya kepada benda-benda itu yang menyembuhkannya. Syirik, karena selain percaya kepada Allah, ia juga percaya pada benda-benda itu yang dapat memberikan kesembuhan.  Kecuali, jika ada suatu benda, berdasarkan penelitian ilmiah dan hasil uji laboratorium, ternyata berfungsi dapat mempengaruhi kesembuhan suatu penyakit, maka kita boleh mempercayai bahwa benda itu memang berfungsi. Namun demikian, harus disertai keimanan bahwa berfungsinya benda itu karena dianugerahi oleh Allah Swt. Dengan demikian, hakikatnya yang menyembuhkan penyakit itu adalah Allah Swt. Jimat tak dapat menolak dan menghilangkan apa yang telah ditakdirkan Allah. Allah Swt berfirman:
وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُون
“Dan hanya kepada Allah sajalah hendaknya orang-orang mukmin bertawakkal.” (QS. Ibrahim: 11).


  


Senin, 10 Februari 2014

TAHIYYATUL MASJID

Shalat Tahiyyatul Masjid

Oleh


DR.H.Achmad Zuhdi DH


Para ulama bersepakat tentang disyariatkannya shalat tahiyyatul masjid, namun mereka berbeda pendapat tentang hukumnya. Sebagian ulama, seperti  madzhab Dhahiri berpendapat bahwa shalat tahiyyatul masjid itu hukumnya wajib. Sedangkan jumhur (mayoritas) ulama berpendapat shalat tahiyyatul masjid itu hukumnya sunnat.

Alasan ulama yang mewajibkan shalat tahiyyatul masjid, merujuk kepada beberapa hadis berikut ini:

Dalil (1)
عَنْ أَبِي قَتَادَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا دَخَلَ أَحَدُكُمْ الْمَسْجِدَ فَلْيُصَلِّ رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يَجْلِسَ  
Dari Abu Qatadah, Nabi Saw bersabda: “Apabila seorang di antaramu memasuki masjid maka shalatlah dua rakaat sebelum ia duduk” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadis tersebut menunjukkan perintah untuk melakukan shalat. Menurut kaidah ushul fiqh bahwa pada asalnya perintah itu menunjukkan wajib. Karena shalat tahiyyatul masjid itu diperintahkan, maka berarti hukumnya wajib.

Dalil (2)
Nabi saw bersabda:
إِذَا دَخَلَ أَحَدُكُمُ المَسْجِدَ فَلا يَجْلِسْ حَتَّى يَرْكَعَ رَكْعَتَيْنِ
“Jika salah seorang dari kalian masuk masjid hendaknya ia tidak duduk sebelum shalat dua rakaat.”    (HR. al-Bukhari dan Muslim dari Abu Qatadah)

Dalam hadis tersebut, Nabi  Saw melarang terhadap orang yang ketika masuk masjid langsung duduk sebelum shalat dua raka’at. Dalam kaidah ushul fiqh,  setiap larangan asalnya haram, karena itu maka  shalat tahiyyatul masjid hukumnya wajib.

Dalil (3)
دَخَلَ رَجُلُ الْمَسْجِدَ وَالنَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم يَخْطُبُ فَقَالَ أَصَلَّيْتَ قَالَ لاَ قَالَ قُمْ فَصَلِّ رَكْعَتَيْنِ
“Seseorang memasuki masjid pada hari Jum’at dan Nabi saw sedang berkhutbah, lalu beliau saw bertanya: ’Apakah engkau sudah shalat?’ dia berkata: ’Belum’. Beliau saw berkata: ’(Kalau begitu) shalatlah dua rakaat’”. (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadis tersebut menunjukkan bahwa shalat dua rakaat (shalat tahiyyatul masjid) itu lebih penting daripada mendengarkan khutbah. Jika mendengarkan khutbah itu wajib, maka shalat tahiyyatul masjid itu tentu lebih wajib. Demikian alasan ulama yang mewajibkan shalat tahiyyatul masjid. Pendapat ini dianut oleh madzhab Dhahiri (Al-Syawkani, Nailul Awthar, III/82).

Bagaimana pendapat ulama yang mengatakan bahwa shalat tahiyyatul masjid itu hukumnya sunnah muakkadah (ditekankan)? Apa dalil-dalil yang dijadikan pedoman?

Dalil (1)
عَنْ طَلْحَةَ بْنِ عُبَيْدِ اللَّهِ أَنَّ أَعْرَابِيًّا جَاءَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَائِرَ الرَّأْسِ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَخْبِرْنِي مَاذَا فَرَضَ اللَّهُ عَلَيَّ مِنْ الصَّلَاةِ فَقَالَ الصَّلَوَاتِ الْخَمْسَ إِلَّا أَنْ تَطَوَّعَ شَيْئًا  
Dari Thalhah bin Ubaidillah; ada seorang Arab badui menemui Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dengan rambut acak-acakan, ia berkata; 'ya Rasulullah, beritahukanlah kepadaku shalat apakah yang Allah wajibkan atasku? ' Nabi menjawab:  "shalat lima waktu, kecuali jika engkau mau mengerjakan yang sunnah." (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Hadis tersebut menunjukkan bahwa shalat yang wajib itu hanya yang lima waktu itu, sedangkan yang lain itu hanya sunnah. Karena itu, hukum shalat tahiyyatul masjid hanyalah sunnah, tidak wajib (Al-‘Utsaimin, Sharh Riyadhushshalihin, I/1384.). Tentang dalil-dalil yang dipakai ulama yang mewajibkan itu dapat difahami sbb: (1) Shalat tahiyatul masjid tetap dilaksanakan sekalipun khatib sedang menyampaikan khutbah di hari Jum’at. (2)Shalat tahiyatul masjid tetap dilakukan sekalipun sudah duduk karena lupa atau tidak tahu atau karena sengaja dan belum lama waktunya menurut pendapat yang rajih dalam masalah ini.

Hadis-hadis yang memerintahkan shalat tahiyyatul masjid tersebut hanyalah perintah yang menunjukkan penekanan (sunnah muakkadah), tidak sampai pada hukum wajib, karena terdapat hadis yang membatasi bahwa yang wajib itu hanyalah shalat lima waktu.

Dalil (2)
عَنْ أَبِى وَاقِدٍ اللَّيْثِىِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بَيْنَمَا هُوَ جَالِسٌ فِى الْمَسْجِدِ وَالنَّاسُ مَعَهُ إِذْ أَقْبَلَ نَفَرٌ ثَلاَثَةٌ فَأَقْبَلَ اثْنَانِ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَذَهَبَ وَاحِدٌ. قَالَ فَوَقَفَا عَلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَأَمَّا أَحَدُهُمَا فَرَأَى فُرْجَةً فِى الْحَلْقَةِ فَجَلَسَ فِيهَا وَأَمَّا الآخَرُ فَجَلَسَ خَلْفَهُمْ وَأَمَّا الثَّالِثُ فَأَدْبَرَ ذَاهِبًا فَلَمَّا فَرَغَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « أَلاَ أُخْبِرُكُمْ عَنِ النَّفَرِ الثَّلاَثَةِ أَمَّا أَحَدُهُمْ فَأَوَى إِلَى اللَّهِ فَآوَاهُ اللَّهُ وَأَمَّا الآخَرُ فَاسْتَحْيَا فَاسْتَحْيَا اللَّهُ مِنْهُ وَأَمَّا الآخَرُ فَأَعْرَضَ فَأَعْرَضَ اللَّهُ عَنْهُ  (رواه البخارى ومسلم)
Dari Abi Waqid al-Laitsi, “Bahwasanya tatkala Rasulullah Saw sedang duduk di dalam masjid bersama jamaah, tiba-tiba datang tiga orang. Dua orang mendatangi RasulullahSaw dan yang satunya pergi. Kemudian keduanya berdiri di hadapan beliau. Adapun salah seorang dari keduanya melihat celah di majlis itu, maka ia duduk di tempat yang kosong itu. Sedangkan yang lainnya duduk di belakang mereka.
Setelah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam selesai dari majlisnya, beliau bersabda: “Maukah aku kabarkan tentang tiga orang tadi? Adapun seorang dari mereka, ia datang menemui Allah maka Allah datang menemuinya. Adapun yang seorang tadi, ia malu maka Allah malu kepadanya. Adapun yang seorang lagi, ia berpaling maka Allah berpaling darinya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
           
Dalam hadis tersebut menunjukkan bahwa ada tiga orang sahabat yang datang ke masjid, di tengah-tengah jamaahyang lain. Mereka langsung duduk dan tidak diperintahkan untuk shalat tahiyyatul masjid. Atas dasar ini dapat difahami bahwa shalat tahiyyatul masjid itu hukumnya hanya sunnah, tidak sampai wajib.

 al-Nawawi berkata: “Sahabat-sahabat kami berpendapat, tidak disyaratkan berniat tahiyatul masjid dengan shalat dua rakaat, jika dia shalat dua rakaat dengan niat shalat sunnah mutlak atau dua rakaat rawatib atau bukan rawatib atau shalat fardhu, maka hal itu cukup baginya dan terwujud untuknya apa yang diniatkannya dan terwujud pula tahiyyatul masjid secara otomatis, dan tidak ada perbedaan di kalangan ulama dalam hal ini.”(Al-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, V/ 226; dan  al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, IV/ 52.)

Kesimpulan
1.  Shalat tahiyyatul masjid adalah shalat yang disyariatkan setiap memasuki masjid;
2. Shalat tahiyyatul masjid memang diperintahkan bahkan ditekankan, namun hukumnya tidak sampai wajib, tetapi sunnah muakkadah;
3. Alasan tidak sampai kepada wajib, mengingat ada hadis lain yang membatasi wajibnya hanya pada shalat lima waktu, dan adanya pembiaran Nabi Saw (beliau tidak menyuruh shalat tahiyyatul masjid) terhadap tiga sahabat yang langsung duduk di masjid.
4. Karena itu, hukum shalat tahiyyatul masjid adalah sunnah muakkadah.


Wallahu a’lam !